Part 6

1564 Words
    Menata hati yang telah hancur bukanlah hal yang mudah, siapa pun pasti setuju dengan hal itu. Namun, ketika sebuah profesionalisme kerja diperlukan, maka tak akan ada yang bisa menghindar, benar, 'kan? Itulah kenapa sekarang Crisy ada di sini. Berdiri di dalam lift capsul gedung dua puluh lantai bertuliskan 'ADI DANA BANK'. Sudah sejak tadi Crisy gelisah. Bertemu putra pendiri bank yang sekarang menjabat sebagai pimpinan tertinggi bank itu, adalah satu-satunya hal yang paling ia hindari di dunia ini. Khususnya saat ini.     Namun, ketika bos memberi perintah,  apa mau dikata, meski hatinya tercabik ia tetap harus melangkah dengan anggun, angkuh dan percaya diri. Semoga saja ia tak mengacau, adalah doa yang sejak tadi dirafalkannya. Devan berjalan di depannya seperti biasa. Pria itu tinggi, mungkin sekitar 185 cm. Rambut hitam lurus yang dipotong pendek dan tertata rapi dengan stylenya yang, entahlah. Yang pasti itu cukup membuat ratusan atau mungkin ribuan wanita siap mengantri menunggunya.     Memakai celana bahan hitam, kemeja putih dengan dasi dan jas hitam entah apa maksudnya ia tampil setampan itu. Oke, bolehkah sekarang Crisy tertawa karena pikiran konyolnya itu? Menyalahkan Devan karena penampilannya yang membuat Devan makin tampan, tapi bukankah Devan memang sudah tampan dari sejak pertama kali dicetak oleh ayah dan ibunya. Baiklah itu terlalu berlebihan. Namun ya, Devan memang begitulah adanya. Mempesona dan ... sempurna!     Bugh!     Crisy terperanjat, mengangkat kepala menatap Devan yang berdiri menjulang di depannya. Beberapa detik ia kehilangan kesadaran terpesona dengan Devan yang melihatnya dengan penuh tanya. “Eh, ma‒maaf, Pak Devan.” Segera setelah menyadari kesalahannya Crisy memundurkan langkah. Lalu merutuki diri sendiri karena kehilangan konsentrasi, hingga tak menyadari kalau Devan tiba-tiba berhenti dan berakhir Crisy membentur punggungnya.     Devan menggeleng, lalu melangkah kembali. “Pertahankan konsentrasimu, Cris. Asal kamu tahu, aku intoleran dengan ketidakprofesionalan karyawanku.”     Crisy menelan ludah, menunduk menyembunyikan wajah. “Baik, Pak Devan,” ucapnya pelan. Dalam hati ia mengomel menyumpah bosnya yang seolah berkepribadian ganda, menurutnya. Padahal Devan hanya terbiasa menempatkan segala sesuatu pada jalurnya . Agar semua karyawanya paham mana urusan perusahaan dan mana urusan pribadi.     “Silahkan, Pak Devandra,  Anda sudah ditunggu oleh Pak Adi.” Seorang wanita cantik mengantar mereka berdua menuju ruangan CEO, satu blok dari tempat mereka berdiri sekarang. Crisy semakin gugup, tangannya berkeringat dingin. Ia pun hanya bisa menunduk mencoba mengatur detak jantungnya. Hingga kemudian Crisy berdiri di dalam ruangan yang cukup sering ia masuki di masa lalu.     “Oh, Pak Devandra, silahkan masuk. Senang bertemu dengan Anda.” Crisy menyembunyikan diri di balik punggung bosnya. Sementara si bos tengah bersalaman dan beramah-tamah dengan sang pemimpin bank.     “Silahkan duduk, Pak Devandra. Kami sangat terkesan dengan penawaran kerjasama yang Anda ajukan semalam. Saya pribadi memikirkannya semalaman tentang betapa hebat program yang Anda buat.” Adi melirik Crisy yang masih menunduk berdiri di belakang Devandra. Hatinya tersenyum senang.     “Yah, saya harus bersyukur karena punya orang secerdas Crisysian Valenci di perusahaan kami. Oh ya, kenalkan ini Crisysian Valenci founder program ECV dan ECV-D yang akan kita bahas sekarang.”     “Wah, Anda masih sangat muda, Nona Crisysian. Tapi pemikiran Anda briliant.” Tangan Adi terulur. “Kenalkan, saya Kenzo Adi Pratama.” Senyum manis mengembang di wajah Kenzo. Senyuman yang membuat Crisy mual dan jijik dalam waktu yang sama. Devan mengerutkan dahi, menatap Crisysian yang mematung tak ada niat untuk menyambut uluran tangan di depannya. Baru saja ia hendak menegur ketidaksopanan karyawannya, Crisy sudah membalas jabat tangan Kenzo.     “Crisysian Valenci, terima kasih atas pujiannya, Pak Kenzo Adi, tapi Anda terlalu berlebihan, saya tidak sehebat itu. Program itu jadi mengesankan hanya karena Pak Devandra yang menanganinya.”     Kenzo memandang lekat ke mata Crisy, ia tahu ada sesuatu yang coba disembunyikan oleh gadis itu. Mungkin ini akan menjadi titik awal hubungan mereka kembali, karena itulah semalam ketika ia mendapat email dari Travel J, ia langsung menyetujuinya. Jemari Kenzo meremat dengan lembut jemari Crisy, gadis itu terkuci dalam tatapan Kenzo yang menyiratkan kerinduan. Hati Crisy menangis, merasa tercabik ketika masa lalunya dengan Kenzo muncul ke permukaan. Netranya berkaca. Sekujur tubuh Crisy menegang. Sialnya, seberapapun Kenzo telah melukainya, Crisy tetap merindukan pria itu. Sangat merindukannya hingga ia ingin menjatuhkan diri dalam pelukan pemuda itu sekarang juga.     “Ekhm!”     Genggaman tangan Crisyian dan Kenzo terlepas. Pimpinan bank itu membenahi jasnya, kemudian berjalan penuh wibawa menuju sofa beriringan dengan Devandra. Sementara Crisy melangkah dengan perasaan yang kacau balau. Mengumpulkan seluruh kekuatan untuk tetap bisa bertahan dengan situasi mengerikan di depannya saat ini.     “Nona Crisysian, duduklah.” Kenzo menatap Crisy yang berdiri di samping sofa. “Bagaimana Anda akan menjelaskan program ini jika berdiri seperti itu. Buatlah meeting ini jadi nyaman.”     Crisy menelan ludah, melirik Devan yang menatapnya tajam. Sekali lagi salivanya tercekat di tenggorokan. d**a Crisy sesak, atmosfer ruangan itu seakan ingin mencabik dirinya. Tepat ketika Crisy bersiap untuk duduk di sebelah Devan, pintu ruangan terbuka. Sesosok wanita cantik berpakaian kantor yang sedikit seksi masuk ke dalam ruangan, dengan nampan di tangan, wanita itu datang membawa minuman dan camilan. Crisy mengepalkan tangannya erat. Hati Crisy semakin tersayat. Harusnya, ia tak pernah membuat pengajuan ini sejak awal. Wanita itu tersenyum miring, seakan menantang Crisy untuk berkelahi. Namun, tiba-tiba Devandra berdiri.     “Apa yang kau lakukan!? Kau tahu aku harus berkerja semalaman membuat laporan itu dan lihat apa yang kau lakukan. Ck.”     Crisy terperanjat. Seluruh file yang dibawa Devan basah kena tumpahan kopi. Cairan hitam itu bahkan terciprat ke celana dan sepatu Devandra. Kenzo dan si sekertaris pun tampak panik. Mereka segera meminta maaf. Crisy segera mengambil tisue dalam tas dan membersihkan tumpahan kopi di celana dan sepatu Devan. Namun, pria itu mencegahnya. Devan mengambil alih tisue itu dari tangan Crisy.     “Rapikan semua filenya. Saya tidak mau bekerja sama dengan orang-orang yang sembrono. Kita kembali ke kantor,” perintahnya.     Seakan mendapat angin surga, Crisy segera merapikan semuanya secepat yang ia bisa. Sungguh gadis itu sudah kehilangan akal sejak tadi dan ini adalah doa terbaik yang dikabulkan Tuhan untuknya. Devandra membatalkan semuanya bahkan sebelum kedua perusahaan itu terikat kerjasama secara resmi. Kenzo masih meminta maaf atas peristiwa itu. Namun, nampaknya Devan bergeming.     Itulah Devandra, jika menyangkut soal pekerjaan ia ingin semuanya perfect. Tak boleh ada kesalahan sedikit saja, atau Devan akan jadi sangat mengerikan. Mereka berdua pun bergegas pergi, mengabaikan Kenzo yang memarahi sekretarisnya. Crisy yakin, sekretaris itu pasti akan dipecat. Sehebat apa pun ia memuaskan Kenzo di atas ranjang, Kenzo tak akan pernah mempertahankan seseorang yang telah membuat perusahaannya merugi.Ya, kehilangan kerjasama dengan Devandra, itu jelas akan membuatnya kehilangan keuntungan yang cukup banyak. Crisy tersenyum miring membayangkan semuanya. Ia sangat puas.     “Kurasa kamu berhutang penjelasan dan ... makan malam padaku.” Crisy menoleh pada Devandra yang mulai menyalakan kendaraan roda empatnya. Tangan Crisy masih memasang sabuk pengaman ketika mobil itu mulai bergerak menjauh meninggalkan Adi Dana Bank. Crisy mengerutkan dahi.     “Maksud …, Bapak? Jangan bilang ini ....”     Devan tersenyum, matanya tak lepas dari jalanan yang selalu ramai untuk tetap menjaga laju kendaraanya aman. Kini tangan Devan memutar setir ke kiri di tikungan depan, barulah kembali melirik gadis di sebelahnya. “Kenapa tak bilang dari awal kamu punya masalah dengan mereka. Kalau tahu seperti itu, aku nggak akan menyuruhmu membuat pengajuan itu.”     “Saya hanya ingin bersikap profesional, Pak.” Devan tersenyum, dilihatnya Crisy menunduk. “Maafkan saya telah mengacaukan semuanya,” ucap gadis itu lagi.     “Kamu membuatku menelan ludah sendiri, melupakan profesionalisme dan malah memasukan masalah pribadi karyawan dalam bisnis. Ini menggelikan, Sassy girl,” ucap Devan membuat Crisy menunduk makin dalam. Namun, tanpa ia sadari wajahnya malah merona.     “Maafkan saya ... saya akan memperbaikinya. Anda pasti akan mendapatkan kerjasama ini kembali.” Mobil berhenti di depan sebuah restaurant. Devan melepaskan safety belt setelah mesin kendaraan mati sepenuhnya.     “Lupakan semua itu. Kalau aku menginginkannya, akan sangat mudah bagiku untuk membuat Kenzo Adi Pratama menandatangi perjanjian kerjasama dengan Travel J. Tapi aku nggak akan melakukannya ....” Devan mencondongkan dirinya pada Crisy, membuat jantung wanita itu bermaraton. Tubuhnya menegang. Devan menatap lekat pada wajah cantik Crisy. “Karena aku nggak mau melihat luka di matamu,” bisiknya sambil melepaskan sabuk pengaman Crisy.     “Ayo turun, setelah keributan tadi aku jadi lapar.” Devan bersiap membuka pintu, tapi kembali memutar badan.” Lepaskan ikat rambutmu. Itu membuatku gerah dan sesak napas. Kamu tak ingin aku memakanmu detik ini juga, ‘kan?”     “Apa?!” Crisy membeliak dengan wajah tersipu, sementara Devan telah keluar dari mobil sambil terkekeh.     Crisy masih mencebik kesal saat Devan menarik kursi kayu untuknya. Sementara Devan masih mempertahankan senyumnya.     "Kau tahu, semakin marah kau semakin cantik," Devan mengerling nakal, membuat Crisy mendesi pelan.     "Aku tak menyangka akan bertemu dengan bos yang suka membual sepertimu. Berapa banyak wanita yang takluk dalam bualanmu itu?"     Devan terbahak. Ia ingin kembali bicara, tetapi seorang pramusaji menghentikan ucapan yang menggantung di ujung lidahnya.     Mereka pun melakukan pemesanan bersama. "Jadikan dua bill," pinta Crisy.     "Eh, tapi ... ya, sudahlah ikuti saja kemauannya. Kekasihku sedang marah," ucap Devan pada sang pelayan membuat Crisy memutar bola mata malas.     Devan makin tertawa melihat tingkah Crisy, menurutnya itu menggelikan. Crisy benar-benar wanita yang unik. Sangat brutal, angkuh, juga menggemaskan.     "Ck. Sekali lagi kau tertawa, aku akan menyirammu dengan air ini," ancam Crisy.     "Baiklah, aku akan tutup mulut." Devandra pun menutup mulutnya. Namun, matanya masih memancarkan sisi jahilnya. Ia masih belum puas menggoda gadis itu.     Crisy mengabaikan wajah menyebalkan Devan, ia memilih menghadap ke jendela resaturant. Namun, suara Devan kembali membuatnya mendesis pelan.     "Crisy, bagaimana kalau kau pacaran denganku, ah, baiklah kalau kau tak mau. Mungkin kita bisa berpura-pura untuk menyakiti hati mantanmu itu. Mungkin saja suatu saat dia sadar dan meminta kembali padamu. Bukankah itu bagus."     "Kalau aku ingin dia kembali, aku tak perlu menjadi pacar bohonganmu. Karena sampai sekarang pun Kenzo, masih memintaku untuk kembali. Tapi sama seperti sebuah cermin, hati yang telah hancur pun tak akan bisa disatukan kembali. Aku justru ingin menghindarinya."    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD