Adik

1212 Words
Setelah mengemas beberapa pakaian yang akan dia bawa, Carlina langsung menuju rumah orang yang tadi dia ajak bicara di telepon. Pikirannya sudah kacau, dia tidak mau tambah kacau lagi dengan sendirian di rumah dan membuat dirinya bisa berpikiran yang macam-macam. Dia sudah tiba di depan tiga rumah kontrakan yang berjejer rapi. Setelah mengembuskan napas panjangnya, Carlina langsung berjalan menuju kontrakan di pintu tengah. Dia ketuk pintu itu sampai sang empunya keluar. Tok! Tok! Tok! “Sebentar!” pekik orang yang tinggal di kontrakan itu. Terdengar suara tapak kaki dari dalam rumah kontrakan. Carlina menunggunya dengan sambil menyilangkan tangan di depan d**a. Setelah itu, pintu pun terbuka dan menampilkan sosok perempuan berjilbab rapi. Senyumnya mengembang kala melihat wajah Carlina. “Kak Alin?” Perempuan itu langsung melompat dan memeluk Carlina. Dia mengusap punggung Carlina sambil membisikkan kata. “Ratih kangen banget sama Kakak.” “Kakak juga kangen sama kamu.” Carlina melepas pelukannya dan menatap Ratih. “Kenapa nggak bilang kalau sudah pindah ke sini? Siapa yang bantu kamu pindahan?” “Bukan nggak mau bilang, tapi Ayah yang suruh untuk diem-diem aja. Lagian tenang aja. Semua peralatan yang ada di sini itu baru semua. Jadi Ratih nggak pindahan secara kasar yang mindah-mindahin barang dan yang bantu bawa barang itu juga kurir paketnya aja,” jawab Ratih. Resti Suratih adalah adik dari Carlina. Anak bungsu dari pasangan Irwan dan Rini. Namanya memang terkesan mirip dengan Resti, teman dosen Alin. Makanya Alin sering meminta untuk memanggilnya Ratih. Walau kadang Alin juga lupa dan terus memangggilnya Resti. Sudah setahun yang lalu Ratih tinggal di Yogyakarta untuk menyelesaikan pendidikannya. Sekarang dia sudah lulus sarjana dan menetap di Jakarta. Sayangnya, Ratih tidak mau tinggal di rumah orang tuanya, karena dia mau berusaha hidup mandiri sebelum menjadi istri orang. “Oh begitu? Ya sudah kalau begitu. Kamu kenapa ninggalin Ibu sama Ayah di rumah? Terus siapa yang nemenin mereka kalau kamu di sini?” tanya Carlina. Tidak mau banyak bicara, Ratih langsung menarik lengan Carlina untuk masuk ke dalam kontrakan. Tidak etis kalau bicara di depan rumah menurut Ratih. “Malem-malem kok ngobrol di depan, sih? Harusnya kita masuk dulu terus kita ngobrol di dalem aja,” kata Ratih. Carlina mendengkus kasar napasnya. “Ya kamu tidak suruh Kakak untuk masuk. Bagaimana kita mau ngobrol di dalam?” tanya Balik Carlina. "Kontrakan kamu kecil seperti ini. Memangnya cukup untuk kamu tinggal?" Ratih mengembuskan napas dan tersenyum. Dia sudah lupa bagaimana rasanya berdebat dengan kakaknya sendiri. Mulai malam ini, dia akan merasakannya. “Ya dicukup-cukupin aja. Lagian Ratih juga sendirian tinggal di sini nggak sama orang lain. Ratih udah pernah bilang sama Kakak sejak lama kalau nanti setelah lulus, Ratih mau tinggal sendiri dulu. Terus dari tadi pagi Ratih juga udah ngasih pesen ke Kakak kalau Ratih mau ngontrak di sekitar rumah Kakak. Tadinya juga Ratih mau minta cariin kontrakan, tapi kayaknya jarang banget megang HP, ya?” tanya Ratih. Mereka berdua sekarang sudah duduk di ruang tamu yang beralasan karpet beludur. Carlina langsung mengedarkan pandangan dan menatap ruangan dengan lekat. “Tatapannya biasa aja kali,” kata Ratih. “Kamu ngontrak di sini bayar berapa? Kenapa nggak tinggal di rumah Kakak aja, sih?” tanya Carlina. Ratih menggelengkan kepalanya. “Sebentar biar Ratih buatin minuman dulu.” Carlina ditinggal sendirian sementara Ratih membuat minuman di dalam. Hal itu membuat Carlina memanfaatkan waktu untuk membuka aplikasi chatting. Sialnya, dia harus melihat pesan dari orang yang membuatnya marah hari ini. +6282xxxxxxxxxx Bu Alin besok ada waktu? Kita pergi, yuk Membacanya saja membuat Carlina muak. Dia pun langsung menutup layar aplikasi bahkan ponselnya. Bertepatan setelah itu, Ratih keluar sambil membawa nampan yang di atasnya sudah siap minuman hangat. "Ratih ngontrak bayar delapan ratus ribu aja sebulan. Ratih juga udah bayar untuk tiga bulan. Jadi Kakak tenang aja, nggak usah mikirin biaya hidup Ratih. Ratih udah bilang sama Ayah kalau Ratih mau tinggal sendiri dulu. Nanti setelah Ratih berhasil survive sendiri dan berhasil mengurus diri sendiri tanpa bantuan uang keluarga, baru Ratih pulang,” kata Ratih. Carlina langsung membalasnya dengan tatapan tidak mengerti. “Kamu ini lupa kalau dulu Ayah pernah bilang ke kamu tentang rumah? Bahkan setelah kamu nikah, kamu yang akan tinggal di rumah itu dan mengurus Ayah sama Ibu.” Ratih pun tersenyum tulus. Tangannya menjulur, menggapai tangan Carlina yang berada di lutut. Dia elus punggung tangannya sambil berkata, “Ratih nggak akan pernah lupa sama omongan Ayah. Ratih merasa tinggal di Yogya dengan bantuan uang Kakak dan Ayah itu bukan termasuk mandiri. Ratih mau coba cari uang sendiri, mau coba urus keuangan sendiri ... ya intinya Ratih mau coba survive sendiri. Setelah itu nanti Ratih akan pulang.” “Ya terus nanti yang kamu maksud itu kapan terjadi? Apa sepuluh tahun ke depan? Terus Ayah sama Ibu siapa yang jaga dan mengurusnya? Emangnya kamu sudah yakin kapan kamu merasa bisa mandiri?” tanya Carlina yang mulai sewot. “Berharap aja nggak ada masalah sama Ratih, jadi mungkin dua tahun lagi Ratih akan pulang. Sekarang jangan bahas Ratih karena Ayah dan Ibu sudah setuju. Sekarang kita bahas Kakak aja. Sebenarnya apa yang terjadi?” Carlina paham ke mana arah pembicaraan adiknya. Tidak mungkin ibunya tidak berbicara panjang lebar kepada Ratih. Pasti Ratih sudah tahu dari ibunya. “Emang bener kalau Kakak kepergok mau begituan sama cowok?” tanya Ratih langsung to the point. “Enak aja kalau ngomong!” protes Carlina. “Itu nggak bener terjadi dan nggak ada yang bener sama sekali cerita Ayah dan Ibu. Malam ini Kakak mau ceritain semuanya dan malam ini juga Kakak butuh advice dari kamu,” jawab Carlina. "Terus gimana ceritanya? Ratih mau dengar, nih." Carlina mengambil napas panjang untuk bercerita. "Kakak itu punya mahasiswa yang namanya Fikri." "Jadi Kakak falling in love sama mahasiswa Kakak sendiri?" tanya Ratih mencelak omongannya Carlina. "Ya secara teknis iya. Namun secara hati, Kakak belum cinta sama dia." "Jadi Kakak suatu saat akan cinta sama dia?" tanya Ratih yang semakin penasaran. Helaan napas panjangnya menandakan kalau dia tidak mau membahas hal itu. Namun, dia memang harus meluruskan hal itu. "Kakak belum tau, Tih." "Dia itu seneng banget buat Kakak marah. Entah dia yang suka sama Kakak atau apa, Kakak nggak tahu, Tih. Yang jelas dia itu seneng banget jahilin Kakak. Dia bahkan punya nyanyian sendiri buat Kakak. Dia sering banget nyanyi dosen cantik siapa yang punya gitu pakai lagunya nona manis siapa yang punya, Tih!" "Eh serius, Kak? Aduh, kok jadi so sweet begitu, sih?" tanya Ratih. Dia tersenyum menggoda kakaknya sendiri. "Terus tragedi itu bagaimana?" "Tragedi itu waktu malem-malem. Kakak juga tidak tahu dia dateng dari mana. Yang jelas tiba-tiba dia sampai di balkon rumah Kakak, terus dia masuk ke kamar." "Lah, masuk ke kamar bagaimana? Dia ngapain di kamar Kakak?" tanya Ratih. "Dia bilang katanya lagi dikejar sama orang-orang kampung. Terus dia nekep mulut Kakak biar tidak teriak. Terus sialnya, ada Ayah yang ternyata masuk ke kamar. Kakak juga tidak mengerti kenapa Ayah bisa sampai masuk rumah tapi Kakak tidak sadar, Tih." "Oh, jadi setelah itu kalian kepergok dan kalian dipaksa menikah karena insiden itu?" "Ya. Malam ini Kakak mau berbicara sama kamu dan Kakak mau minta advice juga. Kakak mau ada kepastian untuk pernikahan. Kakak tidak mau lagi buat yang lain nunggu. Kakak mau besok sudah ada keputusan." "Oke, mari kita bicarakan."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD