“Ayo masuk, seperti yang kamu lihat mobilku menghalangi orang lain yang mau lewat.”
Crisy bergeming, memilih diam dan tak peduli. Mencari keberadaan Pak Herman yang menghilang membawa barang-barangnya jauh lebih penting bagi Crisy. Dalam mobil Devan mendecak sebal menoleh ke arah Crisy yang masih diam dalam mode angkuh. "Ck. gadis itu. Baru pertama kali aku lihat model yang begini," gumamnya. Ia pun mencondongkan badannya ke sisi pintu yang terbuka.
“Untuk seorang cewek yang berani menyiram jus strowbery pada dua orang pria asing dan bertengkar dengan atasan di hari pertama bertemu, rasanya tidak mungkin kamu takut makan siang denganku. Iya, 'kan?” sindirnya dengan wajah mengejek.
Crisy memutar bola mata malas. Merasa ditantang dan tak punya pilihan, ia pun masuk dan duduk di kursi penumpang sebelah Devan. Devan tersenyum lega, ia mengulurkan tangan. “Mungkin kita bisa awali semua dengan berkenalan? Seperti yang kamu tahu namaku Devan Zaky Justin, aku presdir pengganti untuk kakakku. Ya, kurasa semua orang sudah tahu, kalau harusnya presdir kalian adalah lelaki tua beranak tiga. Tapi ... sayangnya, aku masih muda. Dan ... jomblo.”
“Memangnya saya peduli dengan semua itu, Anda sudah tahu nama saya. Jadi saya tak harus memperkenalkan diri lagi,” sahut Crisy. Devan tersenyum miring, sudut bibirnya tertekuk ke bawah. Ia menarik uluran tangannya kembali barulah melajukan kendaraannya.
“Makan di mana? Kamu bisa rekomend?” Devan menyetir mobil dengan kecepatan di bawah standar, hanya untuk mengulur waktu agar bisa bercakap dengan gadis di sebelahnya.
Crisy mengubah posisi duduknya, mendelik tajam pada Devan sebelum bicara. “Sepertinya, kita tidak cukup akrab untuk Anda bisa menyebutkan kamu dan aku dalam percakapan ini.”
Devan terkekeh, melirik gemas pada Crisy yang memasang tampang sangar. “Oke, maafkan saya. Tapi entahlah, saya lebih suka memanggil kamu. Mau tahu kenapa?” Crisy mengangkat bahu samar, mengalihkan pandangan ke luar jendela pertanda ia tak tertarik. Menurutnya, Devandra tak lebih dari bos songong yang suka iseng dengan anak buahnya. Apa lagi ia sudah kesal dari sejak awal pertemuan mereka di restaurant waktu itu. Rasanya tak mungkin jika seakarang ia menaruh minat pada semua pembicaraan ngawur bosnya.
“Kurasa mungkin karena aku menyukaimu,” ucap Devan gamblang mengabaikan tampang jutek Crisy.
Gadis itu pun menoleh sekilas dan mendesis kesal. Namun, Devan malah tersenyum padanya. “Kamu tahu, semakin marah kamu semakin menggemaskan," gombalnya.
“Cih.” Crisy mendesis, mengabaikan ucapan Devan. Lima menit perjalanan, mobil Devan berhenti di parkiran restaurant nasi padang dekat kantor. Alasannya hanya satu bahwa ia harus kembali lagi secepatnya ke kantor untuk melakukan meeting yang tertunda. Sebenarnya jarak restaurant itu sangat dekat dengan kantor, jika ditempuh dengan kecepatan standar, maka mungkin harusnya Devan tak perlu mengeluarkan mobil dari parkiran. Bahkan waktu untuk mengeluarkan mobil itu mungkin akan lebih lama ketimbang waktu tempuh menuju restaurant itu.
“Kamu nggak mau tahu alasanku mengajakmu makan siang?” tanya Devan setelah menelan suapan keduanya. Ia menyeruput minuman dingin dalam gelasnya, tanpa mengalihkan tatapannya dari Clary yang terlihat tak acuh.
“Nggak,” jawab Crisy jutek. Devan hanya bisa mengulum senyum. Memerhatikan Crisy yang sama sekali tak menoleh padanya. Gadis itu benar-benar menggodanya dengan keangkuhan yang selalu tergambar di wajah manisnya.
“Cris,” panggil pria itu lagi. Crisy mendongak. “Sudah punya pacar belum? Kalau belum kita pacaran, ya?”
“Uhuk! Uhuk!” Seketika Crisy tersedak makanannya sendiri. Devan menyodorkan segelas air yang dirampas kasar sama karyawannya itu.
“Kalau bicara kira-kira, dong!” sembur Crisy. Kemudian meneguk minumannya kembali. Ia harus sedikit menormalkan rasa yang mengganggu tenggorokannya.
“Ya, kali aja kamu mau,” kilah Devan tanpa rasa bersalah. Sementara Crisy malah semakin kesal. Gadis itu menyelesaikan acara makannya dengan cepat. Rasanya benar-benar gerah makan siang dengan pria sejenis Devan. Manusia yang bicara tanpa berpikir lebih dahulu. Itu berbahaya. Kesan Devan makin minus dalam penilaiannya.
“Cris, apa sih alasan kamu marah-marah terus sama aku?” Crisy kembali mendelik tajam.
Oh hello, setelah apa yang ia lakukan di restaurant waktu itu dan di ruang meeting tadi, Devan masih bertanya apa salahnya? Rasanya Crisy benar-benar ingin mencabik-cabik wajah tampan pria itu. Yang sayangnya memang tampan. Bahkan sangat tampan.
Daripada menanggapi pertanyaan konyol itu Crisy memilih tidak menjawab dan mengabaikannya. Ia malah memerhatikan sepasang remaja yang sedang mengobrol mesra masih memakai seragam sekolah. Crisy menggeleng. “Mau jadi apa Indonesia jika generasi mudanya seperti itu?” gumamnya. Lalu kembali menyesap minumannya. Ia pun menghela napas pelan, seolah ada beban di dalam dadanya.
“Apa?” Devan, menoleh ke arah remaja yang sama dengan Crisy tadi. Tersenyum simpul sebelum memasukkan suapan terakhirnya.
“Anak muda, biasalah,” ucapnya berkomentar. Namun, Crisy malah mendengkus makin sebal.
“Kamu nggak pernah pacaran saat seusia mereka?” tanya Devan. Meneguk minuman terakhirnya, dan membersihkan mulutnya dengan tisue yang tersedia di atas meja.
“Untuk apa? Buang-buang waktu saja. Kalau masih pelajar itu, lebih baik konsentrasi sekolah, belajar yang benar. Kasian orang tua ngeluarin banyak biaya buat sekolah. Eh, malah dipakai pacaran.”
“Sekarang?” lanjut Devan bertanya.
“Sama saja,” jawab Crisy malas.
“Lho, bukannya sekarang kamu sudah bekerja. Tak ingin mencoba untuk pacaran?”
“Pernah mencoba, tapi rupanya itu percuma. Dan ya, seperti kataku itu hanya buang-buang waktu,” tegasnya.
“Mungkin kamu salah memilih orang,” Crisy mengangkat bahu samar, tandanya ia enggan menanggapi ucapan Devan, tetapi Devan tak mau menyerah.
Devan tersenyum simpul, mengambil gelas minumannya yang kembali berair karena es batu yang mulai mencair. Ia pun meneguk airnya sebelum bicara. “Then waste it on me.”
Devan memperhatikan Crisy dari balik gelas bening. Ia tengah meneguk air untuk yang terakhir, sebelum memanggil pelayan membersihkan mejanya. Crisy menatapnya tanpa berkedip. Namun, bukan menatap terkesima melainkan ada kobaran kemarahan di sana. Devan hanya tersenyum simpul dalam hati. Entahlah, gadis di depannya cukup hebat karena tak terpengaruh dengan hidup seorang keluarga Justin yang terkenal miliuner.
“Bisakah kita membahas hal yang lain selain hal-hal yang menggelikan seperti itu?” ucap Crisy, kemudian bicara pada pelayan yang datang. “Tagihan kami bagi dua, ya,”
“Hei, apa yang kamu katakan,” protes Devandra. “Jangan lakukan itu.” Pemuda itu pun mencegah pelayan membagi tagihannya. Sementara si pelayan hanya diam dan kebingungan, dua orang di depannya masih terus berdebat. Akhirnya, si pelayan pun memutuskan menyerahkan tagihannya pada si pemuda. Devan membayar semua dengan cepat, mengabaikan Crisy yang mendelik marah.
“Cris, anggap saja itu sebagai permintaan maafku,” ucap Devan membuyarkan kebisuan Crisy.
“Ah, ya sudahlah, terima kasih, Pak Devan.” Crisy bangkit lebih dulu. Melangkah meninggalkan Devan yang menyusulnya dari belakang.
“Meeting akan dimulai sejam lagi, kuharap kamu mempersiapkan diri dengan baik. Aku tidak ingin kecewa, Nona Cris.” Devan pun melajukan kendaraannya kembali ke kantor.
Sejenak Crisy menarik napas, ada sedikit kesal dalam hati, karena ia berakhir kembali berdiri di ruang rapat yang tadi ditinggalkannya. Namun, lebih dari pada itu, ia justru merasa gugup karena Devan menatapnya dengan raut wajah sangat serius. Sungguh berkebalikan dengan saat di warung makan tadi. Sialnya Crisy justru merasa lucu ketika memorinya memutar ulang peristiwa itu. Hingga tanpa sadar ia mematut diri cukup lama di depan sebelas pasang mata peserta rapat.
“Ekhm!” Raiza memecah kesunyian, Crisy tersenyum canggung. Berdehem sebentar seakan tengah melonggarkan tenggorokannya yang tersendat. Barulah kemudian ia berdiri tegak dengan senter proyektor di tangan. Crisy mulai berbicara menjelaskan program ECV yang ia gadang-gadang bisa menjadi proyek unggulan perusahaan. Devan bergeming dengan muka datar. No respons. Meski Crisy sudah berbicara sampai berbusa menjelaskan seluruh keunggulan programnya.
Beberapa pertanyaan justru terlontar dari Raiza yang seolah lebih tertarik dan berminat. Kediaman Devan sedikit menyentil hati Crisy, ada ketakutan bahwa Devan kini akan melempar programnya ke tong sampah. Bukankah itu artinya sebuah penghinaan. Sebab, ketika ia memutuskan keluar tadi, Devan justru memaksanya untuk kembali. Pemaparan Crisy selesai.
Kini ia menatap nanar pada timnya. Menunggu Devan memberikan reaksi, dengan perasaan yang tak menentu. Namun, hingga hampir lima belas menit berlalu pria itu masih diam. Matanya memicing memerhatikan seluruh tulisan dan anggka di layar proyektor. Crisy hampir menyerah, menghela napas ketika Devan terdengar meletakkan pulpen di atas berkas di depannya.
“Apa alasan pemegang saham menolak programmu?”
“Menurut mereka program ini tidak efektif karena hanya menyasar pada orang-orang yang memiliki pendapatan tetap setiap bulannya. Mereka ingin program yang bisa meraup bahkan yang bukan pegawai negeri atau pegawai swasta.” Devan mengerutkan dahinya.
“Maksudmu mereka ingin memberikan program ini pada pedagang kecil? Atau para buruh kasar?”
“Iya,” jawab Crisy tegas. Devan malah tersenyum miring, seolah meremehkan alasan penolakan itu. Sejenak menatap copyan program itu yang tergeletak di bawah tangannya.
“Apa kau bisa membagi team menjadi dua? Untuk wisata lokal dan mancanegara?” Crisy saling pandang dengan Bu Farah.
Kemudian Bu Farah angkat bicara. “Akan saya lakukan.”
“Bagus, saya tunggu laporan soal itu. Secepatnya. Dan, satu lagi saya minta seluruh data biaya perjalanan dari negara-negara yang masuk dalam program. Dari yang termahal dan termurah.”
“Siap, Pak Devan,” sahut Crisy.
Devan mengangguk. Mendorong kursinya sebelum bicara lagi. “Meeting cukup sampai sekian dan Cris ikut ke ruangan saya.”
“Baik, Pak Devan,” jawab Crisy. Segera merapikan semua perlengkapan meetingnya barulah menyusul langkah Devan.
“Programmu bagus,” ucap Devan tanpa menoleh ke belakang. “Mulai sekarang aku yang akan menangani semuanya secara langsung.” Devan masuk ke ruangannya diikuti sekretarisnya dan Crisy. Sekretaris itu pun diperintahkan keluar oleh Devan. Kemudian mempersilahkan Crisy duduk. “Apa kamu sudah memikirkan tawaranku?”
“Maksud, Bapak?”
“Buang waktumu padaku, Crisy. Would you be my girl?”
“Hah?!” Crisy sedikit tersentak kaget sebelum berucap. “Dasar sinting!”