Baper

1162 Words
Kencan pertama boleh dibilang sukses, walaupun tidak sukses-sukses banget. Setidaknya Fikri dapat berkencan dengan dosennya walaupun dipenuhi aura kemarahan. Mau bagaimana lagi, memang itu salahnya. Carlina yang dari tadi marah mulai bingung dengan perubahan sikap Fikri. Pasalnya, mahasiswanya itu mulai tidak bersuara sejak pulang dari warung makan. Fikri lebih banyak diam dan memandangi Carlina diam-diam. Seolah ada yang salah dari diri mahasiswanya. Carlina sangat ingin menanyakan hal itu, tetapi dirinya juga gengsi. Dia takut kalau Fikri semakin ge-er kalau Carlina peduli dengannya, padahal memang benar. Batin Carlina protes, siapa yang tidak peduli dengan mahasiswanya sendiri? Hari ini cukup melelahkan bagi dosen berumur 28 tahun itu. Dia sudah lelah menghadapi sikap Fikri yang dominan membuatnya jengkel seharian, ditambah tingkahnya yang konyol membuat seluruh dosen sekarang menaruh curiga. Beruntung esok hari libur, Carlina bisa mengistirahatkan dirinya sejenak. “Nanti kamu pulang bagaimana?” tanya Carlina dengan nada jutek. Beberapa saat kemudian, tangannya menutup mulut dengan menampilkan wajah terkejut. Dia salah bicara. “Tumben perhatian sama saya, Bu.” Tertangkap basah, Carlina harus segera mengelaknya. “Saya antar sampai kontrakan kamu saja. Nanti saya yang pulang sendiri ke rumah,” balas Carlina yang mencoba mengalihkan pembicaraan. Fikri tidak menyahut. Dia terus fokus pada jalanan di depannya sambil tersenyum. Seolah omongan Carlina yang tadi tidak harus dijawab olehnya. “Fikri jawab omongan saya!” tegur Carlina seraya menggoyang-goyangkan tubuh Fikri. “Bu saya lagi nyetir. Bahaya kalau digoyang-goyang,” sahut Fikri. “Ya kamu diem aja. Kenapa nggak jawab omongan saya, sih? Padahal tadi banyak omong,” kata Carlina tidak mau kalah. Dalam hatinya Fikri bersorak, niatnya untuk menjahili dosennya berhasil sudah. Namun, senyum miring di wajahnya begitu jelas dan membuat Carlina curiga. “Kamu kenapa? Kalau kamu nggak suka ya sudah cepet bawa mobilnya, nanti kita nggak ketemu lagi jadinya,” ucap Carlina. Hal itu membuat Fikri membelalakkan matanya. Dia terkejut, apa maksudnya Carlina bicara seperti itu? “Ibu kenapa ngomongnya makin aneh aja, ya? Siapa yang bilang nggak suka?” protes Fikri dengan wajah sengit. Sekarang pria itu menoleh dan tersenyum. “Tadi Ibu yang nyuruh saya diem sampai di rumah. Inget nggak?” Sebelumnya saat di warung bebek penyet .... “Habis ini mau main ke mana, Bu?” tanya Fikri setelah menenggak habis minumannya. Carlina yang diam dari tadi seolah tembok yang sulit dijebol. Fikri hampir gila karena kehilangan topik pembicaraan. Namun, pria itu tidak berhenti juga mengajak bicara Carlina. Bukannya menjawab pertanyaan Fikri, Carlina justru berdiri dan menyampirkan tas yang dia bawa ke bahu. Setelah itu di berjalan terburu-buru, meniggalkan Fikri yang masih diam untuk memahami kejadian tadi. “Bu Alin tungguin saya!” Fikri pun berlari mengejar Carlina. Sesampainya di dekat mobil, Fikri melihat Carlina sudah membuka pintu dan hendak memasukinya. Namun, tangan Fikri dengan sigap menahan sehingga pintu itu tertutup kembali. “Ibu mau ke mana?” tanya Fikri. Carlina mendengkus sebelum menjawabnya. “Saya mau pulang. Apa lagi yang akan saya lakukan selain itu?” Mendengar jawaban itu membuat Fikri tertawa kecil. Seandainya Carlina adalah pacarnya, mungkin Fikri akan langsung mencubit kedua pipi Carlina saking gemasnya. “Ya kalau mau pulang itu bilang, jangan lari gitu aja. Emangnya Ibu nggak mau pergi sama saya dulu?” Carlina memekik dalam batinnya, apa anak ini tidak berpikir kalau dari tadi dia sedang pergi denganku? “Saya mau pulang sekarang.” Fikri menyanggupinya. Dia mengangguk dan membukakan pintu untuk Carlina. Setelah keduanya masuk ke dalam mobil, Carlina langsung menoleh dan menatapnya dengan tajam. “Tidak ada obrolan, tidak ada pertanyaan, dan tidak ada gombalan! Jangan banyak omong! Saya nggak mau denger suara kamu lagi.” “Inget sekarang?” Lagi-lagi Carlina mengutuk dirinya yang sudah lupa. Dia sendiri yang menyuruh Fikri untuk diam, dia juga yang penasaran kenapa pria di sampingnya terus diam. “Terus saya harus apa lagi sekarang, Bu?” tanya Fikri. Mobil sudah berhenti di depan gerbang rumah Carlina. Perempuan itu mengedarkan pandangan mata, seolah kikuk dengan keadaan. “Saya buka gerbangnya dulu, deh.” Setelah Fikri keluar dari mobil untuk membuka gerbang, Carlina buru-buru pindah posisi di balik setir kemudi mobil. Kemudian ketika gerbang sudah terbuka lebar, Carlina langsung menginjak pedal gas. “Astaga!” pekik Fikri. Dia seperti ingin tertabrak tadi. Dia menahan tawanya. Perempuan itu keluar dari mobil dengan membawa tas milik Fikri. Wajahnya sangat cemberut, membuat Fikri hampir saja tertawa melihatnya. “Ini tas kamu,” kata Carlina seraya menyodorkan tas untuk Fikri. Pria itu berjalan mendekat dengan senyumnya. “Untung saya tadi nggak ketabrak, Bu.” “Bagus lah kalau ketabrak,” kata Carlina yang mengalihkan pandangan. “Nanti kalau saya tewas, Ibu bakalan nyesel.” “Untuk apa saya nyesel? Cepat ambil tas ini dan pergi!” “Iya dong nyesel. Ibu nggak akan dapetin calon suami yang seperti saya,” kata Fikri membalasnya. “Nggak dapet juga lebih bagus. Sekarang ambil tas kamu dan pergi dari sini!” titah Carlina. Fikri sedikit ragu untuk mengambilnya. Dia masih mau berada di dekat Carlina. Dia masih mau memastikan kalau Carlina berhasil sampai di tempat tidur dan memejamkan matanya. Walaupun Carlina pasti bisa memastikan dirinya sendiri, tetap saja Fikri mau memastikan itu. Dia mau menjadi satu-satunya pria yang dilihat terakhir ketika Carlina memejamkan mata dan satu-satunya pria yang dilihar pertama ketika Carlina membuka mata. Sebentar lagi, Fik. Lu akan merasakan hal yang lu bayangin, batin Fikri. “Yakin mau saya pergi?” tanya Fikri memastikan. Senyumnya tidak luntur sama sekali. Andaikan Carlina dapat terperdaya oleh senyumannya, sudah pasti telah jatuh dalam pesona Fikri. Sayangnya, Carlina bukan perempuan yang seperti itu. “Cepat ambil!” kata Carlina. Fikri pun mengambil tasnya dengan raut wajah kecewa. Tangannya terangkat dan berhasil menyentuh puncak kepala Carlina. “Saya pulang dulu ya, Bu Alin. Jangan kangen sama calon suami! Malam ini mimpi yang indah, maafin kesalahan Fikri hari ini, ya?” Carlina terdiam mendapat perlakuan begitu oleh Fikri. Lidahnya kelu, sangat sulit untuk mengeluarkan kata-kata. Jangankan lidah, pikirannya saja tiba-tiba kosong. Bahkan matanya sulit berpindah dari titik yang tadi dia tatap. Fikri bersikap lembut padanya. Bukan, ini pertama kali seorang pria bersikap selembut itu pada dirinya. Carlina sangat terkejut. Sampai getaran di ponselnya terasa, Carlina baru mengejapkan mata berkali-kali. “Apa yang dia lakuin tadi?” tanya Carlina sedikit berbisik. Perempuan itu menyentuh bagian kepalanya yang tadi disentuh. Dia elus bagian itu, seolah mencari kenyamanan yang sama seperti saat Fikri mengelusnya tadi. “Sangat berbeda ....” Perempuan itu masih mengabaikan telepon yang masuk. Dia kembali menyentuh bagian tangan yang tadi sempat digenggam saat di warung. Tidak ada yang memar, tidak ada yang terluka. Perempuan itu mencoba menggenggamnya dengan tangan sendiri. “Sangat berbeda .... Mengapa justru lebih nyaman disentuh dia?” Getaran kedua dari panggilan di ponselnya baru menyadarkan Carlina. Perempuan itu pun melihat layarnya. Tanpa buang waktu lagi, dia pun mengangkat panggilan itu. “Kak Alin di mana? Aku udah di Jakarta,” tanya orang di telepon. “Aku mau tidur di tempat kamu malam ini. Besok aku akan pulang. Sebentar lagi aku ke sana.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD