7

1674 Words
Sebuah palu besar tak kasat mata menghantam jantung Aleya, ia sadar dari pikiran negatifnya. Tadi, saat sebuah niat jahat terlintas dalam pikirannya, tiba-tiba saja bayangan serta memori Aleya dengan sang ibu melintas dipikirannya. Munangsih mengelus rambutnya dengan penuh rasa kasih sayang. Aleya masih diam, apakah itu mimpi? Aleya menangis tersedu-sedu saat mengetahui fakta bawa seorang ibu pasti identik dengan sangat menyayangi buah hatinya, begitu pula dengan ibu dari Aleya. Munangsih amat menyayangi dirinya dengan kasih sayang yang utuh, lalu bagaimana dengan tak berperasaannya Aleya memiliki niat menggugurkan kandungannya? Dalam alam bawah sadarnya, Munangsih berpesan pada Aleya agar menjaga kandungannya dengan baik, meskipun sang empunya tidak menginginkan kehadiran anak itu. Saat itu pula Aleya sadar dari pikiran buruknya, bagaimana pun juga Aleya tidak boleh menjadi pembunuh, apalagi membunuh darah dagingnya sendiri. Aleya memang membenci ayah dari anak ini, tapi ia tidak seharusnya melampiaskan kemarahannya pada calon akanya. Aleya sudah membulatkan tekad untuk mempertahankan anaknya, ia mengelus perut datarnya dengan sayang, Aleya merasa menjadi orang yang paling jahat di muka bumi ini karena sempat berniat membunuh anak kandungnya sendiri. Munangsih sangat menyayangi Aleya, begitu juga Aleya yang juga harus menyayangi anaknya. Aleya berjalan tak tentu arah, matanya memandang ke depan dengan kosong, tak ada tanda-tanda kehidupan dimanik netra indah itu. Tadinya Aleya ingin berjalan-jalan disekitar daerah tempat tinggalnya, pikirannya terasa rumit jika berada di rumah. Bayang-bayang niat buruk seolah melambai padanya, Aleya merasa bersalah. Kawasan tempat tinggal Aleya memang ramai penduduk, meskipun bukan sebagai perumahan dan tidak pula berada dipusat kota. “Maafkan Mama, sayang.” Gumam Aleya pelan, ia mengelus perutnya dengan sayang. Seharusnya pikiran jahat itu tidak datang padanya, Aleya yang kalap langsung mendapatkan ide buruk itu entah darimana.Sepertinya setan yang membisik ke telinganya sudah hilang diganti dengan malaikat yang baik. Menghela napas panjang, Aleya memilih berbelok ke gang yang sering ia lewati untuk mengkulak bunga, matanya menatap beberapa orang yang saling berbisik dan menatap ke suatu titik. Aleya mengernyitkan dahinya, memangnya di sana ada apa? Wanita itu berjalan mendekati kerumunan, ada lima sampai tujuh orang saling menunjuk-nunjuk ke suatu rumah. “Dasar istri tidak berguna, mandul!” Maki sebuah suara dengan keras. Aleya tersentak kaget saat mendengar suara bentakan itu, yang tadinya Aleya ingin bertanya pada salah satu warga pun menjadi urung, ia langsung menoleh pada dua orang yang diketahuinya sebagai pasangan suami istri. Sang suami menunjuk-nunjuk wajah istrinya, tak lupa kata-kata kasar terus terumpat. Aleya meneguk ludah susah payah, jadi ini yang menjadi tontonan mereka. “Mas, aku mohon tunggu sebentar lagi, aku tidak mandul aku – aku,” ucapannya terpotong saat suara lain menyahut. “Sudah cukup! Aku tidak mau mendengar pembelaanmu lagi, sudah lima tahun ini aku menunggu anak darimu, tapi nyatanya apa hah? Kamu wanita mandul tidak berguna, pergi dari sini.” Pria itu menyeret sang istri dengan kasar, lalu berniat melemparnya ke luar gerbang. “Jangan usir aku, aku mencintaimu Mas.” Perempuan yang tak jauh usianya dari Aleya itu meronta-ronta tak ingin diusir, ia menggelayut dilengan suaminya agar tidak terjatuh ke panasnya aspal. “Aku tidak mencintaimu, aku sudah mempunyai perempuan lain yang bisa memberikanku anak. Mulai saat ini kita cerai, aku memberimu talak.” Suaminya bersikukuh untuk tetap berpisah. Hati Aleya teriris, ia langsung mendekap perutnya. Bagaimana mungkin seorang pasangan suami istri yang telah cukup lama menikah belum dikaruniai buah hati, sedangkan dirinya? Aleya menggelengkan kepala, ia harus lebih bersyukur apapun keadaannya. Perempuan itu semakin terseok-seok saat sang suami menyeretnya dengan cepat, bahkan kali ini tubuh ringkih itu benar-benar terlempar dari halaman rumah. Aleya melongo tak percaya, jika sudah seperti ini maka bisa dipastikan bahwa kekesaran rumah tangga. “Pak, Bu. Tolong bantu ibu itu, kasihan.” Aleya berkata pada orang-orang yang menonton. “Jangan ikut campur masalah rumah tangga orang lain, biarkan saja! Toh kenyataannya memang perempuan itu mandul, benar saja jika suaminya menceraikan karena dia perempuan tidak berguna.” Seru salah satu bapak-bapak berkepala pelontos. Aleya menganga tak percaya, jahat sekali ucapan itu. Apakah perempuan hanya dipandang sebelah mata yakni alat penghasil anak semata? Pada akhirnya sang suami pun langsung menutup gerbang rumahnya, para warga yang tadinya menyaksikan segera pergi bubar karena tidak ada lagi tontonan yang menarik baginya. Perempuan itu tersedu-sedu dan terduduk di tanah, Aleya segera menghampirinya. Setahu Aleya, pasangan suami istri ini baru saja pindah ke mari sekitar satu minggu lalu, karena rumah ini sebelumnya telah kosong. Namun, matanya melihat plang spanduk yang bertuliskan bahwa rumah itu akan dijual cepat. “Mbak, ayo bangun!” Aleya memapah tubuh tak berdaya itu. Perempuan itu hanya diam saat tubuhnya digerakkan oleh Aleya, matanya menyirat nanar dan kosong. “Kamu siapa?” Perempuan itu berusaha bersuara meski tercicit, ia menatap Aleya dengan bingung. Pasalnya, tidak ada yang benar-benar menolongnya, orang-orang hanya ingin melihat perdebatan dan tontonan gratis. “Mbak ke rumahku dulu ya, Ayo!” Aleya membantu perempuan itu untuk berjalan sampai ke rumahnya, tak jauh dari tempat itu Aleya sudah bisa melihat bagian rumahnya dari seberang jalan. Dengan hati-hati Aleya menyeberangi jalan, sedangkan perempuan itu hanya diam mengikuti sang penolongnya. Kembali Aleya berjalan ke dalam rumah, kali ini ia langsung membawa perempuan itu dalam ruang tamu, Aleya mendudukkannya disana. Aleya langsung mencari minuman apapun, sedangkan di kulkasnya hanya ada sebotol air mineral, ia mendesah. “Mbak minum dulu, hanya ada ini.” Aleya berkata dengan hati-hati, ia masih melihat ekspresi syok dan kecewa dalam wajah perempuan itu. “Terimakasih.” Ujarnya pada Aleya, perempuan itu meletakkan botol air mineralnya. Terdengar isak tangis lagi, sedangkan Aleya menggaruk kepalanya yang tidak gatal karena ia bingung bagaimana cara menenangkan orang yang sedang syok seperti ini. “Mbak tenang ya…” Aleya mengusap lengan itu dengan perlahan, memberikan ketenangan disana. Perempuan itu menatap Aleya, “kamu kenapa menolongku?” “Tidak ada salahnya untuk saling tolong menolong, kan?” Aleya tersenyum simpul. “Iya, kamu benar. Terimakasih telah menolongku.” Aleya mengangguk sembari tersenyum. Jika dilihat-lihat, Renata adalah perempuan berparas anggun dan teduh, matanya menyorot akan penuh kasih sayang. “Suamiku ingin menceraikanku karena aku mandul, padahal selama ini aku baik-baik saja. Dia memilih pergi dengan wanita lain, dan mengusirku dari rumah itu.” Tanpa Aleya tanyai, tiba-tiba saja ia bercerita. Matanya menerawang ke depan dengan getir, ia menggenggam erat tangannya untuk menguatkan hatinya. “Maaf jika boleh tahu, rencananya Mbak mau ke mana setelah ini?” Wanita itu menggeleng, tak tahu lagi akan dibawa kemana kakinya melangkah selanjutnya. “Sejujurnya aku menikah dengan Mas Pram karena keinginanku sendiri, orangtuaku tidak menyetujuinya. Aku berasa menjadi anak yang durhaka, dan pada akhirnya perkataan orangtuaku benar adanya, Mas Pram bukan orang yang baik. Dia- dia bahkan selingkuh dan bermain dengan banyak wanita. Aku tidak tahu lagi harus kemana, untuk kembali ke orangtuaku pun aku sudah sangat malu.” Aleya mengangguk paham, nasib wanita dihadapannya tak jauh berbeda dari dirinya. Aleya bahkan sampai diusir dari rumah oleh Ayahnya, dan juga sama-sama disakiti oleh orang tersayang. Aleya menatap wanita itu dengan serius, membuatnya memngernyitkan alis. “Jika Mbak mau, bisa tinggal disini bersamaku.” Ujarnya, wanita itu menatap Aleya dengan terkejut. “Kamu serius? Bagaimana bisa kamu memperbolehkan orang asing tinggal disini, lagipula bagaimana jika keluargamu tidak mengizinkan.” “Aku tinggal disini sendirian, ini rumah mendiang Ibuku.” Aleya menjelaskan dengan singkat. “Tapi aku orang asing, bahkan aku baru tinggal di kompleks ini selama satu minggu.” “Tidak apa-apa, orang asing bisa menjadi keluarga, meski tidak sedarah.” Aleya tersenyum manis, ia meyakinkan tetangganya itu. “Baiklah, aku mau. Maafkan aku karena telah merepotkanmu.” Ujar wanita itu dengan segan. “Mbak tidak merepotkan, aku malah senang jika ada teman di rumah ini,. Oh ya, namaku Aleya, Mbak sendiri?” “Aku Renata, usiaku dua puluh lima tahun.” Renata mengulurkan tangannya untuk berkenalan, Aleya menyambutnya dengan hangat. “Usia kita cukup jauh beda, selisih lima tahun.” Aleya terkekeh pelan. “Apa yang bisa aku bantu selama berada disini?” Tanya Renata, ia tidak enak jika hanya hidup menumpang tanpa melakukan apapun. “Jika Mbak mau, Mbak Renata bisa membantuku berjualan bunga, ruang sebelah ku gunakan untuk toko.” Tukas Aleya. Renata membulatkan mata indahnya, ia menatap Aleya dengan senang. “Bunga? Wah, aku menyukai bunga, siap laksanakan! Aku akan bekerja sebaik mungkin.” Renata menggerakkan tangannya seperti bak hormat, keduanya terkekeh pelan. Kepribadian Renata ternyata menyenangkan dan mudah untuk tertawa, meski dari wajah ayu itu masih emnyimpan duka yang dalam. Untuk sesaat Aleya terdiam, ia melupakan satu hal. Apakah ia harus mengatakannya? “Mbak Renata?” Aleya memanggil nama Renata, membuat sang empunya menoleh dengan cepat. “Aku sedang hamil.” Ucap Aleya tanpa basa-basi, ia berpikir bahwa suatu saat Renata pun akan tahu jika perutnya membesar, dan sebagai orang yang tinggal satu rumah maka Aleya memberitahukannya. Renata memekin senang. “Wah selamat ya, di mana suamimu?” Wajah Aleya seketika berubah sendu, “aku hamil tanpa suami.” Renata membulatkan mata terkejut, ia meringis pelan karena merasa tak enak hati. “Aku korban pemerkosaan, pria itu – dia mengambil kehormatanku, dia hikss." Aleya tak kuasa menahan tangis, bahkan kini dadanya berdegup kencang saat ingatan itu kembali, rasa traumanya. Renata mendekat pada Aleya, ia memeluk Aleya dengan erat seolah menyalurkan kekuatannya. “Ssttt… semuanya akan baik-baik saja, Aleya. Kamu wanita yang tangguh, jangan mengingat kejadian itu, lupakan!” Renata berusaha menenangkan Aleya. Bagaikan sebuah mantera, Aleya mengangguk pelan, mengusap air matanya yang tanpa ia sadari telah menetes. “Terimakasih, Mbak Renata.” Aleya mengukir senyum manisnya “Pertahankan darah dagingmu, Aleya. Meskipun ia ada bukan dari kemauanmu sendiri, tapi berikan ia kehidupan sebagai haknya. Yang bermasalah adalah ayahnya, bukan anakmu.” Renata mengelus perut rata Aleya, ia tahu betul bagaimana rasanya menanti seorang buah hati yang tak kunjung diberi. Aleya memeluk Renata dengan erat seolah mereka sudah berkenalan sejak lama, pelukan Renata sama halnya dengan Munangsih; menenangkan. Aleya bahkan miris melihat kondisi Renata yang mana lebih buruk dari dirinya, Renata dibuang oleh suaminya karena tidak bisa hamil. Seharusnya Aleya bersyukur karena ia memiliki rahim yang sehat dan juga bisa memiliki keturunan, dan mulai saat ini ia akan menjaga dan menyayangi anaknya. Aleya berjanji!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD