Rana memandangi pintu kamar yang sudah dibongkar. Katanya banyak komponen kabel yang terdapat di dalam pintu dan kebanyakan sudah habis dimakan waktu. Alih-alih membawa tukang reparasi, River memilih untuk menjualnya besok. Kini hanya tersisa jas laboratorium yang menjuntai dan itu pun tidak tertutup seluruhnya karena pintu di rumah ini cukup tinggi.
Dia yang berbaring di tempat tidur, menjadikan tangan sebagai bantal. Aura sudah tertidur sejak tadi, begitu pulas dengan perut menghadap ke atas. Lebih baik dia tidak bergerak banyak, mengingat nyenyaknya tidur Aura sekarang, akan tersiksa kalau bangun nanti. Bukan tersiksa lebih tepatnya, melainkan kepayahan.
Sungguh kasihan menjadi Aura, harus menjalani waktu yang begitu melelahkan seorang diri. Kakaknya itu kadang tiba-tiba terbangun dalam keadaan tubuh tidak nyaman, hal yang akan dialami setiap wanita ketika hamil.
Sampai saat ini, Rana masih tidak percaya dengan kejadian yang menimpa mereka. Apa kakak iparnya benar-benar telah tiada? Semua seperti mimpi, karena terjadi dalam sekejap mata. Bagaimana mereka akan menanggung itu semua?
Dia yakin bahwa kakaknya sangat khawatir, tetapi Aura selalu menyembunyikan perasaan yang seperti itu. Jauh di dalam hati, kakaknya pasti menolak tentang kematian sang suami dan berharap bahwa Shaw masih hidup. Padahal, dia tahu kalau suara tembakan nyata adanya.
Bayangan seseorang yang berjalan di balik jas laboratorium menarik Rana dari lamunan. Dia dapat melihat siapa yang ada di ujung sana dari kain yang terbelah dua desainnya pada bagian bawah. Pria itu adalah River, kini sedang meneguk minuman.
Melihat ke arah jam dinding, sudah hampir menunjukkan jam tiga. Apa River selalu tidur begitu malam atau justru tidak tidur sama sekali? Dan lagi, dia jelas tahu kalau Potato membawa minuman yang tidak sedikit ke dalam ruang penelitian. Mustahil habis dalam waktu satu hari, bahkan habis dalam semalam saja.
Meskipun pikiran bertanya-tanya, akan tetapi Rana tidak berniat untuk turun dari tempat tidur. Dia hanya memperhatikan apa saja yang dilakukan pemilik rumah itu. Sebagai informasi bahwa kamar mereka tidak jauh dari dapur sehingga dapat terlihat apa-apa yang ada di sana.
Rumah River tidak besar. Dia tahu kalau sekarang berada di zaman yang teknologinya serba canggih, akan tetapi dalam segi desain rumah belum menampakkan itu semua. Entahlah, mungkin hanya River saja yang memiliki rumah sederhana jika dibandingkan rumah yang lain.
Rumah yang ditempatinya ini memiliki dua lantai, yang utama terdapat dapur, kamar, dan satu kamar mandi. Semuanya berukuran kecil dibandingkan dengan ruang kerja. Tidak salah, karena sepertinya River gila akan penelitian sehingga tidak begitu peduli pada bagian rumah sendiri.
Lemari saja berisi pakaian yang sama, beberapa jas laboratorium tidak lagi putih warnanya saat dia melihat-lihat. Tidak ada keistimewaan dari isi kamar, kecuali tempat tidur yang jauh lebih nyaman dari kepunyaan mereka. Mungkin karena itu juga tidur Aura tidak begitu terganggu seperti sebelumnya.
Tanpa sadar tatapan mereka beradu pandang. Rana berusaha untuk tidak terlihat memandangi sejak tadi. Dia bergerak perlahan untuk membalikkan badan agar mereka tidak menatap lagi, tetapi tanpa dia sadari pula bahwa ternyata Aura telah mendesaknya ke tepian. Jadi, dia mengurungkan niat dan menutup mata saja. Bukan untuk berusaha tidur, karena tidak mengantuk juga, melainkan dia berniat menutup mata sampai River pergi dari pandangan mata.
Namun, apa yang terjadi saat dia membuka mata kembali, bayangan pria itu sangat dekat yaitu bersandar ke kosen pintu dengan pemandangan jas laboratorium sudah bergeser memperlihatkan postur tubuh dari atas sampai ke bawah.
"Apa yang kau lakukan di sana?" tanya Rana dengan nada rendah bercampur teriakan pengusiran.
"Aku sedang menikmati minumanku," jawab River dengan nada rendah yang sama.
"Bukan itu maksudku—"
"Shaw ...."
Rana tersentak ketika tangan sang kakak menyikut punggungnya, lumayan sakit, tetapi dia menahan raungan dengan baik. Dia lambat-lambat turun dan menghampiri River. Tidak langsung menjauhkan diri dari kamar, dia memastikan kakaknya baik-baik saja terlebih dahulu. Setelah itu baru dia menarik River pergi, ekspresinya terlihat sangat kesal.
"Aku sudah mengatakannya padamu, agar kau tidak berkeliaran di depan kamar. Sekarang dengan santai kau bersandar sambil menikmati minumanmu."
"Kau tidak pernah mengatakannya."
"Apa? Aku sudah mengatakannya tadi di depan semua orang."
"Kau tidak pernah mengatakannya. Kau hanya mengatakan tidak bisa membiarkan laki-laki melihat apa yang kau lakukan di dalam kamar dengan bebas."
"Itu sama saja!" Rana mengepalkan tangan dan ekspresinya bertambah kesal, dia sudah tidak tahan lagi. "Sekarang pergilah ke tempatmu sebelum aku benar-benar marah."
"Aku akan pergi. Tapi kau harus tahu satu hal kalau aku dan Potato tidak pernah berniat buruk pada kalian."
Rana membuang muka, sebenarnya malas mengakui. "Aku tahu. Apa kau mengatakannya karena ingin mendengarkan ucapan terima kasih?"
"Tidak. Aku melihatmu tidak bisa tidur. Maka dari itu, aku menghampirimu." River meletakkan minumannya di atas meja, lalu berkata lagi, "Aku ingin memperlihatkan sesuatu padamu, jika kau masih belum mengantuk tentunya."
"Apa itu?"
"Hmmm, tidak ada di sini. Kau harus mengikutiku terlebih dahulu untuk melihat jawabannya."
Rana memberikan tatapan menyelidik, sesungguhnya ragu. Perkataan tadi mengingatkan dia pada situasi yang pernah dia alami belum lama ini.
"Aku takut akan kecewa seperti terakhir kali."
River tergelak. "Aku rasa Angelina bukanlah sesuatu yang mengecewakan. Mungkin aku akan meningkatkannya nanti." Dia memperhatikan raut protes di wajah Rana dan membuatnya tertawa kecil. "Baiklah, baiklah. Kali ini tidak akan mengecewakanmu."
Pada akhirnya, Rana menyerah dengan keraguan dab memutuskan untuk mengikuti langkah yang membawanya pergi. Mereka perlu menaiki tangga jika ingin sampai ke tujuan. Potato pernah mengatakan ada apa di lantai atas, katanya tempat yang terang ketika siang dan indah ketika malam.
Rana tidak tahu kalau akan lebih dari sekadar kata-kata, langit tampak gemilang dengan kerlip cahaya. Dia tidak pernah melihat pemandangan yang begitu indah seperti sekarang. Apa dia sedang ada di surga ketika malam hari? Bahkan, angin malam itu terasa hangat akan kegembiraan.
"Apa yang kau lihat ibarat mimpi, yang paling besar dan jelas cahayanya adalah mimpi yang tercapai, sedangkan yang berserakan seperti debu adalah mimpi yang terpendam dan mimpi yang belum tercapai. Mereka ada karena kita ada. Itulah Stardust yang kau lihat. Mereka sangat indah, bukan?"
"Indah," ucap Rana, tidak bisa memalingkan pandangan saking terpesonanya.
River menipiskan bibir, mengalihkan pandangan pada Rana. Binar di mata wanita itu terlihat sama seperti Stardust. Kenapa bisa terlihat lebih indah?
"Apa Stardust juga dapat mengabulkan permohonan?"
River menaikkan sebelah bibir. "Dan perkataanmu adalah sebuah keajaiban."
Rana memasang tampang keheranan. "Apa maksudmu?"