Bab 18: Pria Tampan di Bar

1004 Words
Selama mengitari pusat perbelanjaan, Rana berusaha mengorek informasi mengenai kecurigaannya. Dia membicarakannya pada Potato sedikit demi sedikit, akan tetapi sepertinya sosok yang terlihat sering bersama River itu enggan mengatakannya. Potato yang tampak bisa membantah keteguhan River, sepertinya masih memiliki sifat loyalitas. Dia tidak begitu kesal lantaran tahu bahwa membocorkannya akan membuat robot yang diciptakan pemiliknya terlihat seperti berkhianat. Barang-barang sudah berhasil diangkut, bukan Potato seorang yang akan membawanya karena ada banyak belanjaan. Jadi, mereka memutuskan untuk menyewa satu mobil yang khusus digunakan ketika pelanggan membutuhkan layanan antar. "Naiklah bersama Potato," ucap River. Rana tidak bertanya ke mana pria itu pergi, karena sudah tahu. Tidak ada yang berniat untuk memberikan dia jawaban. Maka dari itu, dia hanya bisa berdiri di sana sembari memandangi kepergian River. Ke mana pria itu pergi? Ke mana? "Rana, ayo, mobil ini akan segera berangkat." "Ah, baiklah." Rana hendak masuk ke dalam mobil berbentuk kapsul itu. Namun, pertanyaan demi pertanyaan tentang kepergian River terus mengusik dan membuat dia enggan untuk meneruskan langkah. Bukan Rana namanya jika membiarkan rasa penasaran menggerogoti diri terus-menerus. "Maaf, Potato. Aku memiliki urusan lain. Kau bisa kembali tanpaku. Sampai jumpa lagi di rumah." "Rana—" Sebelum Potato menyelesaikan kata-katanya, dengan cepat Rana menutup pintu. Dia melambaikan tangan sebelum berbalik arah. Seharusnya River masih belum jauh dan masih dapat dikejar. Potato sendiri sebenarnya bingung harus memutuskan bagaimana. Dia tidak berpengalaman soal ini, di mana manusia melenceng dari rencana. Biasanya River yang akan memutuskan sebuah perkara, akan tetapi pemiliknya tidak ada di tempat. Apa yang harus dia lakukan, mengejar Rana, membiarkannya pergi, atau mengabarkannya pada River? Tidak, sepertinya dia akan berpura-pura tidak tahu saja. Jika River tahu tamu mereka lepas, maka akan ada yang marah besar. Dia tidak ingin dihukum lagi, dia ingin hidup dan tidak ingin mati. Di sisi lain, Rana berhasil menemukan targetnya. Saat ini River tampak berjalan tergesa ke sebuah tempat yang tidak dia tahu. Mereka melewati jalan terang dan jalan gelap secara bergantian, ramai dan sepi juga termasuk di dalam perjalanan. Sampai mereka berhenti di satu tempat yang di depannya robot berkacamata hitam tengah berbicara dengan River. Kalau dilihat-lihat, tempat itu mengingatkan dia pada sebuah bar mewah, di mana hanya tamu terpilih saja boleh masuk. Namun, apa yang dilakukan River di tempat yang seperti itu? Dia tidak tahu kalau pria yang selalu mengenakan jas laboratorium—bahkan sekarang pun tetap mengenakannya—itu akan tertarik pada hal-hal yang berbau dunia liar. Dia cukup kecewa dengan tujuan kepergian River. Meskipun begitu, dia tetap masuk ke dalam sana karena sudah jauh-jauh mengikuti. "Anda tidak boleh masuk, kecuali tamu VVVIP saja." "VVVIP?" "Very Very Very Important Person." Rana tersenyum pahit, memikirkan bagaimana berkembangnya dunia Stardust, sejauh ini yang dia tahu hanya sampai VVIP saja. Itu seperti sebuah lawakan saja. Tidak bisakah mereka mencari kata yang lain ketimbang menyulitkan lidah membaca huruf yang sama sebanyak tiga kali berturut-turut? "Silakan menjauh dari sini. Kami harus melanjutkan pekerjaan." Rana didorong menyingkir, lantas melirik dua robot itu berbicara dengan orang yang mengantre di belakangnya tadi. Tampak mereka menyerahkan satu kartu yang menurutnya merupakan kartu VVVIP itu. Dia harus memilikinya jika ingin bergabung. Namun, di mana dia bisa mendapatkannya? Bagaimana pun dia memikirkan caranya, Rana tidak dapat menemukan. Menyingkir dari sana, dia memikirkan cara lain, mungkin ada sisi bangunan yang dapat menjadi jalan masuk baginya. Rana memutari bangunan, mencari-cari pintu mau pun jendela. Sialnya, hasil pencarian berujung nihil. Tidak masuk ke dalam bar juga tidak masalah sebenarnya, dia bisa menunggu di luar saja sampai River kembali. Kebimbangan dan keputusasaan menyelimuti hingga akhirnya sebuah titik terang muncul. Sebuah pintu tiba-tiba saja terbuka, seorang wanita keluar dalam kondisi linglung seperti ingin membuang isi perutnya. Dia tidak tahu jika di dunia yang canggih masih ada yang namanya mabuk. Tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan, Rana langsung melesat melalui pintu yang sama. Hanya saja, tanpa dikira dia dicegah oleh wanita asing tersebut. "Ke mana kau akan pergi, Nona?" "Ah, itu ... saya meninggalkan ponsel di dalam." Entah bagaimana, di dalam pikiran hanya itu yang dapat dia katakan, idenya berasal dari kehidupan sehari-sehari di televisi di mana ponsel menjadi penghubung antara pria dan wanita. Namun, kali ini sangat berbeda karena ponsel menjadi penghubung antara dia dan sebuah bar. Wanita itu terbahak-bahak. "Ponsel?" Rana menganggukkan kepala. "Ya, ponsel. Anda belum betul-betul mabuk sampai melupakannya, bukan?" "Tentu tidak. Aku tahu betul apa itu ponsel. Tapi alat komunikasi yang kau pakai sungguh sudah ketinggalan zaman. Orang-orang saat ini berkomunikasi menggunakan telepati." "Tele—pati?" "Oh, ya, ampun! Kau tidak tahu tentang apa itu telepati?" Rana mengingatnya, tentang perkataan River. Wanita yang menampilkan ekspresi terkejut ini memang tidak mencurigakan, tetapi dia masih belum tahu banyak tentang Stardust dan belum dapat memilah orang-orang yang patut dicurigai. Oleh karena itu, lebih baik dia tetap mendengarkan River demi keamanan diri. "Oh, ah ... telepati! Aku tahu itu, daya seseorang untuk berkomunikasi dengan orang lain yang jauh jaraknya. Benar, bukan?" Sesungguhnya Rana tidak benar-benar tahu. Dia hanya tidak sengaja melihatnya dalam buku, kebetulan sekali dapat membantunya di situasi seperti sekarang. "Itu benar. Kau dapat menyimpan frekuensi seseorang agar dapat berkomunikasi, seperti yang aku lakukan sekarang," ucap wanita asing, lalu berusaha menjangkau kepala Rana dengan dua jemari. Rana segera mundur ke belakang, melindungi keamanan diri. Dia bukan robot dan sudah pasti frekuensi yang dimaksud tidak ada. Justru sikap itu membuat wanita asing berekspresi heran. "Maaf. Saya terburu-buru, nanti saya akan meminta pelayan untuk mengantarkan minuman pada Anda." Rana bergegas pergi dari sana, langsung mengatakan situasi di luar pada pelayan agar wanita tadi diberikan minuman. Lalu, dia duduk di salah satu kursi bar sambil melihat-lihat sekeliling, masih belum ditemukannya keberadaan River. Dia sudah ketinggalan sangat jauh. "Anda memesan minuman, Nona?" Rana melihat penampilan normal dari seorang pria yang memiliki kepala plontos. Ternyata masih ada kenormalan di dunia Stardust, pria tampan. Jelas doa terpesona pada pandangan pertama. "Apa Anda mendengarkan saya, Nona?" Rana menganggukkan kepala seperti terhipnotis. Dia segera membelalakkan mata ketika berusaha untuk menyadarkan diri. Tidak boleh, dia tidak boleh terlena karena tujuannya akan terlupakan nanti. "Oh, apa saja." "Kalau begitu, akan saya sajikan yang istimewa di tempat kami."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD