Kejahilan Fikri

1869 Words
Halo semuanya! Terima kasih sudah membaca sampai part ini. Tinggalkan jejak dengan komen dan tap love ya. Selamat membaca ^^ *** Selama perjalanan pulang ke rumah Carlina, perempuan itu tidak pernah menanggapi apa yang Fikri katakan. Apalagi sejak Fikri berkata kalau dirinya tidak pernah berbicara panjang lebar kepada siapa pun dan hanya untuk Fikri saja dia begitu. Dalam hatinya Carlina mendengkus, ada apa dengan diriku sebenarnya? Apa yang sebenarnya terjadi? Benar juga kata Fikri, aku tidak pernah berbicara panjang pada siapa pun, bahkan dengan Resti saja aku tidak terlalu banyak bicara, kecuali Resti melakukan kesalahan. Mengapa aku justru bawel jika dengan Fikri? Namun, semuanya sudah terjadi dan Fikri sudah mengetahuinya. Dia tidak bisa lagi mengubah hal itu. Carlina juga tidak bisa mengelak lagi dari Fikri yang menyimpulkan kalau dirinya berbeda jika berhadapan dengannya. “Bu Alin kenapa diem aja?” tanya Fikri. Pria itu menoleh dengan tatapan mata yang menyejukkan hati. Tenang dan bibir tersenyum. “ Carlina sempat menolehkan wajah menghadap pria di sampingnya. Dia terenyuh, Fikri menatapnya dengan lembut. Lama-lama senyuman di bibir Fikri berubah menjadi tawa kecil. “Ada apa, Bu? Kenapa ngeliat saya sampai segitunya?” tanya Fikri lagi. Carlina menggumam keras sambil membenarkan tampilannya. Dia menatap sekitar yang sudah tiba di pekarangan rumah. Dalam hatinya dia mengutuk diri sendiri, selama apa aku melamun sampai tiba-tiba sudah sampai di depanrumah? “Tidak ada apa-apa,” jawab Carlina seperlunya. Perempuan itu membuka pintu mobil dan meninggalkan Fikri di mobil sendirian. Pria itu tersenyum memandang dosennya yang jalan dengan tergesa-gesa lantaran menahan malu. Lagi-lagi dia berpikir, ada apa dengan dirinya? Fikri tidak pernah merasa sesenang ini bahkan pada mantan pacarnya. “Apa iya gua cinta sama dosen sendiri?” gumamnya yang diakhiri dengan tawa kecil. “Padahal dulu cuma mau buat dia marah dan ngambek doang. Sekarang malah naksir beneran. Kalau gua tinggalin dia sekarang, apa dia bakal ngejar gua?” Setelah itu Fikri pergi menyusul Carlina yang sudah terlebih dahulu masuk ke dalam rumah. Pria itu langsung mengikuti Carlina bahkan sampai hendak naik ke lantai dua, kamarnya Carlina. Dengan telunjuk yang mengarah ke mata Fikri, Carlina menegurnya. “Tunggu saya di ruang tamu! Saya mau bersih-bersih.” Fikri menggenggam pelan tangan Carlina dan menurunkannya. “Oke, calon istri. Calon suami tunggu di ruang tamu, ya?” Carlina langsung menarik tangannya dan pergi dengan tergesa-gesa. Dia memang sudah sangat ingin pergi jauh dari Fikri sejak di kampus tadi. Sayangnya, Fikri tidak pernah mengizinkannya untuk pergi. Ralat, Fikri terlalu senang berada di dekatnya. “Nanti kalau udah sah boleh ke kamar berdua, kan?” teriak Fikri dari lantai bawah. Sadar dengan ucapannya, Fikri pun tertawa geli. “Gua apa-apaa, sih? Kenapa sampai sebegitunya?” Tidak lama kemudian Carlina sudah turun dengan pakaian rumahan yang dia kenakan. Piyama berwarna abu dengan rambut yang dia tahan dengan bando. Kaca matanya yang indah masih saja menggantung. “Bawa belanjaan saya ke dapur!” titah Carlina. “Siap, Bos!” Fikri memeragakan seperti orang yang menghormati tuannya. Dia pun mengangkat barang belanjaan yang tadi mereka beli di supermarket. Sesampainya di dapur, Fikri sudah meletakkan belanjaan yang tadi mereka beli di perjalanan pulang. Jelas itu ide Fikri. Sambil mereka berbelanja, Fikri bisa sambil mengambil hati Carlina. Akhirnya, Carlina sudah tidak canggung lagi dengan Fikri. “Kita jadinya masak apa, Bu?” tanya Fikri membuka pembicaraan. “Nasi goreng aja yang cepet selesai. Nanti kamu biar cepet pulang,” jawab Carlina. Sontak saja Fikri menatap dengan wajah kecewa. Namun, dia paham kalau dosennya hanya sedang sensi pada dirinya. “Kalau nanti saya pulang, jangan kangen ya Bu!” “Huh!” dengkus Carlina dengan kasar. “Jangan banyak ngomong. Bantu saya!” kata Carlina.   Fikri pun mengambil pisau dan mengambil bawang sementara Carlina menata belanjaannya di kulkas. Dia hanya tahu kalau memasak nasi goreng berarti membutuhkan bawang. “Bawang merahnya dipotong kayak gimana, Bu?” tanya Fikri yang sedang memegang pisau dengan bawang di kedua tangannya. Carlina langsung terbelalak dengan cara Fikri memegang pisau. “Fikri nanti tanganmu terluka!” pekik Carlina sambil membetulkan cara Fikri memegang pisau. “Pegang di gagangnya aja, Fik. Nanti tanganmu tergores kalau pegang di besinya.” Fikri sudah tahu cara memegang pisau. Dia hanya bermain-main tadi. Tidak mungkin dia tidak tahu cara memegang pisau. “Kalau Fikri berdarah, nanti diobatin sama Bu Alin, kan?” Yang ditanya langsung saja memutar bola mata. Dia malas menanggapi perkataan Fikri. Sudah muak dengan segala bentuk gombalan yang pria itu keluarkan. “Bawangnya dipotong tipis-tipis aja! Jangan dipotong dadu, dipotong tipis-tipis!” kata Carlina. “Setipis jarak kita berdua, ya, Bu?” Lagi-lagi Fikri mengeluarkan jurus gombalnya yang terkesan aneh. Walaupun begitu, Fikri hanya berniat ingin mengajak dosennya tertawa saja. “Terus ayamnya nanti langsung dicincang aja?” tanya Fikri yang sedang mengiris bawang. “Nanti digoreng dulu dong. Masa kamu mau makan ayam mentah begitu? Kalau saya sih nggak mau,” jawab Carlina. “Bu Alin suka makan bebek, kenapa nggak beli bebek aja?” Fikri menyeka matanya yang mulai berair. “Saya nggak bisa masaknya. Nanti alot kalau saya yang masak,” jawab Carlina. Mendengar tidak ada suara goresan pisau dengan talenan, Carlina langsung menoleh melihat Fikri. Wajah pria itu sudah memerah dengan tangan yang terus mengucek-ucek matanya. Tanpa buang waktu lagi Carina langsung lari mengambil handuk kecil di kamarnya. Dia juga mengambil potongan es batu di kulkas dan mencampurkannya dengan air. “Jangan dikucek-kucek, Fik! Nanti bisa makin sakit mata kamu,” kata Carlina sambil menarik lengan Fikri. Pandangan mereka akhirnya bertemu. Fikri dengan mata yang memerah melihat Carlina yang sedang memegang handuk basah di tangannya. Perempuan itu langsung membersihkan area mata Fikri dengan handuk basah yang dia pegang. Fikri masih sedikit meringis, karena perihnya masih ada. “Kamu kalau nggak ngerti masak itu bilang aja. Saya juga nggak akan maksa kamu untuk masak, kok. Kalau seperti ini saya yang jadi nggak enak. Perih banget, ya?” Carlina menyudahi aksi mengusapnya dan beralih dengan menatap mata teduh itu. Fikri merasa dirinya sedang menemukan Carlina yang lain, Carlina yang perhatian. Dia memegang lengan perempuan di depannya dan langsung menurunkannya. “Nggak terlalu sakit, Bu. Biar saya aja yang kompres, Ibu lanjut masak aja nggak apa-apa, kan?” “Kamu duduk di sana aja, Fik!” kata Carlina sambil menunjuk meja makan. Akhirnya Carlina memasak sendirian tanpa dibantu oleh Fikri. Dalam hatinya Fikri terus menggerutu, dia sangat ingin masak dengan Carlina. Seandainya saja dia bisa memasak, pasti akan seru. “Kamu suka pedas, Fik?” tanya Carlina. Asap yang mengepul sudah membawa aroma nasi goreng yang sedang dibuat. “Emangnya Ibu mau buat yang pedas?” Fikri justru berbalik menanyakan Carlina. “Saya suka pedas. Kalau kamu nggak suka, biar saya kurangin pedasnya. Lagian saya nggak mau buat kamu kesakitan gara-gara makanan pedas.” Sungguh perhatian sekali, kata Fikri dalam hatinya. Wajah pria itu pun tersenyum manis. “Perhatian banget sama calon suami.” Carlina tidak membalasnya. Dia sudah tidak sanggup membalas ucapan Fikri yang terkadang sedikit gombal. “Buat aja, Bu!” Ting tong! Suara bel tadi membuat Carlina langsung bergegas pergi dari dapur ke halaman depan. Dia sampai melupakan nasi goreng yang sedang dibuat. “Bu Alin! Kok nasi gorengnya ditinggal, sih?” Fikri berusaha memanggil Carlina, tetapi yang dipanggil sepertinya tidak mendengar. Akhirnya, Fikri mendekat ke arah kompor. Dia melihat nasi goreng buatan Carlina yang sepertinya pedas. Dia mencicipinya sedikit, dan mulutnya langsung menolak. “Pedes banget.” Ide jahat mulai muncul di benaknya. Dia ambil garam dan ditaburkan lagi ke dalam nasi goreng. Tanpa dia aduk-aduk, dia tinggal duduk kembali. “Kamu kenapa nggak ingetin saya kalau lagi masak, sih?” tanya Carlina yang baru tiba di dapur. Nada sewotnya membuat Fikri heran. “Tadi udah saya panggil, tapi Ibu malah lari terus. Emang tamunya siapa, sih? Sampai harus lari-lari kayak begitu,” kata Fikri dengan nada yang tidak kalah sewot. Pria itu berjalan mendekat. “Cowok mana yang dateng ke sini?” Carlina yang sedang memasak pun terlonjak. “Apa maksudnya cowok mana?” Fikri bersandar di meja samping kompor dengan tangan yang dia sandarkan di meja. “Yang tadi itu siapa? Jangan-jangan tadi ada cowok yang dateng ke sini. Makanya Ibu sampai harus lari biar saya nggak liat, kan?” Carlina tertawa mendengarnya. “Yang dateng emang cowok. Kenapa emangnya?” Fikri langsung merubah raut wajah senangnya dengan wajah muram. Satu tarikan napas panjang, Fikri membalasnya. “Ya nggak kenapa-kenapa. Seganteng apa sih dia sampai Ibu bisa lari kayak tadi?” “Kenapa emangnya?” tanya Carlina. Fikri mulai bosan mendengarnya. Dia pun mematikan kompor dan menatap Carlina dengan datar. “Kalau saya lagi ngomong itu liatnya ke saya! Jangan ke yang lain!” ucap Fikri dengan nada suara yang rendah. “Ya saya lagi masak. Kalau liatnya ke kamu, nanti masakannya gosong gimana? Lagian yang tadi dateng itu Pak RT. Kenapa kamu sampai marah begitu, sih?” Fikri yang malu langsung berjalan ke meja makan lagi. Dia duduk sambil memainkan ponselnya. Beberapa pesan pertanyaan dari ketiga temannya berada di deretan paling atas. Jelas saja, kejadian sore tadi membuat mereka bertiga penasaran. Tiba-tiba, Carlina berdiri di sampingnya dengan raut wajah yang murung. “Kenapa lagi, Bu?” tanya Fikri. Carlina tersenyum tipis. Baru kali ini Fikri melihat senyumnya. “Kita makan di warung pinggir jalan aja, yuk! Saya jadi pengin makan bebek yang tadi kamu bilang deket kampus,” ucap Carlina sedikit kikuk. Tingkah Carlina membuat Fikri bertanya-tanya keheranan. Namun, beberapa detik kemudian Fikri baru sadar. Dia pun menahan tawa sebelum membalas ucapan Carlina. “Emang nasi gorengnya kenapa, Bu? Sayang-sayang Ibu udah masak tapi malah nggak dimakan.” “Nasi gorengnya nggak apa-apa. Saya ... saya cuma ....” “Cuma apa, Bu Alin?” Carlina menampilkan senyumnya. Giginya yang putih bersih berjejer rapi. “Cuma mau makan bebek penyet aja sekarang. Ayo kita pergi ke sana sekarang, Fik! Kalau kemalaman takut tutup.” Fikri nekat berjalan ke arah meja kompor. Tangan Carlina menahannya, tetapi Fikri terus saja memaksa dengan tawa di mulutnya. “Saya mau cobain aja, Bu. Kalau enak makan ini aja, kenapa harus keluar? Sayang-sayang Ibu udah masak banyak,” kata Fikri. “Lebih baik jangan, Fik!” cegah Carlina. Pria itu menyendok nasi goreng yang masih hangat kemudian memasukkannya ke dalam mulut. Di sampingnya Carlina sudah keringat dingin menatap Fikri. Setelah dikunyah, Fikri berusaha memakannya dan berusaha menelannya. Dia kemudian menatap Carlina dengan wajah yang menahan keasinan. “Maafin saya nasi gorengnya keasinan. Padahal tadi rasanya udah enak,” kata Carlina sambil menundukkan wajahnya. Fikri menahan tawanya dengan menarik napas yang panjang. Dalam hatinya dia tertawa terbahak-bahak. Tentu saja dia sudah tahu permasalahannya, dia yang membuat nasi gorengnya keasinan. Tangan Fikri menarik dagu Carlina dan mengangkat wajah perempuan di depannya. Namun, Carlina langsung menepisnya dengan kasar. “Jangan lancang!” Fikri mendengkus. “Jangan murung karena keasinan. Lagian manusia nggak ada yang sempurna. Kalau emang sekarang keasinan, besok mungkin rasanya bisa enak.” “Lain kali saya buatin lagi nasi gorengnya. Malam ini kita makan di warung yang kamu bilang itu nggak masalah, kan?” Jelas saja Fikri mau, memang pada dasarnya dia yang merencanakan semua ini. Senyum licik yang dia sembunyikan dengan senyum tipis menandakan dirinya berhasil menang. Dasar pria licik. “Oke, ayo kita nge-date di pinggir jalan.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD