Part 3

1507 Words
    Crisy sedang mengikat rambutnya jadi kuncir kuda ketika Bu Farah tiba-tiba masuk sambil berteriak.     “You did it, Cris! Kamu berhasil!”     “Apa bu?” tanya Crisy bingung.     “Program kamu! Kau memenangkannya.”     “Kyaa! benarkah?! Ini ibu tidak bercanda, 'kan?” Crisy melompat kegirangan, wajahnya memerah menahan ledakan kegembiraan dalam dirinya.     “Benar, Cris. Tadi assisten Pak Devan mencari ibu dan mengatakan kalau jam satu siang nanti Pak Devan ingin meeting bersama seluruh team ECV.”     “Benar, Bu?” Bu Farah mengangguk, Crisy berlari memeluk Bu Farah sambil berteriak. Mereka berpelukan cukup lama. Sampai Rio datang menghancurkan moment bahagia itu.     “Crisysian Valenci sahabat gue, lo berhasil, woy!” teriaknya dari pintu kaca. Namun, seketika terdiam merasa canggung saat menyadari kehadiran Bu Farah di tempat itu.     “Eh, ibu ...,” ucapnya sambil menggaruk kepala.     Bu Farah mendengkus sembari berucap, "Teriak-teriak kayak di hutan aja kelakuan kamu. Rio, rio mending sekarang kamu itu bantu Cris buat nyiapin semua bahan meeting untuk nanti. Jangan sampai tuh Pak Devan membatalkan pilihannya."     “Assiaap Bu Farah,” jawab Rio, Bu Farah pun menggeleng. Menoleh sekali lagi pada Cris.     “Selamat ya, sebaiknya mulai sekarang kamu harus siapin mental, Cris. Assisten Pak Devan justru lebih Hittler dari Pak Devan sendiri dan Pak Devan nunjuk dia jadi patner kamu.”     “Kenapa bisa begitu, Bu. Saya tidak bisa milih patner sendiri, ya? Selama ini saya sudah bekerja bareng Rio, Bu.” Bu Farah hanya menggeleng.     “Saya juga tidak tahu, tapi dengar-dengar dia orang yang sangat pintar. Makanya Pak Devan mempercayakan semuanya sama dia.”     “Begitu ...,” gerutu Crisy sedikit ragu. Namun, kembali menatap Bu Farah saat wanita itu menepuk pundaknya.     “Aku tahu kamu pasti bisa. Kamu memiliki karakter kuat yang tidak dimiliki siapapun. Kurasa itu pula yang menjadi daya tarikmu. Makanya Pak Devan memilih proyekmu. Bukan Deswita yang ....” Mereka pun tertawa, membuarkan Rio yang membeo tak mengerti.     "Dan semoga saja asistennya jauh lebih baik ketimbang Si Devan sialan itu!"     "Hus, jangan ngomong sembarangan. Kalau Pak Devan dengar bisa berabe, Cris," ucap Rio mengingatkan. Sementara di tempatnya Bu Farah tak mengerti arah pembicaraan mereka.      "Sebenaranya ada apa?" tanya wanita itu. "Apa kemarin ada masalah saat kau bertemu dengan Devandra?"     "Ah, nggak ada, kok, Bu. Hanya terjadi sedikit kesalahpahaman," sahut Crisy canggung.      Rio pun hanya cengengesan di tempatnya. Melihat tingkah keduanya membuat Bu Farah geleng-geleng kepala. "Ibu harap apa yang kau katakan benar adanya, Cris, atau nanti programmu bisa dipersulit lagi olehnya."     "Ahssiiaapp, Bu, ibu tenang saja."     "Ya, sudah kalau begitu, ibu balik dulu. Rio, kamu bantu-bantu Crisy, ya. Jangan bisanya hanya teriak-teriak nggak jelas kayak tadi."     "Iya, Bu, tenang saja."     Bu Farah pun menepuk bahu Crisy dan keluar meninggalkan mereka berdua. Setelah kepergian Bu Farah, Crisy melompat girang. Tanpa sadar memeluk Rio yang berdiri di depannya.     "Gue seneng banget Rio, bisa lo bayangin apa yang bakal gue dapat jika proyek ini berhasil. Gue bakal bisa nyari ibu. Dan gue bakal menemukannya. Itu pasti."     "Gue turut seneng buat lo, Cris. Jadi semangat, ya. Jangan sampai terjadi masalah saat meeting nanti."     "Siap. Lo emang sahabat gue yang terthe best."     "Oh, iya, dong, Cris, gue gitu lo ...," ucap rio menepuk dadanya bangga. Mereka pun tertawa bersama.     "Jadi, Nona, sekarang apa yang bisa gue bantu?"     "Mmm ... nanti bakal gue panggil, sekarang gue mau menyendiri dulu buat mepelajari ulang rpogram gue."     "Sipp, semangat. Kalau gitu, gue cabut dulu, ya."     Rio pun meninggalkan Crisy dan kembali ke ruangannya. Crisy tersenyum. Sebuah harapan terbit di wajahnya. Sesuatu yang ia idam-idamkan seakan tampak nyata di hadapannya. "Ibu, sebentar lagi aku akan menemukanmu. Di mana pun kau berada aku pasti akan menemukanmu, ibu," ucapnya pelan dengan cairan bening menggenang di pelupuk matanya. *     Jam satu siang ucapan Bu Farah terus berdengung di telinganya, Crisy pun mondar-mandir di ruang rapat seperti orang gila. Sudah sedari tadi ia mempersiapkan diri untuk menghadapi meeting hari ini, tetapi tetap saja dirinya merasa sangat gugup.     Ia sudah berada di dalam ruang tertutup itu sejak jam sebelas tadi. Melupakan makan siangnya karena sangat tegang menghadapi situasinya saat ini.     Sejenak Crisy memukul kepalanya mengingat pertemuannya dengan Pak Devan tiga hari lalu. Mengumpat marah pada diri sendiri karena terlalu lancang melawan si bos yang belum seminggu bertugas di Travel J.     “Aish, bodohnya.”     “Siapa yang bodoh?" Crisy menoleh, seketika tegang menatap wajah Pak Devan di ambang pintu.     “Bapak ...,” ucap Crisy membungkuk memberi hormat.     “Apa? Jadi kamu mengatakan saya bodoh?”     “Ah, bu ... bukan, Pak. A ... anu saya tadi ....” Crisy makin gugup ketika menyadari ucapannya barusan menimbulkan kesalahpahaman.     “Mentang-mentang saya tertarik dengan program kamu bukan berarti kamu bisa menghina saya sembarangan, ya!” hardik Pak Devan sembari melempar map ke atas meja.     Crisy menelan ludah kasar, merutuki kebodohannya sendiri. Ia tadi kan hanya mengatai dirinya sendiri, lalu terkesiap karena Pak Devan sudah ada di sana dan tanpa sadar menjawab bapak ....     “Sial!” gumam Crisy.     “Kamu ini benar-benar suka mengumpat, ya. Sepertinya kamu benar-benar harus didisiplinkan.” Devan berderap mendekat, mengintimidasi Crisy yang bergeming menutup mata saat Pak Devan mendekatkan wajahnya.     Devan menyeringai. Sementara Crisy mengatur degup jantungnya, hembusan hangat napas Devan menyentuh kulit wajahnya. Crisy semakin tegang. Ia sudah sangat gugup dengan apa yang akan dibawakannya saat meeting nanti, dan sekarang semakin tegang setelah apa yang dilakukan Devandra padanya.      Crisy memundurkan langkah, tetapi Devan malah semakin maju.      "Aa ... mmm ... Pak ... anu ...."     “Ekhm! Apa aku mengganggu kalian?” Devan menjauhkan wajahnya. Mendecak sebal saat mengetahui siapa gerangan yang mengganggu kesenangannya. Pria itu memperbaiki posisi dasinya, sembari melangkah menjauhi Crisy.     Akhirnya Crisy bisa menghela napas lega. Crisy pun membuka mata dan seketika membola menatap pemuda yang kini berjalan angkuh ke arah mereka kemudian duduk di sebelah kursi CEO.     “Lo!?” ucap Crisy sangar. Si pria tetap tak acuh.     “Hei, pemabuk sialan! Apa yang lo lakukan di sini?” Gadis itu mendelik sambil merampas notulen yang tadi sempat diambil oleh pemuda itu.     Bu Farah yang baru masuk ke ruangan segera menyeret Crisy dan meletakkan kembali benda yang dirampas anak buahnya.     “Maaf, Pak.” ucapnya sopan. Lalu memukul punggung Crisy dan berbisik. "Dia itu asisten Pak Devan, jangan bertingkah bar-bar seperti itu, Cris."     “What? Saya harus kerjasama dengan si sialan ini?!” jerit Crisy saat mendengar ucapan Bu Farah. Seketika ingat apa yang dikatakan Bu Farah kalau mereka berdua akan menjadi patner.     “Suaramu dari tadi berisik sekali, Nona. Bagaimana HRD bisa meloloskan orang sekasar anda jadi staff perusahaan. Jika saya jadi Devan, pasti anda sudah saya tendang dari perusahaan.” Pemuda itu bersuara dingin dan datar, bahkan tanpa menoleh pada lawan bicaranya. Ia terlihat sangat angkuh.     Crisy pun menggeram marah, sementara Devan tak peduli dan seluruh jajaran terkait program ECV termasuk Bu Farah sudah keluar keringat dingin. Dua makhluk itu bersitegang tak tahu tempat. Suasana menjelang rapat jadi sangat kacau.      Ditambah lagi mereka sama sekali belum tahu sifat si bos yang baru dan asistennya. Jika sudah seperti ini, rasanya hanya Crisylah orang yang paling berani menghadapi orang-orang besar itu.     “Jadi begitu?” Crisy memicingkan matanya, merampas kembali map miliknya.     “Apa Anda pikir saya akan mengemis pekerjaan pada Anda? No! Saya memilik kemampuan yang lebih dari apa yang Anda bayangkan, Pak. Keluar dari perusahaan Anda bukan berarti saya tidak akan mendapatkan pekerjaan lain yang lebih baik. Anda sudah menghina saya bahkan sebelum Anda tahu saya karyawan Anda. Jadi maaf saya keluar dari team ini. Dan, saya mengundurkan diri Bapak Zaky. Oh atau perlu saya panggil Bapak Devandra Zaky Justin.”     Semua orang tercekat, termasuk Devan yang duduk di sebelah pria yang dipanggil Zaky. Crisy berderap pergi dengan kesal. Sementara Zaky malah tersenyum miring. Ia berdiri, berjalan tak acuh meninggalkan tempat itu.     “Bubarkan meeting ini!” Perintahnya tegas pada Devan sebelum menghilang di balik pintu.     “Baiklah, semua sudah dengar perintah si boss jadi sekarang kalian bisa kembali ke ruangan masing-masing,” ucap Devan.     Bu Farah yang awalnya tegang dan ketakutan pun menghela napas. Menatap Devan, seolah menuntut penejelasan.     “Jadi jika, beliau adalah Devandra Jack Justin lalu anda siapa?” Yang diajak bicara menggaruk kepala, kemudian memperkenalkan diri dengan canggung.     “Saya, sahabat Devan. Nama saya Raiza Etrama.”     “Aish, menyebalkan,” gerutu Bu Farah. “Ayo kalian kembali bekerja,” ucapnya kemudian yang disusul suara derit kursi dan hentakan kaki karyawan yang membubarkan diri.     Raiza pun mendudukan dirinya dengan santai di kursi CEO saat semuanya sudah meninggalkan tempat itu. “Hebat, juga gadis itu langsung tahu siapa Dev yang asli. Sepertinya kali ini kau dapat rival yang setimpal,” gumamnya menyeringai. ***     Crisy bergegas turun ke lobi dengan membawa semua berkas penting yang ia kemas ke dalam satu kardus. Karena terlalu kesal ia bahkan tak sempat berpamitan dengan semua teman-temannya. Kecuali Rio dan Bu Farah yang mengizinkannya pergi dengan tak rela.     Namun, mau bagaimana lagi, keputusan Crisy tak bisa diganggu- gugat. Gadis itu memang sangat teguh pendirian. Karena itu baik Rio maupun Bu Farah tak akan mencegahnya pergi.     Crisy melangkah melewati lobi menuju tempat parkir ketika sebuah mobil berhenti di depannya. Pintu mobil itu terbuka seolah memintanya untuk masuk. Belum sempat ia mencerna kejadian itu, seorang satpam mendekar dan mengambil alih barang bawaannya.     “Nggak usah dibawakan, Pak Herman. Biar saya sendiri saja. Terima kasih.”     “Tapi ini perintah boss, Cris. Saya tidak bisa menolak. Tuh beliau sudah nunggu dari tadi.”     Crisy mengerutkan dahi mendengar jawaban kepala satpam itu. Menyerah ketika Herman mengambil alih barang bawaanya lalu menatap pintu mobil ketika mendengar suara berar seorang pria memanggil namanya.     “Crisysian Valenci, kalau mau meeting berjam-jam, biasakan makan siang dulu. Aku tidak mau kamu pingsan di tengah-tengah rapat berlangsung. Jadi mari kita makan siang ....”                          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD