Siang ini, Aminah sudah bersiap untuk menemui sahabatnya sekaligus calon besannya yaitu Wiwik. Wanita tambun itu berkali-kali memerhatikan wajah dan penampilannya lewat pantulan cermin besar yang ada di dalam kamarnya. Ia ingin memastikan jika penampilannya sudah sempurna dan cantik, sebab calon besannya itu adalah seorang wanita yang sangat perfectsionis.
“Sudahlah itu, Ma. Sudah cantiknya kau itu. lama-lama kau berdiri di sana, muntah nanti cermin itu,” gumam Edo yang terus memerhatikan istrinya yang sudah setengah jam lebih menatap dirinya di sana.
“Mamah harus memastikan tidak ada yang salah, Pah.” Aminah beranjak dari cermin dan duduk di tepi ranjang di samping suaminya, “Bu Wiwik itu orangnya perfectsionis.”
“Iya, tahunya aku. Tapi kau berlebihan sekali. Sudah setengah jam kulihat kau memutar-mutar badanmu di depan cermin itu. Sama sajanya bentuknya,” gumam Edo seraya menonton film komedi dari layar ponselnya.
“Papah ini, bisanya matahin semangat mamah saja. Ayoklah kita berangkat sekarang. Jangan sampai bu Wiwik menunggu lama.” Aminah pun menarik lengan suaminya dengan kuat. Edo yang tengah asyik menonton, terkejut dan terpental jatuh ke lantai.
“Haduh ... kau ini, Ma. Tak puasnya kau membuat tubuhku remuk redam, ha?” Edo memijit pinggangnya yang ngilu. Untung ponsel yang ada di tangannya tidak ikut terpental ke lantai.
“Papa sih, asyik mainin hape terus. Ayo dong, cepat anterin mamah.” Aminah menggerutu. Ia pun berlalu lebih dulu meninggalkan kamarnya. Edo pun bangkit dan mengikuti dari belakang.
Di atas mobil, ketika dalam perjalanan menuju sebuah resto tempat Aminah dan Wiwik janjian, “Pah, nanti kalau bu Wiwik sudah datang, papa menghindar dulu ya ....”
“Lha? Macam mana pulak itu. ‘kan bisanya aku menemani kau mengobrol.”
“Gini, Pa. Kalau ada orang yang tengah berdua-duaan, yang ke tiga apaan?” Aminah menatap suaminya seraya melototkan matanya.
“Se-tan,” jawab Edo mantap dan singkat.
“Nah, jadi kalau mamah sedang berdua-duaan sama bu Wiwik, berarti papa?” lirih Aminah dengan ekspresi menyeramkan.
“Alamak ... kau samakan pulak aku ini dengan se-tan.”
Aminah membetulkan posisi duduknya, “Bukan begitu maksud mamah, Pah ... Papah ‘kan tahu kalau bu Wiwik itu janda, mana cantik dan langsing pula’kan? Jangan sampe papah nanti kemasukan se-tan di sana, begitooo ....”
“Ya, tak apalah. Sesekali papah cuci mata, apa salahnya?” Edo berkata tanpa rasa berdosa.
“Maksud, Papah?” Aminah merapatkan gigi-giginya.
“Okay ... okay ... Papa nanti akan menjauh dari kau dan bu Wiwik.” Edo tersenyum menatap istrinya, ia mencubit pelan hidung istrinya dengan jari tangan kirinya, “Sudahlah ... jangan cemberut gitulah muka kau itu. hilang nanti cantikmu itu.”
“Papa bisa saja ....” Aminah salah tingkah dan bersemu merah.
Sesampainya di tempat tujuan, Aminah pun bersiap untuk turun, “Pah, mamah turun dulu ya ... nanti jemput kalau sudah mamah hubungi.”
“Siap, Bos.” Edo tersenyum manis, Aminah pun membalas.
Setelah Aminah keluar dari mobil itu, Edo seketika bergumam pelan, “Yes! Bisanya aku cuci-cuci mata dulu. Lihat yang cantik-cantik dan fresh, hahaha ....”
Edo langsung memutar kemudi mobilnya menuju sebuah pusat hiburan.
Di resto tempat pertemuan Wiwik dan Aminah.
Aminah duduk di kursi yang sudah ia pesan sebelumnya lewat panggilan suara. Wanita itu memilih tempat yang nyaman dan sedikit jauh dari keramaian sebab ia ingin berbicara serius dengan calon besannya. Ia masih sendirian sebab Wiwik belum datang.
Sembari menunggu Wiwik, Aminah pun memanggil salah seorang pramusaji dan membuat pesanannya.
“Mau pesan apa, Bu?” tanya sang pramusaji, ramah.
“Di sini makanan ape yang enak?” tanya Aminah.
“Semuanya enak-enak, Bu. Tapi yang paling laris itu ayam ungkep laris sama ikan bakar laku, Buk.” Sang pramusaji tersenyum manis.
Aminah berpikir sejenak, mencoba mencerna penjelasan sang pramusaji.
“Tunggu, tadi lu bilang yang paling laris itu, ayam ungkep laris sama ikan bakar laku?” Aminah mengernyit.
“Iya, Bu. Benar ....” Sang pramusaji tetap tersenyum ramah.
Aminah tersadar dan membesarkan ke dua bola matanya ke arah sang pramusaji, “Ya jelas bener dong, gimane sih lu? Ayam ungkep laris sama ikan bakar laku. Lha? Namanya aje udah gitu.” Aminah menunjuk ke buku menu yang masih berada di tangan sang pramusaji.
“Maaf, Bu. Maksudnya bukan begitu. Nama menu kami memang seperti itu, Bu. Kebetulan, dua menu itu memang paling dicari di resto ini karena cita rasanya yang luar biasa menggugah selera. Coba deh ibu baca-baca dulu menu kami di sini.” Sang pramu saji memberikan buku menu kepada Aminah.
Aminah menerima dan mulai bergumam, “Lele goreng tari masal, ayam bakar penuh kenangan, nasi goreng laku nggak laku tetap ada, teh es laris manis cihuy ....” Aminah mengkerut membaca semua daftar menu yang ada di resto itu.
“Ibu jadinya mau pesen apa?” tanya pramusaji lagi, ramah.
Aminah memberikan buku menu kembali kepada sang pramusaji, “Apa aja deh, yang penting enak.”
“Lho, ngga bisa gitu, Bu. Ibu harus menentukan sendiri menu makanan yang akan ibu makan.”
“Haduh, gue bingung mau makan apaan,” Aminah menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Yang tadi itu aja deh, yang elu sebutin tadi. Ayam ungkep sama ikan bakar itu. Terus minumnya es jeruk tapi gak pakai es.”
“Maaf, Bu. Tadi minumannya apa?” Sang pramusaji kebingungan.
Aminah menarik napas sejenak, ia lalu melabuhkan kembali pendangannya ke wajah sang pramusaji, “Es jeruk tapi nggak pakai es, gitu aja kok repot sih?” gerutu Aminah.
Sang pramusaji mendelik, ia juga tiba-tiba menggaruk kepalanya yang tidak gatal, “Maaf, Bu. Tadi ibukan pesan es jeruk tapi nggak pakai es, gimana cara bikinnya?”
Aminah kembali menarik napas lalu melepaskannya, “Lu tinggal bikinin jeruk peras dalam satu gelas, terus gelas berbeda lu kasih batu es kagak pakai apa-apa. Jadi ntar gue sendiri yang memasukkan batu esnya, begitu. Udah paham?”
“Owwhh ... begitu, harusnya ibu jelaskan seperti itu biar saya tidak bingung, hehehe. Baiklah, tunggu sebentar ya. Pesanannya akan segera datang.” Sang pramusaji pun berlalu seraya geleng-geleng kepala.
“Aneh banget ini resto,” gumam Aminah pelan.
“Ada apa, Jeng. Merengut sendiri aja?” Tiba-tiba Wiwik datang dan melihat calon besannya mengomel sendiri.
“Heehh ... Jeng Wiwik sudah datang ....” Aminah bangkit dan menyambut hangat sahabatnya itu.
“Maaf lho membuat jeng Aminah menunggu lama.” Wiwik duduk di kursi yang ada di hadapan Aminah setelah cipika cipiki dengan ibu Juleha itu.
“Ah, tidak ... baru beberapa menit kok. Oiya, jeng Wiwik mau pesan apa? Maaf lho kalau saya sudah membuat pesanan lebih dulu, hehehe ....” Aminah terkekeh ringan.
“Nggak apa-apa, Jeng,” jawab Wiwik, ramah. Ibu Bams itu pun memanggil pramusaji dan mulai membuat pesanannya.
“Jeng Wiwik hanya pesan jus alpukat sama cookies saja? Memangnya tidak laper?” Aminah terheran.
“Nggak apa-apa, Jeng. Kebetulan tadi saya sudah makan kok. Jadi gimana tentang rencana pernikahan anak-anak kita?” Wiwik langsung pada inti masalah yang akan mereka bicarakan.
“Iya, saya sih maunya dipercepat saja, Jeng. Soalnya si Leha itu sudah nggak bisa lagi diatur. Kali aja kalau sudah sama suaminya, ia bisa berubah.” Aminah menjelaskan.
“Saya sih maunya juga begitu, Jeng. Sebentar, saya coba tanyakan dulu sama kenalan saya yang bekerja di kelurahan. Kira-kira bisa cepat nggak ngurus semua surat-suratnya.”
“Iya, Jeng. Silahkan.”
Wiwik pun mengelurkan ponselnya dan mulai menghubungi seseorang. Aminah memerhatikan sahabatnya itu. Wiwik yang sudah berteman dengannya semenjak masih belia, Kini tampak sangat berbeda, begitu elegan dan berkharisma.
Tidak lama, Wiwik pun menyimpan kembali ponselnya.
“Bagaimana, Jeng?” tanya Aminah.
“Beres, dua hari katanya akan selesai.”
“Alhamdulillah ....” Aminah mengusapkan ke dua telapak tangannya ke wajahnya.
“Tidak ada yang tidak bisa kalau sudah berurusan dengan uang, Jeng. Hehehe ....” Wiwik terkekeh ringan.
“Iya, ya ... Oiya, jadi kapan tanggalnya?”
“Sekarang’kan tanggal 27 Februari, kebetulan tanggal 14 Maret jatuh di hari Minggu, pas banget dengan tanggal ulang tahunnya Bambang. Gimana kalau tanggal 14 saja kita langsungkan akad nikah dan resepsinya?”
“Jadi Bambang lahir tanggal 14 Maret? Kok sama dengan Juleha?” Aminah tersenyum lebar.
“Oiya? Bagus sekali ... itu artinya mereka memang cocok dan berjodoh.” Wiwik juga tersenyum bahagia.
“Iya, Jeng. Juleha tanggal 14 Maret nanti genap tiga puluh tahun.”
“Beda dua tahun dari Bambang ya? Nggak apa-apa ‘lah, hehehe ....”
“Bambang tiga puluh dua?” tanya Aminah.
“Dua puluh delapan, Jeng.”
“Bambang masih dua puluh delapan? Berondong dong.” Aminah terkejut.
Wiwik terkekeh ringan, “Ya nggak apa-apa, Jeng. Dua tahun mah masih belum berondong. Ada tuh artis yang bedanya sampai enam tahun, masih langgeng dan hot aja sampai sekarang.”
“Iya juga ya, Jeng ... tapi ini hanya seminggu lho? Apa tidak terlalu cepat. Bagaimana mengurus pakaian, undangan dan sebagainya?” Aminah kembali bingung.
Ia memang mengatakan pada Juleha akan menikahkan gadis itu dalam minggu ini juga, aka tetapi Aminah tidak serius mengatakan hal itu. Ia tahu, mempersiapkan pernikahan tidak semudah membalikkan telapak tangan.
“Ah, itu mah gampang, Jeng ... setelah dari sini, kita akan langsung ke butik langganan aku. Lalu kita ke percetakan punya adeknya suami aku. Besok juga semuanya akan beres, hehehe ....” Wiwik kembali terkekeh ringan.
Aminah terpelongo memerhatikan sahabatnya itu. Ia tidak menyangka jika Wiwik sehebat itu. Menjadi orang tua tunggal, meneruskan bisnis peninggalan suaminya seorang diri, tidak membuat Wiwik lemah dan menyerah pada takdir. Justru, ibu dari Bams itu tumbuh menjadi wanita yang kuat, cerdas dan memiliki kolega yang sangat banyak.
***
***
***
Semangat Sabtu ...
Semangat berakhir pekan, Salam Sayang Penuh Cinta, KISS ...
## Vhie ##