First Date

1940 Words
Setelah tragedi yang sengaja dibuat oleh Fikri, masakan buatan Carlina akhirya tidak bisa dimakan. Carlina pun sangat marah pada dirinya sendiri. Bukan karena dia sangat malas pergi makan di luar, melainkan dia malu karena masakan buatannya tidak enak. “Kenapa bisa keasinan ya nasi gorengnya? Padahal saya sudah coba sebelumnya dan rasanya pas.” Carlina masih saja mengungkit masalah nasi goreng. Mereka berdua sudah berada di dalam mobil, sedang dalam perjalanan ke arah kampus lagi. Dari tadi Fikri tidak henti-hentinya tersenyum menahan tawa. “Ya mungkin tadi Ibu lupa masukin garam lagi ke masakannya,” kata Fikri. “Tidak mungkin! Saya ingat waktu sebelum keluar bertemu tamu, nasi gorengnya sudah enak,” sahut Carlina. “Ya tapi tadi rasanya asin, Bu. Masa lidah saya salah ngerasainnya? Apa jangan-jangan Ibu tadi ngerasainnya salah kali waktu belum ketemu tamu,” kata Fikri. “Saya yakin sekali kalau nasi goreng yang tadi udah enak dan udah pas rasanya. Nasi gorengnya nggak terlalu pedas dan nggak keasinan juga. Orang saya sudah pastiin itu,” jawab Carlina yang tidak mau kalah. “Ya terus saya harus gimana, Bu? Ibu juga tadi udah ngerasain sediri kalau nasi gorengnya keasinan, kan? Apa jangan-jangan Ibu ....” Fikri menghentikan pembicaraan sambil melirik Carlina dari samping. Mendapatkan omongan Fikri yang menggantung, Carlina langsung menatapnya dengan sengit. “Apa? Jangan-jangan apa? Jangan-jangan saya nggak bisa masak itu maksud kamu?” Fikri menggelengkan kepala, berusaha meredam emosi Carlina. “Siapa yang bilang Ibu nggak bisa masak? Saya nggak bilang itu, justru Ibu sendiri yang bilang sendiri.” “Ya tapi omongan kamu seolah-olah bilang kalau saya itu nggak bisa masak, Fikri!” balas Carlina. “Tadi saya sebenernya mau bilang kalau mungkin Ibu udah mati rasa asin lidahnya. Kenapa Ibu masih negatif mulu pikirannya sama saya, sih? Saya ini calon suami Ibu, kenapa masih nggak percaya, sih?” Yang ditanya malah jadi diam sekarang. Carlina sudah malas jika membicarakan masalah hubungan itu. Hal yang dia pendam dari tadi rasanya ingin sekali meledak, apalagi dia sedang naik darah juga. “Sudah kami diam dan jangan banyak bicara! Sekarang terus jalan! Saya sudah semakin lapar,” kata Carlina. Fikri pun menurut. Tidak mungkin dia membantah ucapan calon istrinya saat sedang marah. “Tapi kamu nggak masalah kalau punya istri nggak bisa masak?” tanya Carlina tiba-tiba. Mendapat pertanyaan itu membuat Fikri menoleh walaupun sedang menyetir. Dia sedikit terkejut dan hampir tertawa. Untung saja dia masih bisa menahannya. “Apa maksud Ibu ngomong gitu?” “Hah? Eeeeh .... Anu .... Tidak jadi. Lupakan pertanyaan saya yang tadi,” kata Carlina sambil terbata-bata. Di dalam hati Fikri bersorak gembira. Yang Carlina tanyakan tadi memang agak sedikit lucu, mengingat dosennya itu terus saja menolak pernikahan mereka. Bahkan sampai sekarang, mereka belum ada kepastian akan menikah atau tidak. “Maksud Ibu kalau dapet calon istri yang nggak bisa masak nanti, apa saya mau terima calon istri itu?” tanya Fikri dengan nada yang lembut. “Emangnya Ibu nggak bisa masak?” “Ya kalau inget tadi nasi gorengnya keasinan.” Carlina terbelalak menyadari jawabannya tadi. “Maksud saya ... ya begitu maksudnya. Gimana kalau kamu dapet calon istri yang nggak bisa masak? Bukan saya maksudnya, saya bukan calon istri kamu, kan.” “Ibu calon istri saya.” “Saya bukan calon istri kamu!” “Ya udah calon Ibu dari anak-anak kita nanti aja kalau begitu.” Carlina terdiam mendengarnya. Mendengar jawaban itu membuat Carlina memikirkan kembali pertanyaan-pertanyaan yang dahulu dia pikirkan. Bagaimana kalau nanti menikah dan punya anak? Apa aku bisa membesarkan anak dengan akhlak yang bagus juga? Bagaimana kalau nanti anakku akan membantah setiap omongan aku dan suami? Apa aku akan marah dan membuatnya tertekan? Apa jangan-jangan aku akan memanjakan anakku dan dia akan tumbuh menjadi anak yang manja? Kalau begitu, aku akan menjadi Ibu yang jahat karena tidak mendidik moral dan akhlak anaknya. Apa aku bisa mendidik anakku menjadi pribadi yang baik? “IBUUUU!” pekik Fikri nyaring. Carlina sampai terlonjak kaget mendengarnya. Dia memukul lengan Fikri yang memegang persneling dengan pelan. “Kamu ini kenapa buat kaget saya saja, sih? Apa tidak bisa manggilnya pelan-pelan? Saya masih punya kuping dan tidak tuli!” protes Carlina. Oke, Fikri salah lagi di mata Carlina. “Padahal saya udah manggil Ibu pelan-pelan dari tadi. Ibu malah diem aja, kayak nggak denger saya ngomong. Makanya saya tadi sedikit teriak.” “Oh.” Fikri tertawa pelan. Dalam hatinya dia merasakan perasaan yang sama seperti teman-temannya, perasaan di mana laki-laki selalu salah dan perempuan sering benar. “Kita udah sampai di warung pinggir jalannya. Ibu masih mau di dalam mobil aja?” tanya Fikri. Pandangan Carlina mengedar melihat sekeliling di depan mobil. Dia tidak melihat ada warung bebek penyet. Justru Carlina hanya melihat jalanan dan warung sate maranggi. “Yang mana warungnya, Fik?” tanya Carlina dengan nada sewot. Dia pun menoleh dengan tatapan kesal. “Kamu ngebohongin saya, ya? Jangan macam-macam sama saya, Fikri! Jangan pernah bohongin saya!” Pria yang duduk di belakang stir mobil pun mengelus-elus dadanya. Sepertinya dia baru mengetahui sikap Carlina yang sebenarnya. Tukang marah dan tukang sewot. Padahal jika di kampus, Carlina terlihat anggun dan tegas. Fikri pun menunjuk kaca di belakang. “Warungnya di belakang kita, Bu. Kalau kita berhenti di depan warung persis, yang ada pemiliknya marah. Kita bisa disangka nutup rezeki orang.” Sejujurnya, baru kali ini Carlina makan di pinggiran jalan. Dia tidak biasa di kerumunan orang. Biasanya dia akan masak sendiri walaupun bersama keluarga. “Oh begitu? Ya ayo kita ke sana. Saya sudah lapar.” Carlina langsung meninggalkan Fikri di dalam mobil sendirian. “Kenapa Bu Alin jadi banyak ngomong, ya?” tanya Fikri pada dirinya sendiri. Dia mematikan mesin mobil dan mengerem tangan mobil sebelum keluar. Fikri pun berjalan menghampiri Carlina yang sedang berdiri dengan mata yang memicing. Sebenaarnya Fikri sudah kehabisan kata, mengapa dosennya sangat berbeda malam ini? Seolah-olah emosinya sulit diredam. Tanpa membuang waktu lagi, Fikri menggandeng tangan Carlina agar cepat masuk ke warung pinggir jalan yang hanya beratapkan terpal. “Lepasin tangan saya!” Carlina berusaha melepaskan tangannya yang dipegang oleh Fikri. Sambil berjalan Fikri tidak membalas ucapan Carlina. “Lepasin tangan saya, Fikri!” bisik Carlina yang semakin geram. Sesampainya di depan penjual, Fikri menundukkan kepala sehingga bisa membisikkan di telinga Carlina. “Ibu nggak boleh jauh-jauh dari saya, nanti kalau Ibu hilang, saya sedih.” Carlina pun memutar bola matanya dan bersikap seolah-olah ingin muntah. “Gombal banget. Saya tidak mempan sama gombalan seperti itu.” “Siapa yang lagi ngegombal? Tadi itu bener, kalau Ibu hilang, saya bisa sedih.” “Ya lagi pula siapa yang hilang? Masa saya hilang,” balas Carlina. “Ya maksudnya .... Kita duduk aja, deh, Bu. Habis itu kita makan. Siapa tahu Ibu jadi agak diem kalau habis makan.” Mereka berdua pun duduk di salah satu meja yang masih kosong. Namun, masih ada sisa piring kotor dari pelanggan sebelumnya. Tangan Fikri melambai memanggil penjualnya. “Pak Rendro!” Orang yang dipanggil menoleh ke belakang dan tersenym. “Eh, Mas Fikri! Sebentar, Mas.” Dia berjalan menghampiri. “Kalian sudah saling kenal?” tanya Carlina. “Ya sedikit kenal, sih. Nggak terlalu kenal banget. Kenapa?” Carlina pun menggeleng. “Tidak ada apa-apa.” “Ada keperluan apa ke sini, Mas?” tanya Pak Rendro. “Saya mau pesan satu porsi bebek penyet, yang satunya digoreng aja nggak dikasih sambel,” kata Fikri. “Siap, Mas.” Setelah Pak Rendro pergi, mata Carlina memicing menatap Fikri. “Ternyata kamu nggak suka pedes, ya?” tanya Carlina. “Suka, Bu. Cuma nggak terlalu suka banget. Kalau saya sukanya Ibu,” kata Fikri dengan bibir tersenyum. “Suka banget malah,” bisik Fikri. Perempuan itu mengalihkan pandangannya ke ponsel. Dari tadi dia belum membuka pesan masuk, sekarang waktunya dia membalas pesan dari beberapa rekan dosen yang menanyakan terkait insiden sore di kampus. “Ibu suka makan pedas, ya?” tanya Fikri. Pertanyaan itu diabaikan. Carlina sibuk berkutat dengan pikirannya yang enggan membalas pertanyaan rekan dosen lain. “Seperti tidak ada pekerjaan saja. Malam-malam nanyain hubungan saya,” kata Carlina sedikit berbisik. Sayangnya, Fikri mendengar perkataan itu walaupun samar-samar. Dia sadar kalau perkataannya tadi sore membuat Carlina tidak nyaman. “Ibu marah sama saya gara-gara insiden sore ini?” Carlina langsung menatap Fikri. Dia mematikan layar ponsel dan meletakannya di atas meja. “Iya. Gara-gara kamu teriak, semua rekan dosen di ruangan samping itu dengar. Terus ada salah satu dosen yang cerita ke temennya. Sekarang saya jadi orang yang dikejar-kejar sama mereka buat ditanya. Kamu ini kalau ngomong jangan sembarangan!” “Kan memang saya calon suami Ibu,” kata Fikri. “Saya belum terima perjodohan itu!” protes Carlina. “Jangan bicarakan masalah itu dengan saya lagi! Saya sudah muak mendengarnya.” Mau tidak mau, suka tidak suka, Fikri pun mengalah. Dia mengurungkan niatnya untuk membicarakan masalah kemarin. Padahal dia sengaja memancing obrolan tentang pernikahan mereka. “Ini makannya, Mas.” Orang yang dipanggil Rendro tadi meletakkan dua porsi makanan untuk Carlina dan Fikri. “Terima kasih, Pak,” kata Fikri. Fikri mengambilkan peralatan masak untuk Carlina. Satu harapannya di bulan ini sudah terkabul. Tidak, bukan harapan di bulan ini, melainkan harapannya setelah kemarin malam. “Makananya enak, Bu?” tanya Fikri pada Carlina. Sambil menyendok makanan, Carlina melirik Fikri dengan sinis. Aura kemarahan tidak henti-hentinya keluar dari wajah Carlina. Padahal Fikri sudah mengalah untuk meminta maaf. “Kalau nggak enak kita pindah warung aja, Bu.” Perkataan itu membuat Carlina naik darah. Dia menggebrak meja dengan sendok dan garpu di masing-masing genggaman tangannya. “Kamu ini nggak ngerti perasaan orang lain, ya? Kalau kita pergi setelah makanan dihidangkan, sama saja kita seperti orang yang tidak menghargai masakan buatan dia.” “Ya ... justru saya peduli sama perasaan Ibu. Kalau gara-gara makanan ini Ibu jadi nggak seneng, lebih baik kita pergi,” kata Fikri. Carlina menunjuk Fikri dengan garpunya. “Saya nggak seneng karena kamu buat saya malu hari ini. Apa kamu nggak paham juga apa yang saya omongin tadi?” Fikri pun terdiam. Dia menyentuh lengan kiri Carlina yang sedang memegang garpu. Dia turunkan tangan itu agar garpu di tangannya tidak mengarah ke arahnya. “Nggak baik ngancem begitu sama calon suami.” “Lepasin tangan saya!” pekik Carlina sambil menampik genggaman tangan Fikri. Fikri benar-benar bingung menghadapi Carlina. Sebab sejujurnya, baru kali ini Fikri menghadapi dosennya yang sangat temperamental. Sering marah, sering melotot, bahkan sering berteriak. Padahal biasanya Carlina adalah perempuan yang tegas, sabar, dan tidak pernah berbicara keras. “Ibu hari ini lagi datang bulan, ya?” tanya Fikri dengan asal. “Terserah kamu mau bilang apa. pokoknya sekarang makan terus kita pulang!” Fikri terus menatap Carlina yang melahap makanannya. Ada satu bagian hatinya yang bersorak ketika melihat pemandangan di depannya. Pemandangan dosennya yang baru kali ini dia dapatkan. “Bu Alin kalau lagi ngambek malah makin manis,” kata Fikri. Pria itu berhenti menyuap nasi ke dalam mulutnya. Dia terus memandangi Carlina dengan senyuman yang terpatri di wajahnya. “Tidak perlu gombal!” sahut Carlina seolah abai. Fikri justru semakin menggoda dosennya. “Ini yang buat saya nggak bisa nolak. Ibu manis banget, sih. Saya nggak bisa nolak pernikahan itu jadinya, Bu.” Ucapan Fikri tidak dijawab oleh Carlina. Perempuan itu masih asyik menyantap makanan di depannya tanpa memedulikan Fikri. Padahal di hatinya dia sangat geram karena Fikri dari tadi tidak bisa berhenti menggodanya. “Kita nikah, yuk, Bu!” Baru Carlina menoleh, menatap Fikri dengan mata yang membulat. “Sudah gila kamu?” “Ya saya gila karena Ibu. Pokoknya malam ini saya mau telepon Om Irwan kalau saya akan menikahi anaknya secepat mungkin.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD