BAB 11 – Satu Tim

1443 Words
Pagi pun menjelang, suara azan berkumandang di seantero kota Jakarta. Menggema dan berirama membentuk untaian frasa panggilan surga. Sang gadis maskulin yang biasanya sulit terjaga, tiba-tiba terbangun dengan sendirinya. Ia menyibak selimut yang membalut tubuh, lalu duduk dan mulai meregangkan badannya. Detukan-detukan ringan terdengar di beberapa persendian yang ia patah-patahkan sedemikian rupa. Juleha menatap dirinya yang masih saja mengenakan pakaian dinas kepolisian. Ia terlelap begitu nikmat hingga tanpa sadar belum mengganti pakaiannya dengan pakaian tidur yang longgar dan nyaman. Netra itu menatap ke sebuah benda bulat yang sudah tergantung di salah satu bagian dinding selama bertahun-tahun. Jam dinding itu masih menunjukkan pukul empat lewat sepuluh menit. Masih terlalu pagi memang untuk gadis yang biasanya bangun ketika matahari sudah mulai meninggi. “Hoaaammm ... masih terlalu pagi,” gumamnya pelan seraya menguap. Juleha pun kembali merebahkan badan, melanjutkan mimpi yang tadi sempat tertunda. Mimpi berkencan bersama Shakti Arora—sang aktor India kenamaan idola Juleha. Beberapa jam kemudian ... “LEHAAAAA!!!” Kembali terdengar auman wanita tambun yang sudah melahirkan Juleha hampir tiga puluh tahun silam. “Alamak ... kapanlah telingaku ini bisa damai sentausa.” Edo kembali memukul kepalanya dengan pelan. Ia pun bergegas menuju kamarnya, mengambilkan kunci cadangan kamar Juleha. “Ya Allah, ini anak ... LEHA, BANGUN NGGAK LU!” teriaknya lagi dengan volume yang lebih tinggi. Edo mempercepat langkah kakinya. Ia bahkan hampir berlari menaiki anak-anak tangga agar bisa segera sampai di depan kamar Juleha. “Sudahlah, Ma. Janganlah kau teriak-teriak terus macam itu. Nanti pecah benak telingaku, kau juganya yang akan repot.” Edo berkata seraya memberikan kunci cadangan kamar putrinya. “Mama tidak mau tahu lagi. Pernikahan Juleha dan Bambang harus segera dilaksanakan. Kapan perlu, dalam minggu ini juga harus segera digelar. Mama sudah capek meladeni anak itu.” Aminah sesak seraya menahan amarahnya yang hampir meledak. “Ya, terselah kau ‘lah itu. Atur sajalah suka-suka, Kau. Yang penting, berhenti berteriak-teriak. Itu si Kucai sampai keguguran gara-gara setiap hari mendengar teriakan kau itu, Ma,” sungut Edo. “Lho, kok mama yang salah? Kambing papa tuh yang nggak bisa jaga dirinya baek-baek.” “Ah sudahlah, mirdong ulukku. Besok biar ku belikan kau selotip super, biar bisa ditutupnya mulut kau itu setiap pagi.” “Apa tadi?” Aminah berkacak pinggang seraya menyingsingkan lengan bajunya. Ia menatap Edo seperti singa yang baru menemukan mangsa. “Alamak, salah laginya mulut ini,” gumam Edo sangat pelan seraya memukul bibirnya sediri. Aminah seketika menarik telinga suaminya, “Hadeh ... hadeh ... ampun, Sayang ... ampuunn ....” Aminah melepaskan telinga itu, “Jadi papa mau buat mama bisu, iya?” “Ah, kau ini, Ma. Bercandanya aku, masa tidak bolehnya aku bercanda dengan istri cantikku ini.” Edo seketika menggoda Aminah. “Sudahlah, mama mau membangunkan si Leha dulu,” Aminah pun kembali menuju pintu kamar Juleha. Ia mulai memasukkan anak kunci ke dalam lubang kunci, memutarnya hingga berderik. “Lho, kok nggak kebuka?” Aminah terus menekan-nekan gagang pintu, namun pintu iu masih saja terkunci. “Ini anak pasti pasang grendel pintu. LEHAA!! BANGUUUNNN!!!” Kembali, terdengar suara sopran yang menggelegar memekak telinga. Akhirnya, Juleha pun terbangun tidak lama setelah Aminah meggedor pintu kamarnya berulang kali. “LEHAAAAAA!!!!” “IYA, MAMA ... AKU SUDAH BANGUN KOK!” Juleha bangkit dan berjalan dengan gontai menuju pintu kamarnya. Ia membuka grendel dan mendapati ibunya tengah berkacak pinggang dari balik daun pintu. “Astaga ... lu belon ganti baju?” “Mami ngapain sih teriak-teriak terus tiap pagi ....” “Lihat noh, udah jam berape ini, ha? Kagak kerja, Lu?” Juleha memutar kepalanya, menatap benda bulat itu lagi. “Astaga ....” Juleha dengan cepat berlari menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. *** Ruang makan rumah Aminah. Beruntung, pagi ini Juleha bangun sedikit lebih awal. Jadi ia masih memiliki kesempatan sarapan bersama bersama ke dua orang tuanya. “Leha, mama ingin rencana pernikahan elu sama Bambang dipercepat,” ucap Aminah seketika. Juleha yang tengah menyuap soto Medan, seketika tersedak. Ia terbatuk-batuk. Wanita itu pun menyeruput air mineral untuk meredakan kerongkongannya yang gatal dan sedikit perih. “Nanti siang mama mau ketemu sama bu Wiwik. Mama mau membahas masalah pernikahan kamu sama Bambang.” Juleha hanya diam, ia tidak tahu harus menanggapi seperti apa ucapan ibunya. “Kenapa lu diem aje, Leha?” “Habisnya aku harus apa, Ma? Apakah aku bisa menolak?” Juleha mengernyit, selera makannya seketika hilang. “Menolak, berarti warisan melayang.” Aminah dan Edo mengucapkan kalimat itu secara bersamaan. Aminah menatap suaminya, keningnya mengkerut, “Papah?” “Lha, apa pulak salahku? Benarkan apa yang aku katakan?” “Benar sih benar, tapi mengapa papa harus mengikuti perkataan mama.” “Itu tandanya kita sehati, Ma. Ah, kau ini, macam tak tahulah kalau hatiku dan hatimu itu sudah lengket bak perangko.” Edo menggoyang-goyangkan keningnya seraya tersenyum lebar ke arah Aminah. Aminah merona, suaminya itu memang mampu membuatnya salah tingkah. “Mama dan papa atur ajalah. Bukankah aku sudah tidak punya pilihan lain lagi?” Juleha seketika bangkit. Soto yang ada dihadapannya masih tersisa banyak. “Leha, kau habiskanlah dulu makananmu itu. Tak baiklah membuang-buang makanan. Berkawan kau nanti sama se-tan.” Edo mencoba mencegah langkah kaki putrinya. “Kasih Brewok atau Kucai saja. Aku sudah tidak berselera.” Juleha pun berlalu dari rumah itu menuju kantor tempatnya bekerja. “Ma, benarnya keputusan kita ini? Sepertinya anak kita tidak suka dengan perjodohan ini?” Edo mulai ragu dengan keputusan yang mereka buat untuk masa depan putrinya. “Mamah yakin, Pah. Bambang itu pas dan cocok dengan anak kita. Lagi pula, aku dan bu Wiwik itu sudah bersahabat lama. Ia sangat bahagia ketika aku menceritakan perihal Juleha.” “Iya, tapi jangan nanti pernikahan baru seumur jagung lalu mereka bercerai, Ma.” Aminah menatap suaminya, serius. Tidak biasanya ia tampak seserius itu ketika berbincang dengan Edo. “Pa, naluri seorang ibu kagak akan pernah salah. Mamah yakin, Juleha akan berubah di tangan Bambang dan sebaliknya, Bambang juga nanti pasti akan berubah bersama anak kita.” “Ya ... semoga benarnya apa yang kau pikirkan itu.” Edo menarik napas panjang. Ia pun melanjutkan acara sarapannya yang tadi sempat tertunda. *** Parkiran kantor kepolisian Kebayoran Baru. “Julia ....” Juleha dikejutkan dengan kehadiran Frans yang tiba-tiba. Juleha melepas helmnya, “He—eh ... Frans, tumben ke sini pagi-pagi.” “Aku ingin ketemu kamu.” “Ketemu aku, buat apa?” “Buat sebuah misi.” Frans tersenyum. Juleha tampak bingung, “Misi? Misi apa?” “Misi masa depan.” Jawaban Frans membuat Juleha seketika tersedak. Ia terbatuk dan salah tingkah, “Ma—maaf, maksudnya?” “Maksdunya buat masa depan negara ini. Bukankah kita satu tim dalam penyelidikan kasus kejahatan terselubung di balik bisnis resto dan kafe milik artis kenamaan itu?” Juleha seketika tersadar, “Owwhh ... iya, aku ingat. Jadi kamu masuk tim itu juga? Tahu dari mana kalau aku juga masuk tim itu?” “Memangnya kamu belum melihat daftar agen yang dikirim untuk mengungkap kasus itu?” Juleha memukul kepalanya, pelan, “Astaga ... iya, aku belum melihatnya sama sekali.” “Aku pikir kamu sudah tahu.” Frans terkekeh ringan. Juleha menggeleng, “Aku sama sekali belum tahu.” Frans mengulurkan tangannya,” Senang bekerja sama denganmu, Julia.” Juleha membalas, “Senang juga bekerja sama denganmu.” Cukup lama tangan itu berjabatan hingga Alexa pun datang dan melepaskan tangan Juleha dari tangan Frans. “Sudah, jangan lama-lama pegangannya. Sebentar lagi kamu akan jadi istri orang, nggak boleh larak lirik lagi sama laki-laki lain.” Alexa seketika menarik tangan Juleha menuju ruang dalam kantor mereka. “Sa, lu apa-apaan sih?” gerutu Juleha seraya melepaskan tangannya dengan kasar dari cengkraman sahabatnya. “Gue baru dikasih tahu sama nyokap lu kalau lu dalam minggu ini akan menikah. Nyokap lu minta gue jagain anaknya agar gak jelalatan lagi matanya.” “Kapan nyokap gue ngomong gitu?” Juleha berhenti melangkah dan menatap Alexa, sinis. “Barusan. Gue terpaksa memberhentikan motor gue di tepi jalan karena ponsel gue kagak pernah berhenti berdering,” sungut Alexa, pelan. Ia tidak ingin komandannya mendengar ketika dirinya berbicara dengan nada seperti itu. “Kenapa sih mama ngotot banget nikahin gue sama si Bambang itu?” Juleha bersidekap, mukanya masam. Alexa menarik ke dua bahunya, “Tahu ... mungkin warisanya berlimpah, atau mungkin nyokap lu ada perjanjian gitu sama nyokapnya si Bambang.” “Entahlah ....” “Udah ah, kita kerja dulu. Nanti kita bahas lagi.” Juleha mengangguk, ia pun mulai menekan langkah menuju ruangannya. Banyak rencana dan strategi yang harus ia pikirkan untuk meyelesaikan misi berbahaya yang akan ia kerjakan nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD