Hari hari telah Aleya lalui dengan kebahagiaan yang penuh, ia sudah melanjutkan hidupnya dengan baik. Toko bunga yang semula bernama Zeti Munangsih sudah ia rubah sedikit, menjadi Zeti Lestari, perpaduan antara nama Aleya dan Munangsih. Aleya berharap bahwa nama itu membuat tokonya semakin berkah dan terus laris.
Tak terasa hari telah berubah menjadi minggu, Aleya sudah memulai usahanya semenjak tiga minggu lalu. Tokonya mulai ramai oleh pembeli, rata-rata yang membeli bunga adalah langganan Munangsih dulu.
Mereka senang karena pada akhirnya toko ini buka kembali, kualitas bunga milik Aleya sangat bagus, Aleya selalu memberikan bunga yang masih segar, tak lupa ia juga menyapa mereka dengan ramah. Dengan perlahan toko ini mulai bangkit, Aleya berharap jika
Aleya belum berniat merekrut pegawai yang akan membantunya bekerja, karena untuk saat ini dirinya masih bisa mengatasi pembeli dengan baik. Untuk nanti jika pelanggan mulai membludak, maka Aleya akan mulai mencari pegawai untuk tokonya.
Pagi ini Aleya sudah bersiap-siap untuk membuka toko, etalase sudah tertata rapi dan juga pasokan bunga segar masih banyak. Aleya sengaja memesan bunga pada tengkulak langganan mendiang Munangsih, mereka dengan suka hati kembali menjadi langganan di toko ini meskipun sudah beralih pemilik dan juga sedikit berganti nama, tapi darah seorang Munangsih sangat lekat pada Aleya, sama-sama memiliki pelayanan yang bagus untuk pembeli.
Ditariknya pintu geser sehingga terdengar derit yang cukup mengganggu telinga, apalagi pintu tersebut sudah berkarat, sepertinya Aleya butuh merenovasi sedikit pada tokonya, tentu saja jika penjualan sedang ramai dan sudah memiliki banyak keuntungan.
Sejujurnya Aleya bisa saja menggunakan uang warisan dari Munangsih, tapi urung dilakukan karena Aleya sudah berjanji untuk berusaha mandiri, uang Munangsih hanya akan ia gunakan disaat sungguh terdesak saja.
Saat Aleya sudah membuka pintu dengan penuh, matanya membulat terkejut mendapati beberapa orang yang tengah antre didepan sana, bahkan sampai ada yang duduk didepan terasnya.
Aleya menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
“Syukurlah sudah dibuka, Mbak Leya tolong bunga lili putihnya dibuat buket ya, mau jenguk orang sakit.” Seru salah satu dari mereka, melihat ada yang sudah memesan, satu orang yang tadinya berduduk ria langsung berdiri untuk ikut memesan juga.
“Bunga mawar dua tangkai.” Seorang pria mendekati etalase, Aleya ingat bahwa pemuda itu adalah orang yang sama seperti kemarin.
“Oh iya ya, tunggu sebentar ya, maklum baru buka.” Aleya tersenyum kecil untuk menenangkan pembelinya.
Ia tidak menyangka jika sepagi ini sudah ada yang mengantre, lagi pula Aleya memang akan membuka toko ketika jam Sembilan pagi, dan akan tutup jam lima sore.
Dengan cekatan Aleya merangkai bunga yang dipesan oleh pembeli, ia meraih segenggam bunga lili dan merangkainya. Aleya sudah diajari oleh Munangsih mengenai cara merangkai bunga, sejak kecil Aleya sudah memperlajari banyak hal dari sang ibu.
Aleya mengukir senyumnya saat mendapati bahwa buket lili telah jadi, ia langsung menyerahkan bingkisan itu pada pemiliknya.
“Wah, bagus Mbak, terimakasih ya.” Pembeli itu memuji rangkaian Aleya, sembari menyodorkan selembar kertas berwarna biru.
“Sama-sama.”
Setelahnya Aleya memberi dua tangkai bunga mawar pada pembeli lain, tak membutuhkan waktu lama untuk Aleya menyelesaikannya.
“Mbak terimakasih lho ya, karena tips dari Mbak kemarin akhirnya cinta saya diterima sama orang yang paling saya cinta.” Pemuda itu tersenyum lebar, Aleya terkekeh kecil.
“Selamat kalau begitu, tapi ingat! jangan menyakiti hatinya.” Ujar Aleya memberi nasehat kecil.
“Pastinya,” jawab pemuda itu, lalu pergi berpamitan dengan hati berbunga-bunga.
“Dasar ABG.” Gumam Aleya sembari terkekeh.
Aleya mendudukkan dirinya pada kursi plastik untuk menunggu pembeli dengan setia, biasanya jam seperti ini pembeli masih sedikit, mereka akan datang ketika jam istirahat kerja. Terlebih, toko Aleya dekat dengan beberapa kafe dan restoran, membuat beberapa anak muda yang ingin menyatakan cinta pada sang kekasih memilih membeli bunga ke toko Aleya.
Sembari menunggu pembeli, Aleya meraih ponselnya yang telah usang, tiga hari lalu ponselnya terjatuh di teras rumah, membuat layarnya retak beberapa bagian. Aleya menghela napas panjang, ia sudah mengganti nomor ponsel, akun sosial media dan yang lainnya. Ia tidak ingin berhubungan dengan siapapun lagi, saat ini terlintas satu nama dipikirannya.
Hania.
Mungkin saja saat ini gadis itu sedang bingung mencaricari keberadaan sahabatnya, Hania adalah satu-satunya orang yang tulusa menyayangi Aleya.
Dalam hati Aleya ingin sekali menghubungi gadis itu, tapi ia tidak ingin Hania memberitahukan keberadaannya pada orang lain, termasuk keluarganya sekalipun.
Namun, Aleya juga berjanji suatu saat ia akan menghubungi Hania, dan ia akan mengatakan semuanya dengan jujur, setidaknya untuk kali ini biarkan Aleya menenangkan pikirannya terlebih dahulu.
“Hahh.. aku berjanji padamu Hania, aku akan segera mengabari dirimu, sebentar lagi!” ujarnya sembari menerawang ke depan.
Suara deru motor memasuki halaman rumah Aleya, dilihatnya seorang wanita paruh baya sedang memakirkan motornya dan melepaskan helm. Aleya mengenali wanita itu, ia adalah tetangga samping rumahnya yang juga pernah membantunya membersihkan rumah.
Wanita itu menggenggam kantong plastik warna hitam, menenteng benda tersebuh dikanan dan kiri tangannya.
“Mbak Leya, ini saya punya sedikit masakan dari rumah saudara yang sedang hajatan, dimakan gih.” Wanita itu menyerahkan bungkusannya pada Aleya.
“Bu Ria tidak perlu repot segala.”
“Tidak apa-apa Mbak, dimakan saja ya, lagi pula masih banyak kok makanannya.” Ujar Ria tersenyum.
“Baiklah Bu, Terimakasih atas makanannya.” Aleya menerimanya.
“Sama-sama, saya permisi dulu.”
“Iya Bu, silahkan.”
Bu Ria kembali mensetater motor bebeknya, Aleya melihat kepergian wanita itu dengan senyum merekah, ahh ia jadi teringat pada Munangsih.
Sejujurnya Aleya juga belum sarapan pagi ini, ia langsung membuka toko dan berniat makan setelah jam sebelas sekalian, nafsu makannya turun drastis selama beberapa hari ini.
“Mencoba makan tidak ada salahnya kan.” Gumamnya, Aleya mulai membuka bungkusan plastik itu.
Dilihatnya ada potongan rendang dan sayuran daun singkong kuah, jika dilihat-lihat itu seperti nasi padang. Aleya sangat menyukai masakan itu, ia langsung menyiapkan piring dan sendoknya.
Baru beberapa detik ia mengunyah makanan, tiba-tiba saja perutnya terasa melilit meminta untuk dimutahkan isinya.
“Hoek Hoek, Ugh!” Aleya membungkam mulutnya, ia lari ke halaman depan, disana ada air keran yang bisa ia gunakan untuk membasuh mulutnya.
Ia mengeluarkan makanan yang baru saja ia konsumsi, dan terakhir adalah keluar cairan bening dari mulutnya.
Aleya terduduk lemas dilantai, dahinya berkeringat terkena sinar matahari pagi.
“Ya tuhan, apa aku masuk angin?” Aleya mencoba membasuh mulutnya, meski rasa mual itu masih ada.
Aleya tertatih-tatih masuk ke dalam toko, tubuhnya terasa lemas tak bertenaga, ditambah kepalanya sangat pening. Aleya merapikan kembali makanannya, dahinya mengernyit ketika hidungnya mencium aroma rendang dan kini perutnya mulai bergejolak kembali.
Kali ini Aleya langsung berlari ke toilet, wanita itu mengeluarkan semua isi perutnya.
“Hoek, Hoek..” Tubuh Aleya meluruh ke dinding, ia terduduk dengan tak bertenaga.
“Sebenarnya kenapa dengan diriku?”
Aleya mendongakkan kepala ke langit-langit berusaha menetralkan gejolak perutnya, sesaat ia terdiam ketika mendapati sebuah kotak plastik berwarna oranye.
Pembalut. Jantung Aleya berdegup kencang saat itu juga, ia mengangkat jari-jarinya dan menghitung tanggal.
Deg!
Bola matanya membulat, mulutnya menganga tak percaya.
Sudah enam minggu ini Aleya tidak mendapati tamu bulanannya, terlebih saat itu Johan telah melakukannya. Tidak, Aleya menggelengkan kepalanya.
“T-tidak mungkin, aku tidak mungkin hamil.” Tangan Aleya bergetar menyentuh perutnya, air mata mulai menetes.
Aleya mengerang keras, ia menjambaki rambutnya sendiri, trauma itu datang lagi, pernapasan Aleya terasa sesak.
“Hahaha.. aku tidak mungkin hamil, ya?” Tanyanya pada diri sendiri.
Aleya berusaha bangkit dari bersimpuhnya, ia menatap pantulan tubuhnya pada cermin. Wajahnya sembab, rambutnya kusut, dan juga lengan dan pinggangnya terasa lebih melebar, jangan lupa ada rasa nyeri pada dadanya.
Ia membasuh muka dengan kasar, Aleya akan membuktikan bahwa ia tidak hamil, Aleya akan langsung membeli test pack.
Aleya keluar dari toilet, ia menyambar tasnya dengan sembarangan. Tak lupa ia menutup toko dan mengunci pintu, pada saat bersamaan ada seorang pembeli yang hendak berbelok ke halaman, tapi Aleya buru-buru meminta maaf karena saat ini ia memiliki urusan dan menutup tokonya.
Setelahnya Aleya langsung mencari kendaraan apapun yang bisa ia gunakan untuk sampai di apotik, dan matanya menangkap ojek pangkalan, Aleya langsung bergegas mendekat.
“Apotik terdekat sini.” Ucapnya tanpa basa basi, bahkan ia langsung duduk di jok belakang tanpa disuruh.
Tak elak, pengendara ojek itu langsung mengantar Aleya pada tujuan, diperjalanan Aleya meremas jari-jarinya yang mulai berkeringat dingin. Jarak antara rumah dengan apotik terasa sangat jauh, padahal sejatinya ada banyak apotik diwilayah ini.
Butuh waktu sepuluh menit untuk sampai, Aleya melepaskan helm yang ia pakai.
“Tunggu sebentar ya, saya akan kembali.” Ujarnya.
Aleya langsung memasuki bangunan yang berisi obat-obatan yang berjejer, aroma menyengat masuk ke dalam indra penciumannya, dan lagi-lagi perutnya bergejolak, Aleya menahan dengan sekuat tenaga agar ia tidak muntah ditempat umum.
“Ada yang bisa saya bantu?” Pegawai apotik mendekati Aleya.
“Test pack lima buah, dengan merk yang berbeda.” Tukas Aleya, ia akan menggunakan benda-benda itu semuanya, bahkan dari bermacam merk sekalipun, ia akan melihat keakuratannya.
Pegawai apotik mengambilkan barang yang Aleya butuhkan, dan Aleya dengan tak sabarannya langsung mengambil benda-benda itu.
“Berapa semuanya?”
“Tujuh puluh ribu,” ujar pegawai tersebut.
“Kembaliannya ambil saja.” Aleya memberi selembaran uang berwarna pink kemerahan, dan pergi berlalu begitu saja.
pikiran Aleya sedang kalut, ia sudah tidak sabar mengeceknya.
“Balik lagi ke rumah, Bang.” Ujar Aleya pada pengendara ojek. Aleya menatap jalanan dengan getir, jika nantinya ia positif hamil, bagaimana kelanjutan hidupnya?
Terlebih, ia memiliki trauma akut jika mengingat kejadian malam itu, Aleya bahkan sulit melupakan baying-bayang wajah pria yang bernama Johan.
Tak terasa kini Aleya sudah sampai rumah, ia langsung memberi uang ongkos untuk pengendara ojek itu.
Setelahnya Aleya berlari menuju rumah, tempat yang ia tuju saat ini adalah toilet.
Aleya telah menampung sebagian urin miliknya pada wadah kecil, dengan tangan bergetar Aleya memasukkan semua test pack itu. Jantungnya semakin berdegup kencang, perutnya terasa melilit, dua menit adalah waktu yang sangat lama bagi Aleya saat ini.
Matanya menatap ke lima stik panjang itu dengan harap-harap cemas, bibirnya bergetar untuk merapalkan doa sebisa mungkin.
Dua menit telah berlalu, Aleya memberanikan diri mengangkat stik-stik itu.
Glek! Aleya menahan napasnya beberapa detik.
Dua garis merah, yang berarti Positif.
Aleya meluruh ke lantai toilet, tak mempedulikan sebagian bajunya yang basah. Ia mulai menangis meratapi nasibnya, didalam perutnya tumbuh janin hasil perkosaan pria itu, pria yang bernama Johan.
Bagaimana mungkin Aleya bisa menjalani hidup ini, ia sudah hancur sehancur-hancurnya. Pria itu meninggalkan bekas pada diri Aleya, Aleya mengandung anak dari Johan yang bahkan tidak Aleya kenali.
Tangannya saling mengepal erat, kuku-kukunya menembus kulit tangannya. Dengan geram Aleya memukul-mukul perutnya yang masih rata, tangis Aleya begitu pilu dan menyayat hati.
“ARGHHHH! AKU BENCI KAMU, AKU TIDAK MENGHARAPKANMU.” Aleya berteriak marah, perutnya terasa ngilu saat ia berusaha memukulnya.
Kepala Aleya terjatuh ke lantai, ia meringkuk pasrah dibawah sana.
Kenapa Tuhan begitu jahat padanya, apa jadinya jika Aleya hamil anak dari pria k*****t itu? Aleya hamil diluar nikah, Aleya hamil hasil dari anak pemerkosa, Aleya tidak sanggup.
Selama beberapa hari ini
kehidupannya telah berjalan dengan baik, susah payah Aleya melupakan kejadian buruk masa lalu, tapi kini sebuah masalah baru telah menghadangnya.
Masalah yang lebih besar, masalah yang membuatnya harus terhubung dengan kesakitan dimalam yang begitu mengerikan.
Nasibnya begitu buruk, Aleya sudah tidak sanggup menahan rasa sakit ini. Ia memikirkan sebuah ide lain, hanya satu-satunya ide yang terlintas dalam pikirannya sekarang.
Bunuh diri.
Dengan Aleya bunuh diri maka semuanya akan selesai, Aleya hendak berjalan keluar toilet, tapi seketika itu ia terdiam, tiba-tiba sebuah ide lain terlintas dalam otaknya.
“Aku tidak akan menyia-nyiakan hidupku, jika ada yang harus mati, maka anak inilah yang pantas untuk mati.” Aleya tersenyum menyeringai. Sisi iblis tiba-tiba datang menghantui pikirannya, berniat membunuh calon jabang bayinya.
Ya, Aleya berniat menggugurkan kandungannya.