Sebuah mobil berhenti tepat pada bangunan yang terbengkalai, rumput-rumput liar menjulang tinggi, meskipun begitu bangunan tersebut masih kokoh berdiri. Disana terdapat tulisan yang menjadi penanda bahwa Aleya sudah berada ditempat yang tepat, senyumnya merekah.
“Toko bunga Zeti Munangsih,” ujarnya membaca spanduk lusuh yang masih berkibar diterpa angin.
Aleya melangkahkan kakinya menuju rumah itu, tak terlalu besar, tapi cukup untuknya bertahan hidup.
Rumah tersebut memang langsung berdempetan dengan toko yang ada disampingnya. Hanya berlantai satu, dan juga minimalis sederhana. Aleya memang lebih suka jenis rumah seperti ini karena ia tidak perlu dipusingkan dengan kegiatan bersih-bersih yang akan menguras tenaga, jika rumahnya sangat luas.
Aleya berjongkok untuk membuka resleting koper, ia mencari-cari sesuatu disana. Tangannya bergerak lincah didalam koper tersebut, hingga pada akhirnya jari-jarinya merasakan sesuatu yang ia tengah cari. Aleya mengembangkan senyumnya, kunci rumah.
Bertahun-tahun lalu Munangsih telah berpesan pada Aleya untuk sesekali mengunjungi rumah itu, Aleya menyimpan kunci rumah dengan sangat baik. Aleya berdiri setelah menutup kembali resleting kopernya, langkah kakinya mulai menelusuri halaman yang tak terlalu luas tersebut.
Aleya mencoba memasukkan kunci tersebut pada lubang pintu, sejujurnya ini terasa berat karena pintu tersebut sudah mulai berkarat, Aleya harus ekstra menambah tenaga untuk memutar kuncian tersebut.
“Ohh , Ayolah.” Aleya bahkan sampai menggertakkan bibirnya.
Cklek.
Suara pintu terbuka membuat Aleya mengukir senyumnya, akhirnya ia dapat membuka pintu itu. Dengan langkah penuh kehati-hatian Aleya mulai memasuki rumah itu, banyak sarangg laba-laba dan juga debu.
“Uhuk uhuk, Astaga!” Aleya terbatuk-batuk saat tak sengaja menghirup debu yang berterbangan tersapu angin, kala Aleya baru saja membuka pintunya.
Bagian dalam rumah itu masih Nampak baik dan kokoh, hanya saja banyaknya debu dan kotoran membuat tempat itu layaknya tak terawat. Jika ditelaah lebih lanjut memang keluarga Aleya sudah tidak mengunjungi rumah ini semenjak kematian Munangsih, itu berarti sudah lima tahun lamanya.
Aleya mengitari rumah itu, tak lupa ia juga berjalan ke samping dimana menjadi ruang untuk toko Munangsih.
Sama halnya seperti ruang lain, bagian toko juga berserakan oleh debu dan kotoran. Disana masih ada beberapa rak dan etalase untuk menyimpan bunga, ada juga rotan dan gabus yang digunakan sebagai karangan bunga, pernak Pernik sisa bunga-bungaan milik Munangsih masih tersimpan dengan apik.
Membersihkan semua rumah ini perlu waktu seharian hingga sampai tuntas, Aleya menatap sekelilingnya yang kotor parah. Bekerja sendirian tidak bisa ia lakukan karena perlu tenaga ekstra, sepertinya ia harus menyewa jasa seorang tukang kebersihan untuk membantunya.
Aleya keluar dari rumah, ia akan meminta bantuan dari tetangga sekitar untuk memberinya info jasa penyewa kebersihan. Rumah milik Munangsih berada dipinggir jalan penghubung, jalan aktif yang menghubungkan antar daerah. Aleya melirik tetangga kanan kirinya, disana ia melihat ada segerombolan ibu-ibu yang sedang memberi sayuran keliling.
Ia melangkahkan kaki mendekati kerumunan itu, sesampainya disana Aleya ditatap oleh beberapa pasang mata, pasalnya mereka sebelumnya belum pernah mendapati Aleya.
“Permisi ibu, saya ingin bertanya mengenai jasa orang yang bisa membantu saya untuk membersihkan rumah.” Aleya berujar dengan sopan, tak lupa mengulas senyum tipisnya.
Ibu-ibu lain yang tadinya sedang memilih sayuran pun menengok ke asal suara, Aleya menyapa mereka dengan ramah.
“Mbak baru ya disini?” tanya salah satu dari mereka.
“Iya, Bu. Kebetulan saya menempati rumah itu.” Aleya menunjuk rumah mendiang Munangsih.
Mereka semua terkejut, menatap Aleya tak percaya.
“Kamu anaknya Bu Munangsih, benar?”
Aleya mengangguk, “Iya.”
Salah satu dari mereka maju ke depan, memperhatikan Aleya dari atas hingga bawah lalu tersenyum cerah.
“Ya Tuhan, kamu Aleya kan? Sudah besar dan cantik ya ternyata, persis seperti Bu Munangsih.” Teriaknya dengan heboh, bahkan si penjual sayuran pun juga menatapi Aleya.
“Mbak Aleya anaknya Bu Munangsih, masih ingat sama saya tidak?” tanya penjual sayuran itu.
Aleya meringis menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. “Maaf Bu, saya lupa.”
“Oh tidak apa-apa, namanya juga sudah lama. Bu Munangsih selalu langganan sayuran sama saya, bahkan dari sebelum dia menikah.”
“Kamu mau buka toko bunga lagi, Mbak?” tanya ibu bertubuh tinggi diantara mereka.
Aleya tersenyum mengangguk. “Iya Bu, rencananya saya akan buka kembali toko bunga itu.”
Seketika itu ia menjentikkan jarinya, membuat Aleya bingung.
“Tidak usah menyewa jasa tukang bersih-bersih, lebih baik kita bantu Mbak Leya saja, bagaimana ibu-ibu?”
“Setuju, kita siap membantu.” Seru mereka bersamaan, Aleya agak terkejut.
“Tidak usah Bu, nanti malah merepotkan kalian.”
“Tidak, tidak! asal Mbak Leya tahu, selama ini Bu Munangsih selalu baik dengan tetangga-tetangganya. Saya sering dibantu oleh Bu Munangsih, bahkan saat ekonomi keluarga sedang ambruk, Bu Munangsih memberi saya bantuan, jasanya tidak akan terlupakan.” Ujar salah satu dari mereka, langsung diangguki oleh yang lainnya.
“Iya benar, dulu Bu Munangsih juga yang mendekorasi panggung pernikahanku dengan suami.” Seru salah satunya lagi.
Aleya yang mendengarnya pun tersenyum bahagia, Ibunya selalu baik kepada siapapun, meskipun sang empunya telah meninggal, tapi harum namanya tak kan pernah dilupakan oleh orang-orang yang telah ditolongnya.
“Iya maka dari itu Mbak Leya jangan sungkan, satu jam daris sekarang kita akan sampai dirumahnya Mbak.”
“Terimakasih, Bu.” Aleya mengangguk pelan.
Mereka semua akan memasak terlebih dulu, lalu setelahnya akan pergi emmbantu Aleya membersihkan rumahnya.
Aleya segera pamit undur diri, ia tak menyangka bahwa akan dibantu oleh ibu-ibu tetangga dikanan dan kirinya, Aleya merasa terharu.
Dilihatnya jam menunjukkan pukul sebelas siang, perjalanan menaiki kereta tadi membutuhkan waktu sekitar satu jam saja. sebenarnya kota ini tidak terlalu jauh dari kota kelahirannya, tapi Aleya berusaha tegar jikalau suatu saat ia akan bertemu dengan orang-orang masa lalunya disini.
Aleya menatap figura besar yang masih terpampang diruang tamu, itu adalah gambaran Munangsih sewaktu masih muda. Ada bunga-bungaan yang mengelilingi wanita itu, Munangsih tersenyum lebar sembari merangkul pot bunga besar.
Pertama-tama Aleya akan menyapu ruangan tersebut sembari menunggu kedatangan para tetangganya, Aleya menyapu kamar mendiang Munangsih terlebih dulu.
Munangsih adalah seorang anak dari orang biasa, tapi ia bersikeras membangun usahanya sendiri yaitu toko bunga ini, Munangsih mampu membuktikan bahwa ia adalah wanita mandiri dan bisa diandalkan, toko bunga Zeti Munangsih menjadi toko bunga terkemuka pada jamannya.
Aleya kecil pernah diajak mengunjungi rumah ini. Saat itu toko bunga miliki Munangsih masih beroperasi meski pemiliknya sudah tinggal diluar kota, Munangsih sesekali melihat perkembangan bisnisnya.
Aleya kecil selalu berlari-lari dihalaman depan yang juga penuh oleh tanaman bunga berbagai jenis, alhasil Aleya akan jatuh tersungkur dan menangis disana, mengingat itu semua membuat Aleya terkikik geli, masa kecilnya memang indah.
Setelah beberapa tahun kemudian, Munangsih mulai sakit-sakitan. Akhirnya dengan hati yang berat ia menutup toko bunga, dan beralih memberikan uangnya untuk modal sang suami, Hartono.
Munangsih adalah wanita yang baik, ia tidak meminta uangnya untuk dikembalikan. Tapi Hartono bersikeras berjanji akan mengembalikan uang yang dipinjamkan oleh Munangsih sebagai modal itu, dan Munangsih pun mau menerimanya tapi ia mengalihkan uang tersebut untuk sang anak, Aleya.
Aleya awalnya yang tak mengerti apapun akhirnya mulai paham, ia mendapatkan warisan dari mendiang Ibunya. Dan oleh sebab itu, maka Aleya akan kembali menghidupkan toko bunga ini, toko bunga yang telah Munangsih rilis dari nol, Aleya akan membuat kenangan Munangsih diingat oleh siapapun yang pernah membeli bunga-bunga di toko ini.
“Ibu.. aku akan melanjutkan usahamu, doakan aku dari langit sana.” Aleya berwajah sangat teduh, jari-jemarinya mengusap foto sang Ibu.
Setelahnya Aleya kembali melanjutkan pekerjaannya, tak lama kemudian suara pintu diketuk dan muncul lah ibu-ibu yang siap membantunya.
Hari ini bisa dipastikan bahwa rumah tersebut sudah bisa Aleya huni, kecekatan ibu-ibu itu membuat rumah menjadi bersih dalam waktu yang singkat, Aleya mengucapkan beribu ribu rasa terimakasih pada mereka yang telah menolongnya.
Lihat lah bahwa tak selamanya orang asing akan bertindak jahat, dan juga tak selamanya orang terdekat kita akan terjamin baik untuk selamanya. Hidup adalah keadaan yang mana kita akan melewati berbagai rasa, duka, bahagia, semuanya akan terasa.