Siang hari terasa menusuk kulit bagi siapapun yang sedang berada dibawah teriknya matahari, cuaca akhir-akhir ini sedang dikatakan bahwa sedang panas-panasnya. Terlebih pada era global warming, memungkinkan bahwa bumi akan dilanda oleh kepanasan dibeberapa bagian wilayah.
Seorang wanita sedang menggenggam beberapa tangkai bunga yang nampak indah, sebelah tangannya lagi memegang plastic segitiga yang akan ia bentuk menjadi hiasan menarik. Ya, dia adalah Aleya. Wanita itu sudah menjalani kehidupannya dengan baik, terlebih dengan adanya Renata mampu membuatnya menjadi bahagia karena ia merasa memiliki keluarga baru. Aleya dan Renata sangat klop, bahkan orang lain yang tidak tahu akan menganggap keduanya bagaikan adik dan kakak, layaknya saudari kandung.
Disisi kanan, terdapat Renata yang sedang menyapu ruangan. Wanita itu sangat rajin hingga membuat rumah Aleya bersih mengkilap, hanya itu yang bisa Renata lakukan sebagai baals budi atas jasa kebaikan yang telah Aleya berikan padanya.
“Mbak Renata, udahan lah, duduk sini.” Suara Aleya menggema, toko bunga sedang sepi pelanggan jika dijam kerja seperti ini. Keduanya memilih menyibukkan diri masing masing selama belum ada pembeli yang datang.
“Iya, lagi pula emang udah selesai kok.” Jawab Renata sembari meletakkan gagang sapu pada paku yang menggantung.
Renata berjalan mendekati Aleya, ia mendudukkan diri di kursi tepat disamping wanita itu.
“Mbak, nanti antar aku ke klinik ya, biasa mau check up!” Seru Aleya. Memang sudah beberapa waktu terakhir ini Aleya jarang memeriksakan kandungannya, dan baru hari ini ada waktu luang.
Renata mengangguk semangat, “tentu saja, sudah ku bilang berapa kali untuk memeriksakan kandunganmu. Biar ku tebak, anakmu pasti kembar.”
Aleya mengulas senyuman, ia juga berharap begitu.
“Mbak yakin?” tanya Aleya dengan nada menantang pada Renata, membuat sang empunya berwajah yakin.
“Tentu saja aku yakin, mau taruhan?” Renata menopang dagunya dengan sebelah tangan yang menggenggam.
“Hmm, boleh boleh.” Aleya mengangguk menyanggupi.
Sebenarnya ia sering bermimpi bertemu dengan dua anak kecil, satu perempuan dan satunya lagi laki-laki. Tak hanya sekali, hampir setiap hari Aleya memimpikan anak-anak itu. Dirinya berpikir apakah ini adalah semacam penglihatan yang diberikan Tuhan untuknya, Aleya akan memiliki anak kembar laki-laki dan perempuan? Sungguh betapa senang dirinya jika hal itu menjadi kenyataan, Aleya sangat bersyukur.
Namun, ada satu hal yang mengganjal dalam pikirannya. Sedari semalam hati Aleya merasa was-was, entah apa ia tidak tahu. Sesuatu dalam dirinya bergejolak khawatir, cemas, ditambah dengan tendangan pada perutnya yang semakin menjadi. Disekitaran mata Aleya bahkan membentuk bulat kehitaman akibat susah tidur semalaman, jantungnya berdegup dengan keras.
Apa itu juga termasuk firasat, siapa yang sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja? apa mungkin Ayahnya? Tidak, tidak! Hartono pasti sudah berbahagia dengan keluarga barunya. Lalu siapa?
Semalaman suntuk Aleya hanya berdiam diri duduk di ranjang kasurnya, matanya sulit terpejam ketika hatinya sedang cemas. Hal itu membuat kepalanya agak pening karena kurang tidur, Aleya menghela napas kasar lalu sebisa mungkin ia memaksakan mata untuk terpejam.
“Leya!” Sebuah suara menginterupsi lamunan wanita itu, membuat Aleya gelagapan.
“Hah ya, ada apa?” Aleya menatap Renata yang mendengus sebal.
“Jangan melamun, nanti kesambet! Itu ponselmu bunyi.” Renata mengarahkan dagunya pada sebuah benda kotak berwarna hitam, ponsel milik Aleya yang sedari tadi bordering tapi sang empunya malah asyik melamun entah memikirkan apa.
Aleya segera meraih ponselnya yang berada diatas etalase yang posisinya tepat disampingnya, ia melihat id caller yang ada dilayar lalu mengangguk pelan.
“Ya, hallo?”
‘Ya ampun Aleya, sudah berapa kali aku menelponmu huh, tapi baru diangkat.’ Sebuah suara menggelegar terdengar memekakkan telinga.
Aleya menghela napas kasar lalu mendengus masam, ia tahu betul sifat dan perangai pemilik suara itu.
‘Hei hei hei, kamu sudah berjanji memeberikan aku alamat rumahmu, Ayo mana?!” Lagi, suaranya malah terkesan keras dan tidak sabaran.
“Sabar dulu, Hania. Iya ini setelah kamu menutup telponnya akan ku share lokasi.” Jawab Aleya. Ya, suara wanita yang ada disebrang sana adalah milik Hania, sahabat Aleya. Beberapa waktu lalu Aleya memutuskan untuk menghubungi Hania terlebih dulu, memastikan keadaan sahabatnya setelah lama ia tidak berjumpa.
Aleya yang baru saja mengeluarkan suara setelah sekian lama tidak memberi kabar Hania pun langsung diserbu berbagai pertanyaan oleh gadis itu. Hania begitu khawatir ketika ia tidak bisa menemukan Aleya dimana pun, Aleya merasa terharu karena ia masih memiliki seseorang yang menyayanginya dengan tulus.
Hania yang saat itu kalap langsung melabrak rumah Hartono, disana ia bertemu dengan Sinta dan Zizi yang sedang mengadakan pesta kecil-kecilan, terlebih rumah yang ditinggali itu mulai tidak terawat. Dasarnya Hania yang memang berani dan tak kenal gentar, ia memaki maki dua ibu dan anak itu. Dari semula mereka dipungut hingga dengan kurang ajarnya merampas hak-hak Aleya, Hania benar-benar melampiaskan kekesalan dan amarahnya. Karena Sinta dan Zizi lah, Aleya bisa sampai terusir dari rumahnya sendiri. Setelah puas memaki kedua wanita ular, dipertengahan jalan Hania berpapasan dengan Hartono, dan ia sama sekali tidak berniat menyapa ataupun bersopan santun.
Beberapa hari setelahnya Aleya mengabari dirinya, begitu bahagianya Hania saat itu. Terpaksa Aleya menceritakan awal cerita bagaimana ia bisa terusir dan juga kenangan buruk malam itu, semuanya telah Aleya ceritakan pada Hania. Hania tidak menyangka jika satu-satunya sahabat yang ia miliki tengah mengalami kejadian buruk berturut-turut, begitu bersalahnya Hania yang sempat mengira bahwa Aleya menghilang karena tidak ingin bersahabat lagi dengannya.
‘Ya, akan ku tunggu secepatnya.’ Ujar Hania diseberang sana.
Setelahnya bunyi telpon terputus, Aleya mengetikkan suatu pesan pada Hania. Jika tidak segera dituruti, maka Hania akan mencak-mencak dan nekat berbuat apapun.
Send.
Aleya hanya akan menunggu kedatangan Hania yang mungkin saja tidak akan lama lagi, ia yakin jika Hania pasti sudah bersiasp-siap diri dan memesan tiket untuk perjalanannya.
Renata yang sedari tadi diam kini mulai membuka mulut, ia memang belum mengenal siapa itu Hania. “Siapa yang menelponmu?”
“Sahabatku, kami sudah lama tidak berhubungan semenjak pengusiran itu.” Jelas Aleya, matanya mengerjap menahan air mata ketika mengingat saat itu.
Renata mengangguk mengerti, ia tidak melanjutkan pembicaraannya lagi ketika melihat raut wajah sendu yang kentara milik Aleya. Detik selanjutnya Aleya mengulas senyumnya lalu berdiri dari duduknya, tubuhnya terasa lemah ketika ia kebanyakan bergerak, kemungkinan hamilnya mempengaruhi factor tersebut.
Aleya mengambil bunga-bunga yang baru saja dirangkai oleh Renata, wanita itu menatanya pada etalase toko yang dapat menarik minat pembeli. Hasil karangan bunga milik Renata cukup bagus dan rapi, tidak salah jika Aleya mengunggulkan wanita itu. Renata adalah tipe wanita berbakat, sayang sekali suaminya telah menyia-nyiakan wanita sebijak Renata.
“Jam berapa ke kliniknya?” tanya Renata pada Aleya.
Aleya menghentikan aktivitasnya sejenak, ia menimbang-nimbang antara kedatangan Hania nantinya, apakah mencukupi waktunya atau tidak. Jika dipikir-pikir, pergi check up sebentar saja tidak masalah, toh nanti ia bisa menghubungi Hania terlebih dulu.
Terlebih, hari ini pembeli tidak begitu ramai, maka Aleya akan meluangkan waktunya untuk mengecek keadaan janinnya.
“Bagaimana kalau sekarang? Langsung tutup toko saja.” ujar Aleya pada Renata, sedangkan Renata mengangguk setuju.
“Hmm.. baiklah, Ayo!” jawab Renata. Wanita itu mengambil alih pekerjaannya, ia mulai membereskan sisa-sisa plastik dan bebungaan yang sempat terjatuh ketika akan dihias.
Sedangkan Aleya sendiri mulai menggeser kursi ringan yang biasanya ia sediakan bagi pembeli, wanita itu menyelesaikan semuanya dengan segera. Sedangkan bagian menutup pintu adalah milik Renata, karena harus membutuhkan daya dorongan, perut Aleya tidak bisa diajak bekerja sama untuk hal satu itu.
Setelah semuanya selesai keduanya bergegas menuju kamar masing-masing. Barang barang milik Renata telah ia pindahkan semua dari rumah lamanya ke rumah Aleya, Aleya sungguh menerima Renata dengan senang hati. Masalah Renata dengan suaminya akan selesai sebentar lagi, ia tinggal menunggu surat cerai dari pengadilan dan berakhir sudah bahtera rumah tangganya.
Saat Renata sedang mengambil barangnya ia bertemu dengan suaminya yang sedang bermesraan dengan wanita barunya, Renata yang sempat diusir lagi pun langsung menyela, ia hanya ingin mengambil barangnya, bukan berniat untuk memohon mohon kembali ke pelukan lelaki tak tahu diri itu.
Sedangkan Aleya sudah siap dengan terusan panjangnya, ia memakai sling bag yang terlihat mungil. Wajahnya yang ayu membuat siapapun yang melihatnya menjadi terpana karena auranya, perutnya yang membuncit bahkan menjadi penanda bahwa pria pria yang menginginkan Aleya harapannya harus pupus, yah, mereka menganggap bahwa Aleya sudah bersuami dan akan memiliki anak sebentar lagi.
Untuk hal satu itu Aleya memang tidak memikirkannya, ia tidak berniat mencari jodoh atau apapun itu. Aleya akan berusaha mengasuh anaknya jika sudah lahir nanti, yah meskipun tanpa seorang laki-laki. Sejujurnya sudah banyak orang-orang yang menanyai tentang kehamilannya, dan Aleya hanya bisa beralasan bahwa dirinya adalah seorang single parent. Sangat berat untuk Aleya tanggung, termasuk cibiran orang yang baru sekali dua kali mengenalnya.
Itu baru berkata bahwa dirinya single parent, Aleya memang tidak mengakui bahwa ia adalah korban pemerkosaan. Ia tahu bahwa stigma masyarakat malah menyudutkan pihak wanita, padahal jelas-jelas pria yang telah salah, tapi seolah olah wanita selalu dikaitkan dengan ‘menggoda hawa nafsu’.
Aleya mengelus perut buncitnya, bagaimana pun juga ia akan melindungi buah hatinya dari apapun yang terjadi.
Terdengar pintu kamar berderit menandakan bahwa Renata telah selesai bersiap siap, Renata memakai kemeja warna biru cerah dan dipadukan dengan celana kulot se lutut, membuatnya seperti wanita lajang yang Nampak mempesona. Aleya memuji penampilan Renata bak anak muda itu, ia tersenyum menggoda dengan menaik turunkan alisnya, membuat Renada mendengus sebal.
“Wah, Mbak Renata keren dan cantik, pasti laki-laki pada tidak bisa kedip mata.” Aleya tertawa menggelegar disertai menggoda sang empunya.
“Huhh Leya, jangan menggodaku! Lebih baik kita berangkat sekarang, aku sudah pesan taksi online tadi.” Renata memutar bola mata jengah, digoda oleh Aleya adalah hal yang membuatnya pusing, Aleya pandai bermain kata-kata.
Aleya semakin tergelak tawanya, ia melihat Renata yang sudah berjalan lebih dulu. Setelah memastikan bahwa semua barang-barang aman terkendali, Aleya segera mengunci pintu rumah. Didepan sana sudah ada kendaraan beroda empat warna biru terang bertengger manis, taksi online pesanan Renata telah datang tepat waktu.
Kedua wanita itu segera memasuki jok belakang taksi.
“Ke klinik ya, Pak.” Ujar Aleya pada sang sopir.
“Baik, Non.” Jawabnya. Setelah itu deru mesin mobil menyala mulai bergerak, dengan perlahan kendaraan itu mulai menjauh dari rumah sederhana Aleya.
Aleya dan Renata berdiam diri menikmati jalanan yang lenggang, keduanya hanyut dalam pikiran masing-masing. Sesekali Aleya memeriksa ponselnya untuk melihat apakah ada notifikasi pesan dari Hania, mengingat bahwa gadis itu langsung menuju ke kota ini.
Jarak antara rumah ke klinik membutuhkan waktu lima belas menit, dan juga harus menunggu antrean. Kendaraan beroda empat tersebut sudah menepi didepan bangunan luas yang penuh dengan lalu lalang manusia, mereka telah sampai tujuan. Aleya meminta sopir taksi untuk menunggunya, sebagai jaminan ia memberikan tip perjalanan menuju kemari.
“Tunggu ya, Pak.” Ujar Renata yang memastikan.
“Baik, Non.” Jawabnya.
Akhirnya Aleya dan Renata berjalan memasuki pintu masuk klinik, keduanya bagai kakak beradik jika berjalan bersamaan, mengingat usia mereka memang terlihat terpaut. Aleya mengeluarkan kartu identitasnya untuk urusan administrasi, sedangkan Renata memilih bangku untuk duduk, karena hanya Aleya yang akan masuk ke ruang pemeriksaan nantinya.
“Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?” seorang wanita berseragam perawat menyapanya dengan sopan, tak lupa disertai senyuman terbaiknya.
Aleya balik membalas senyuman itu, “Selamat siang juga, saya hendak memeriksakan kandungan.” Aleya menyerahkan surat suratnya.
Perawat itu mengangguk pelan sembari menerima kartu identitas Aleya untuk syarat administrasi, dilihatnya nama dan alamat milik Aleya, lalu mencatatnya pada sebuah kertas, selanjutnya menggesekkan kartu kredit milik Aleya.
“Atas nama Bu Aleya Lestari Hartono, benar?” tanya perawat itu untuk memastikan.
“Iya benar, Sus.”
“Baik, administrasinya sudah berhasil. Silahkan langsung menuju ruangan.” Perawat itu mengarahkan tangannya pada sebuah ruangan.
Aleya tersenyum, “terimakasih.”
Ia bersyukur bahwa tak perlu repot-repot mengantre, karena dokter kandungan sedang sepi pasien. Aleya membalikkan badan, mengkode pada Renata jika dirinya akan masuk ke dalam.
“Oke, siap!” ucap Renata yang hanya menggerakkan bibirnya, tak lupa jari jempolnya mengacung ke depan.
Ruangan terbuka bagian administrasi langsung berhadapan dengan bangku ruang tunggu, Renata mengedarkan pandangannya ke segala arah, siang ini pasien tidak terlalu ramai dan hanya beberapa pasien saja yang berlalu lalang dengan menggunakan infus yang masih menggantung. Renata pernah melakukan pemeriksaan kandungan di klinik ini, ketika dulu ia dipaksa oleh suaminya untuk mengecek kesehatan kandungannya. Renata menghela napas kasar, itu sudah lama sekali, kini semuanya hanya tinggal kenangan.
Ketika ia menggerakkan bola matanya ke arah samping, tepat yang terhubung dengan lorong panjang, Renata mengernyitkan dahinya melihat dua orang yang tidak ingin ia lihat. Ya, di sana ada suaminya dan juga istri barunya, istri yang dinikahi secara siri karena ia dan Renata belum resmi bercerai, dan Renata tidak memberikan izin untuk Pram menikah lagi. Alhasil, Pram dan istrinya harus menikah diam-diam dan secara siri.
Sampai sebelum ketukan palu dari pengadilan terdengar, saat ini Pram dan Renata masih belum sah bercerai, hanya saja Pram sudah menjatuhkan talaknya pada Renata.