Devan menghentikan mobil ketika lampu merah menyala, sudut matanya melirik Crisy yang merapikan rambut dengan tangan. Membawanya naik dan mengikat dengan karet gelang.
“Menurutku biarkan saja tergerai, kamu jauh lebih cantik,” ucapnya tiba-tiba membuat Crisy tersentak.
“Eh?!” Crisy pun menghentikan gerakannya. Ada rona merah seketika muncul di pipinya. Hati gadis itu berdebar. Namun, tak mau menurut ia memilih melanjutkan saja. “Saya sedang gerah,” ucapnya.
“Gerah? AC sudah menyala sejak tadi, kamu masih bilang gerah?” tanya Devan. “Jangan katakan kau sejatinya ingin menggodaku dengan mempertontonkan leher jenjangmu itu,” lanjutnya, Crisy hanya mendesis menanggapi kata-kata si bos. Memilih mengabaikan celotehan aneh sang bos ia pun melihat keluar jendela.
Sebuah mobil melintas di sebelah kendaraan Devan yang masih belum mulai melaju menjauhi trafic light. Beberapa saat kemudian Devan mulai memajukan kendaraan, pertanda lampu telah berubah hijau. Sesaat matanya menangkap salah satu nama bank di sebelah kanan jalan. Dahinya berkerut.
“Cris, aku tidak melihat nama Adi Dana Bank dalam daftar yang kamu ajukan. Apa bank itu bermasalah?” Crisy menoleh ke arah bank yang disebutkan oleh Devan. Sedikit terkesiap, ia pun mencoba mengalihkan tatapannya kembali.
Raut wajahnya seketika menyendu. Sedikit sakit mengingat masa lalunya yang tiba-tiba muncul di pikirannya. Namun, Crisy mencoba bersikap biasa agar Devan tak curiga. “Saya belum mendapat respons dari bank itu. Pengajuan sudah disampaikan, tapi sampai sekarang tidak ada jawaban,” bohongnya. Namun, dalam hati Crisy berpikir cepat tentang pengajuan itu. Sepertinya Crisy harus segera membuatnya sebelum kena semprot dari Devan dan sebelum kebohongannya terendus si bos tampan.
Devan manggut-manggut. “Mungkin menunggu keputusan seluruh pemegang saham. Kalau begitu ajukan kembali. Aku yakin kali ini mereka akan merespons dengan cepat.”
Mobil memasuki pelataran kantor Travel J. Crisy merapikan semua notulen yang ia bawa saat menghadiri rapat di tiga bank barusan. Hari sudah malam ketika mereka sampai. Sementara ada beberapa hal yang masih harus dikerjakan, itulah kenapa mereka kembali ke kantor dengan terpaksa. Meski Crisy sudah kelelahan, tapi tetap ia harus kembali.
Sesuai keputusan Devan dua minggu lalu, program ECV sekarang langsung jadi tanggung jawabnya. Ia ingin memastikan semua berjalan dengan baik. Hal itu jadi alasan yang menjelaskan Devan dan Crisy jadi sering bersama. Devan juga berhasil meyakinkan para pemegang saham untuk menerima program itu. Penilaian Devan memang tidak pernah salah. Crisy menunjukkan kemampuan yang luar biasa dalam menggaet rekanan bank yang mau bekerjasama dalam program itu. Devan yakin jika tak ada halangan maka program ECV benar-benar akan sukses di pasaran. Itu adalah solusi yang luar biasa bagi orang-orang yang menginginkan cara baru dalam mengcover biaya perjalanan wisata mereka.
Mengatasi masalah dengan para pedangan yang memiliki penghasilan fluktuatif, Travel J mengeluarkan program yang berbeda. Itulah kenapa team ECV dibagi dua. Yakni team travel lokal dan team mancanegara. Tentu dengan jumlah cost yang berbeda-beda, sehingga siapa pun bisa melakukan perjalanan wisata untuk menghalau penat mereka. Rio dan Raiza ditunjuk sebagai penanggung jawab ECV-D, atau ECV-Domestik.
“Cris, apakah kamu bisa membuat pengajuan kerjasama untuk Bank Adi Dana sekarang? Kurasa belum terlalu malam untuk mengirimkan emailnya hari ini.”
“Baiklah, Pak,” jawab Crisy singkat, berjalan tergesa menyusul langkah Devan masuk lift. Mungkin karena sedikit lelah dan melangkah terlalu tergesa tanpa sengaja kaki Crisy kesandung satu sama lain. Ia terjerembab, jatuh dalam pelukan Devan. Pria itu, yang menyadari Crisy akan terjatuh segera menangkap sang wanita. Mata mereka saling memandang dalam waktu yang cukup lama. Seolah waktu terhenti sesaat, debar jantung keduanya membuat mereka merona.
“Ah ma‒maaf, Pak Devan. Saya tidak sengaja.”
Devan melonggarkan dasinya yang tiba-tiba saja terasa mencekik leher. Hawa dingin lift berubah panas, ia menekan nomor lima belas dengan gugup. “Ti‒tidak apa-apa. Lain kali hati-hatilah.”
“Iya, Pak,” ucap Crisy gugup, sembari berdiri di sudut. Setelah itu suasana pun jadi begitu hening. Bahkan suara tarikan napas mereka pun tak terdengar. Mereka bergitu tegang, tak berani menoleh satu sama lain. Sama-sama berharap lift segera sampai di lantai lima belas.
“Cris, setelah kamu buat pengajuannya kirim padaku. Akan kuperiksa sebelum kamu kirim ke bank itu.”
“Baik, Pak,” jawab Crisy sopan, sambil menunggu Devan melangkah menuju ruangannya. Setelah itu baru ia memutar badan, mengambil langkah yang berbeda dengan Devan.
“Sial, apa yang terjadi padaku?” gumam Crisy sembari berjalan menuju ruangannya. Sejenak ia menyentuh dadanya yang bergemuruh.
“Aish tidak boleh, ini tidak boleh terjadi. Gue nggak boleh jatuh dalam pesonanya. Bisa malu gue dari awal nolak dia, terus ujung-ujungnya jatuh cinta juga. No big no! Eh lo jangan berlebihan, ya,” protesnya pada dirinya sendiri.
Sejenak sebelum membuka pintu kaca, Crisy mematut diri di depan ruangannya. Melihat ke arah ruang sebelah. Ruangan Rio masih menyala, pertanda pemuda itu masih di sana. Berpikir sesaat tentang Rio, Crisy pun melangkah ke tempat itu. Rio mengangkat kepala sekilas melihat siapa yang masuk tanpa mengetuk pintu. Ia melempar senyum lalu kembali memfokuskan diri menatap layar komputer.
“Masih lembur? Apa ada masalah?” Sang pemuda menghentikam gerakan jarinya di atas keyboard.
“Harusnya gue yang bertanya sama lo. Apa lo ada masalah? Ngapain belum pulang? Lembur lagi, lo?”
Crisy mengambil permen di dalam gelas kaca. Sengaja mengambil yang bungkusnya gelap, membaca sekilas memastikan bahwa permen yang ia ambil adalah permen kopi. Sementara Rio sudah kembali sibuk menggerakkan jemarinya memainkan huruf-huruf di atas keyboard.
“Pak Devan minta gue bikin pengajuan ke Adi Dana Bank malam ini.” Rio terdiam, menatap Crisy dengan ekspresi tak terbaca. Namun, kemudian ia tertawa terbahak-bahak.
“Ya, salah lo, sih. Siapa suruh lo nggak masukin daftar. Kan gue sudah bilang masukin, lo-nya aja yang ngeyel.”
“Ya tapi 'kan, Rio. Ck.” Crisy mendecak kesal. “Lo tahu sendiri masalah gue apa.”
“Ya, tapi lo harus profesional, Cris.” Rio kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya. Mengetik laporan yang tidak Crisy ketahui apa, yang pasti itu bukan urusan sang gadis.
“Adi Dana Bank itu lho bank yang besar, Crisy. Jadi nggak mungkin lah si bos melewatkan kesempatan bekerjasama dengan mereka. Makanya ya Cris, menurut gue, lo harus bisa mengabaikan perasaan lo. Lagian untuk apa itu dipusingin. Justru sekarang adalah kesempatan lo buat buktikan ke dia, meski tanpa dia lo masih bisa berdiri kokoh. Move on, Cris, sampah seperti itu nggak usah dipikirkan.”
“Bawel, lo.” Crisy mendorong kursinya, berdiri dan melangkah pergi dari sana.
“Ya elah, dibilangin malah kayak gitu. Lo juga nggak mungkin kembali sama dia, jadi anggap dia seperti klien lo yang lain. Jangan kebaperan.”
“Iya, ya, bawel.” Tubuh Crisy pun menghilang di balik pintu. Rio menatap ke arah pintu yang sama. Ekspresinya berubah datar entah apa yang dipikirkannya sekarang. Percakapan dengan Crisy sedikit mempengaruhi konsentrasinya.
Bagaimanapun, ia satu-satunya orang yang tahu apa yang dialami Crisy selama ini dan sekarang hati gadis itu sedang sangat rapuh. Ia hanya berpura-pura tegar. Bersikap tak acuh dan sarkas pada siapa saja, Crisy hanya tak ingin terlihat lemah dan dikasihani orang lain. Rio sangat paham hal itu, karenanya sekarang dia pun mengkhawatirkan Crisy jika seandainya Adi Dana Bank menerima pengajuan kerjasamanya.
Sayangnya itu pasti terjadi, si sialan itu tidak mungkin menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu Crisy lagi. Sejenak terdiam dan berpikir, Rio pun menggeser kursinya. Ia memutuskan untuk menemani Crisy. Setidaknya sampai ia berhasil menyelesaikan tugas yang diberikan padanya.
Rio berdiri di ambang pintu kaca, langkahnya terhenti ketika dilihatnya Devan berdiri di depan meja gadis itu. Bos muda itu terdiam, begitu juga dengan Crisy. Suasana di dalam sana begitu tidak biasa. Rio jadi sedikit heran, sebenarnya ada apa di antara mereka berdua? Ingin masuk Rio tak berani, diam di tempat ia merasa penasaran. Perasaannya berkecambuk. Akhirnya, Rio memutuskan mengetuk pintu, barulah masuk berpura-pura tidak tahu kalau Devan ada di sana.
“Crisy, lo mau pulang bareng gue nggak malam …?” Seketika ia membatu saat pandangannya bertabrakan dengan mata Devan yang menggelap.
Ekspresi pria itu sangat dingin dan datar ketika menatapnya. Tiba-tiba saja ia melangkah mendekati pintu, sambil berbisik sesuatu yang pasti tidak bisa didengar oleh siapa pun selain Rio.
“Jauhi Crisy. Atau kamu, saya pecat!” ancam Devan lalu melangkah meninggalkan mereka berdua.
Rio sedikit tersentak, ia memaku diri di ambang pintu hanya memandang Devan melintas di depannya. Setlah Devandra cukup jauh barulah ia kembali ke kesadarannya. Ia pun menutup pintu kaca, lalu mendekati sahabatnya.
"Hei, lo denger nggak apa yang diomongin bos barusan?"
"Apa?" tanya Crisy, tanpa menoleh pada temannya. Ia menyelesaikan perintah si boss, sebelum mematikan komputernya.
"Jadi lo nggak denger? Serius? Nggak denger apa pura-pura nggak denger."
"Ck, apaan sih lo. nggak jelas banget, dah ah, gue mau pulang," Segera Crisy mengambil tasnya lalu bersiap melangkah keluar ruangan meninggalkan Rio.