Jam delapan malam, kediaman Aminah.
“Malam Mommy, Malam Daddy ....” Juleha segera merangkul dan mencium ke dua orang tuanya.
“Lu tu kagak konsisten ye jadi manusia. Kadang panggil Mami, kadang Mommy, kadang panggil mama, heran gue,” gerutu Aminah setelah membalas ciuman mesra dari putrinya
“Suka-suka aku dong, dari pada aku manggil eyang, ‘kan nggak banget, hehehe ....” Juleha tiba-tiba sudah duduk di tengah-tengah antara ayah dan ibunya. Wanita yang masih mengenakan seragam polisi itu, mendekap erat ke dua orang tuanya.
Dari luar, Juleha memang terlihat sangat maskulin dan berani. Namun kalau sudah sampai di rumah, ia adalah sosok gadis yang manja. Ia tidak akan segan tidur di pangkuan ayah atau ibunya atau mendekap mereka seperti yang saat ini wanita itu lakukan.
Bisa dikatakan, kehidupan asli Juleha di dalam keluarga, sangat berbanding terbalik dengan kehidupan wanita itu di dunia kerja. Julia Shasmita dan Juleha seakan memiliki dua kepribadian berbeda. Apalagi kalau Juleha sakit atau demam, ia tidak akan mampu bertahan apabila tidak ada Aminah dan Edo di sisinya.
“Dari mana saja kau, Leha? Sudah jam delapan barunya kau tampakkan batang hidung kau itu,” tanya Edo seraya mengusap pelan pucak kepala putrinya.
“Biasalah, Pi. Aku nongkrong dulu di kafe sama Alexa. Kami menggosip, hehehe ... Nggak enak menggosip di kantor, jadinya sepulang kerja, kami lanjutkan pembicaraan yang sempat tertunda.”Juleha menyandarkan kepalanya di bahu ayahnya.
“Jangan sering kau menggibah orang, Anakku. Bisa kualat kau nanti,” nasehat Edo. Pria itu membelai puncak kepala putri semata wayangnya.
“Siapa juga yang ghibahin orang. Kami itu justru membicarakan masalah pribadi kami, Daddy ....” Juleha semakin mempererat genggaman tangannya ke tangan Edo dan Aminah.
“Leha, nanti kalau lu udah nikah, lu tu kudu kurangin kebiasaan kayak begitu. Pulang kerja tu langsung pulang. Jangan sampai ntar suami lu ngurus dirinya sendiri, paham?” Aminah kembali memberi wejangan yang sama sekali tidak menyenangkan bagi Juleha.
“Kok gitu sih? Harusnya kalau nikah tu makin asyik, bukannya makin terkekang. Ah kalau gitu aku nggak jadi aja nikah,” sungut Juleha seraya bangkit dari sofa. Baru juga Juleha ingin bermesraan dengan ke dua orang tuanya, pernyataan Aminah malah membuatnya kehilangan gai-rah.
“Menolak Perjodohan, warisan melayang!” Lagi, wanita tambun itu memberikan ancaman yang berulang-ulang kepada putrinya.
Juleha segera menghentikan langkahnya dan memutar tubuhnya hingga kini tubuh itu menghadap ke arah Aminah.
“Mommy ....” Juleha melotot menatap ibunya.
“Ape?” pungkas Aminah seraya membesarkan matanya.
Juleha menarik napas panjang lalu berkata, “Okay, mami atur saja deh.” Juleha mendengus kesal lalu menekan langkah dengan kasar menuju lantai dua tempat kamarnya berada.
Sesampainya di kamar itu, Juleha masuk dan menutup pintunya dengan keras. Tidak lupa ia mengunci pintu dan memasang grendel tambahan agar Aminah atau siapa pun tidak bisa masuk begitu saja menggunakan kunci cadangan. Juleha pun menghempaskan tubuhnya dengan kasar ke atas ranjang.
Seketika, bayangan wajah Frans menari-nari di benaknya. Baru kali ini ia tertarik dengan sosok seorang pria selain Shakti Arora. Frans adalah pria yang asyik dan jauh lebih maskulin dari dirinya. Mereka juga memiliki profesi yang sama dan itu akan lebih baik untuk menyatukan visi dan misi hidup mereka.
Sementara dengan Bambang?
Ah, gue mau ngapain sama cowok jadi-jadian itu? Tapi mama udah bersikeras buat jodohin gue sama si Bambang Surambang itu. Gue beneran bete banget! Juleha bergumam dalam hatinya.
Namun tiba-tiba, sebuah ide cemerlang muncul dibenaknya. Ide konyol bin nyeleneh yang seketika membuat senyumnya merona. Tapi ia lupa jika manusia hanya bisa berencana, Tuhan’lah yang menentukan segalanya.
Tidak lama, juleha pun tertidur dengan seragam yang masih melekat di tubuhnya.
***
Jam delapan malam, kediaman Bams.
“Bambang, kamu dari mana saja?” tanya Wiwik ketika merasakan derap langkah kaki putranya yang masuk ke dalam rumah mewahnya. Walau Wiwik belum melihat siapa yang datang, akan tetapi ia sudah tahu dari bunyi derap langkah kaki, jika putranyalah yang datang dan masuk ke rumah itu.
“Habis dari kafe, Ma. Aku main dulu sama Ivan ke kafe. Kami ngobrol-ngobrol panjang,” jawab Bams. Ia pun duduk di samping ibunya. Di atas sofa santai bersandaran tinggi. Di hadapan mereka, terpampang sebuah televisi ukuran enam pulun lima inci dengan gambar yang super jernih dan berkualitas tinggi.
“Bang, mama jadi keinget deh sama pesan mendiang papa kamu. Sebelum ia meninggal, ia berpesan kepada mama untuk bisa menikahkan kamu dengan wanita baik-baik dari keluarga baik-baik juga. Ia begitu teringin melihat cucu kandungnya. Tapi sayang, ia sudah pergi sebelum semua itu bisa terwujud.” Wiwik balik menatap putranya. Netranya berkaca-kaca.
“Papa juga minta maaf jika selama ini sudah banyak menyakiti hati kamu, Nak. Papa itu sangat sayang sama kamu. Sebenarnya ia ingin agar kamu bisa dan mampu meneruskan bisnis turun temurun ini, tapi kamu malah memilih jalan yang berbeda.” Wiwik membelai lembut wajah putranya. Wajah putih mulus bak poselen.
“Maafin Bams, Ma. Bams juga sebenarnya tidak ingin seperti ini. Tapi ....” Bams tertunduk lemah.
“Mama mengerti, Sayang ... walau bagaimana pun, mama masih bersyukur karena Bambang tidak terpengaruh pergaulan buruk di luaran sana. Mama tetap bangga kok sama Bambang. Entah mengapa, mama begitu yakin jika Bambang itu memang sangat cocok dengan putrinya bu Wiwik. Padahal selama ini sudah banyak yang berusaha menjodohkan putrinya dengan kamu, tapi mama nggak sreg. Rata-rata mereka itu hanya mengincar warisan kamu saja. Berbeda dengan tante Aminah dan om Edo.”
“Terserah mama, saja. Bams ikut semua kata-kata mama.”
Wiwik mengambil ke dua telapak tangan putranya. Ia mencium ke dua punggung tangan itu dengan sayang. Ia pun memeluk lelaki yang sebentar lagi berusia dua puluh delapan tahun itu dengan sayang. Berkali-kali ia menciumi kening putranya hingga meneteskan air mata.
Bams juga tidak tahan. Pria kemayu dengan hati selembut sutra itu pun akhirnya ikut menangis dan terenyuh. Seketika ia merindukan sosok ayah yang begitu ia cintai. Walau sebenarnya di kala remaja, ia sering mendapatkan perlakuan kasar dan sedikit kekerasan fisik, tapi Bams tidak pernah mendendam. Ia paham, mengapa ayahnya memperlakukannya demikian. Itu karena perubahan dirinya yang tentu saja tidak disukai oleh ke dua orang tuanya.
Wiwik mengangkat kembali kepala putranya. Ia menyeka air mata itu dengan ke dua tangannya.
“Sudahlah, Nak. Jangan menangis lagi. Percayalah, papa pasti bangga dan bahagia saat ini karena putranya sebentar lagi akan menikah. Mama percaya, dalam hati kamu itu masih ada jiwa laki-lakinya. Cobalah berusaha untuk menonjolkan jiwa laki-laki itu. Setidaknya ketika berduaan dengan istrimu nanti.”
“Bams akan berusaha, Ma.” Pria itu kembali memeluk ibunya dengan sayang. Wiwik adalah sosok hero yang sebenarnya di hati Bams. Perempuan tangguh yang siap menentang siapa saja yang berani menyakiti hati putra semata wayangnya.
“Kamu pasti sudah sangat lelah, pergilah beristirahat. Perkara rencana pernikahan, kamu tidak peru memikirkan apa pun. Biar mama sendiri yang akan mengurusnya.” Wiwik kembali membelai wajah putranya.
Bams mengangguk, “Iya, Ma. Bams mau ke atas dulu.” Pria kemayu itu pun menyalami ibunya dengan takzim. Tak lupa ia mencium punggung tangan Wiwik dengan penuh kasih sayang.
Wiwik memerhatikan putranya melangkah menaiki anak demi anak tangga. Berharap di dalam hatinya akan adanya sebuah keajaiban dari Tuhan untuk sebuah perubahan. Ya, Wiwik begitu berharap putranya bisa berubah dan bisa memberikannya keturunan. Keturunan yang akan meneruskan bisnis berlian yang ia miliki dan juga mewarisi seluruh harta kekayaan yang Wiwik miliki saat ini.
Di dalam kamarnya, Bams kembali terenyuh menatap sebuah foto berukuran besar yang tertempel indah di dalam kamarnya. Foto ayah dan ibunya dengan senyum merekah dan merona.
Ayah Bams adalah seroang lelaki maskulin yang sangat tampan. Ia juga adalah pebisnis hebat dan merupakan keturunan yang kaya raya. Sementara kala itu, Wiwik hanyalah gadis desa biasa yang beruntung bisa menikah dengan Suhardi—ayah Bams. Gadis desa yang manis yang mampu memikat pria tampan yang kaya raya dengan sikap lembut, sopan santun dan suaranya yang mendayu saat bersenandung.
Suhardi adalah sosok yang tegas dan penuh kasih sayang. Ia mendidik Bams kecil dengan sikap sedikit keras. Terlebih ketika tahu putranya yang kala itu masih kelas dua SMA sudah memperlihatkan sikap dan tingkah yang tidak biasa. Suhardi marah besar dan sering memberikan kekerasan fisik terhadap pria kemayu itu.
Suhardi melempar dan membuang semua barang-barang yang Bams miliki kala itu. Peralatan make up, kosmetik, boneka-boneka unyu-unyu, semua barang-barang itu berakhir jadi debu. Ia sangat murka dan mengurung Bams di dalam kamar selama beberapa hari.
Sebenarnya dulu Bams alias Bambang Rahardi adalah pria normal yang tumbuh menjadi remaja yang tampan. Akan tetapi sesuatu hal buruk seketika membuatnya berubah. Ia patah hati, ia kecewa dan ia dilema. Semenjak saat itu ia memutuskaan untuk merubah jati dirinya. Awalnya hanya sekedar coba-coba, namun lama-lama ia ketagihan dan merasa nyaman dengan sikap feminim yang ia miliki.