Pulang Bareng

1792 Words
Guys,terima kasih ya sudah membaca sampai part ini. Jngan lupa tap love dan komen juga ya. Perkataan Fikri saat berteriak tadi hampir menyebar ke beberapa penjuru fakultas hukum. Banyak yang bertanya-tanya mengenai kejelasan Fikri dengan dosen yang tadi dia panggil. Kebanyakan dari mereka tertawa karena memang itu hal konyol. Namun, ada juga beberapa yang kecewa lantaran pangeran tampan di fakultas hukum sebentar lagi akan melepas status lajangnya, walaupun itu belum dapat mereka pastikan. "Lagi-lagi lu buat masalah sama Bu Alin. Lu nggak sadar kalau teriakan lu bisa kedengeran ke ruang dosen?" tanya Fajar. “Tau lu! Bukannya mikir udah jadi mahasiswa. Sikap lu yang kayak gitu seolah-olah malah nggak menunjukkan rasa hormat kepada dosen. Walaupun dia masih muda dan nggak beda jauh sama kita, tetep aja dia itu dosen!” tambah Putra dengan nada sewot. Mereka berempat sedang berjalan menuju parkiran. Fikri dari tadi tidak henti-hentinya tersenyum. Padahal ketiga temannya sedang kesal karena tingkah Fikri tadi di koridor. "Kayaknya emang itu niat dia teriak, biar semua orang denger," sahut Edwin sambil menyenggol lengan kiri Fikri. "Lu kayaknya serius banget ngejar Bu Alin, Fik?" “Udah kalian jangan berisik, deh. Pokoknya gua sadar dengan apa yang gua lakuin, jadi kalian nggak perlu repot, ya!” kata Fikri membalas perkataan teman-temannya. Sesampainya mereka di parkiran, Fikri melipir ke arah mobil Carlina. Ketiga teman Fikri kebingungan. Mereka tahu kalau mobil di dekatnya adalah mobil dosen yang tadi mereka bicarakan. Yang membuat mereka kebingungan, Fikri bersandar di mobil itu. “Sumpah, lu adalah mahasiswa terbangor yang pernah gua kenal,” kata Edwin sambil tertawa kecil. Putra menambahkan dengan sindiran. “Lu juga mahasiswa paling nggak tau diri. Sampai kapan lu jahilin dia, sih?” "Lu mau ngejahilin mobil Bu Alin lagi? Kurang cukup kaca depan mobilnya lu tempelin kertas I love U waktu itu? Kurang cukup juga lu teriakkin dia calon istri di hadapan seluruh mahasiswa di lantai empat fakultas hukum?" tanya Edwin yang dari tadi hanya diam. Tentu saja Fikri menjawabnya dengan gelengan kepala. "Tentu saja saya tidak akan jahil lagi, apalagi sama mobilnya. Orang gua udah ngelakuin hal yang bener.” "Terus ngapain kita di sini? Mobil Edwin masih di sana kali," kata Putra sambil menunjuk mobil silver milik Edwin yang terparkir di bawah pohon. "Lu mau minta nebeng sama Bu Alin? Gila bener lu, Fik! Lu yakin mau jahilin itu dosen kayak begitu? Gua nggak mau ikut campur masalah yang ini, deh." Edwin menoyor kepala Fikri. Fikri hanya tertawa menjawabnya. Dia sudah tahu kalau akan ditegur temannya karena kalau memang bener Fikri sejahil itu, Fikri memang mahasiswa yang tidak kenal malu. "Kalian lihat ini aja, deh." Fikri mengeluarkan kunci mobil dari dalam sakunya. "Jangan bilang itu kunci mobilnya Bu Alin!" kata Edwin. Fikri menekan tombol di kunci. Seketika mobil pun berbunyi. Bip bip. "What the ... lu beneran gila, Fik. Lu ambil itu kunci mobil dosen? Lu ambil di mana, Fik? Kalau dia sekarang lagi nyariin gimana?" tanya Edwin. “Balikin itu kuncinya!” Putra langsung berjalan mendekat dan hendak mengambilnya. Tentu saja Fikri menghindar. "Apaan, sih, Put?" "Kembaliin kunci mobilnya! Bu Alin pasti lagi khawatir kuncinya hilang, Fik. Lu kalau jahil jangan sampai segitunya dong!" tegur Putra dengan wajah yang memerah. Ya walaupun Putra merupakan pria yang sarkas, dia masih memiliki hati nurani. Dia mampu memprotes perlakuan siapa pun yang salah tanpa pandang bulu, termasuk Fikri. Entahlah, keempat pria itu memang sudah saling melengkapi. Fikri yang nakal, Edwin yang senangnya mendukung kenakalan Fikri, Putra yang selalu jengkel dengan sikap kedua temannya, dan Fajar yang selalu menengahi mereka jika sedang berdebat. Pasti sebentar lagi Fajar akan menyahut. "Gua nggak ngambil kunci mobilnya dia, Put. Dia juga nggak akan bingung nyari kunci mobilnya kali!" jawab Fikri yang masih berusaha menghindar dari gapaian tangan Putra. "Hei, Fik! Dia yang lu omongin itu dosen tau. Jangan sembarangan kalau ngomong!" "Ya elah, Bu Alin maksud gua, Put. Lu kenapa ribet banget, sih?" "Ribet banget, sih, Put. Dia yang kena hukum kenapa lu yang repot, Put? Biarin aja dia urus urusannya sendiri. Lu sendiri yang bilang kalau orang kaya urusannya cepet kelar," cetus Fajar. Tepat sekali, Fajar membuat aksi mereka berdua berhenti. Putra yang tersinggung langsung menjawabnya. "Ya gua peduli sama dia, nggak kayak lo yang nggak punya hati." "Ngapain peduli sama dia yang nggak peduli sama dirinya sendiri?" tanya Fajar tak mah kalah. Ya benar juga kalau dibilang Fikri tidak peduli sama dirinya sendiri. Ibarat kata, sudah tahu akan mendapatkan hukuman, untuk apa diteruskan? Setelah Fajar berbicara, tidak ada lagi yang membuka suara. Bukan karena ucapannya, tetapi karena ada Carlina yang sedang berjalan ke arah mereka. Perempuan itu berjalan dengan wajah yang ditekuk. Langkahnya yang terkesan cepat membuat Edwin, Fajar, dan Putra khawatir. Dalam benak mereka berpikiran yang sama, "Hukuman apa lagi yang akan mereka dapatkan?" Tanpa disangka-sangka, Carlina melewati mereka semua dan langsung masuk ke pintu di samping pengemudi. "Fik buruan kasih kuncinya!" titah Edwin. “Bu Alin udah bete banget, tuh.” Sayangnya, Fikri justru menggelengkan kepala. Dia berjalan mundur sambil mengangkat kunci itu dan kemudian membuka pintu mobil. "Maaf teman-teman, hari ini gua nggak pulang bareng kalian. Hari ini mau anterin calon istri pulang ke rumah." Blam! Pintu mobil ditutup, meninggalkan ketiga teman Fikri yang masih sangat kebingungan di luar mobil. Sementara di dalam mobil, Fikri sudah tersenyum sambil menatap Carlina. "Selamat sore, Bu Alin. Bagaimana hari ini? Is everything alright? Hari ini kita mau ke mana, nih? Mau makan dulu atau langsung pulang?" tanya Fikri. Carlina yang masih kesal dengan kejadian di ruang dosen pun melempar tas kecil yang dia bawa ke Fikri. Pria itu sampai meringis karena terkejut. "Kamu ini bener-bener nggak ada pikiran, ya? Kenapa sampai teriak di lorong seperti tadi?" Carlina marah-marah sambil melotot menatap Fikri. Fikri yang dibentak hanya membalasnya dengan senyuman. "Ya kan emang bener kalau saya calon suami Ibu dan Ibu calon istri saya. Emangnya ada yang salah?" "Mau itu benar atau salah, kamu itu tidak bisa mempermalukan saya seperti tadi. Apa kamu tidak tahu kalau suara kamu yang teriak tadi terdengar sampai ruang dosen? Semua dosen yang ada di sana denger dan bahkan memojokkan saya." Bukannya malu karena telah berbuat salah, Fikri justru menahan tawanya. Lagi-lagi dia senang karena Carlina mau berbicara panjang kepadanya. "Ibu udah dua kali bicara panjang sama saya. Apa itu tandanya Ibu mulai membuka hati buat saya?" "Fikri!" pekik Carlina. “Ya, Bu Alin? Fikri di sini, nggak pergi ke mana-mana.” Setelah berbicara itu, Fikri langsung diam dan tersenyum. Dia mulai sadar kalau Carlina sangat marah. "Saya minta maaf, Bu. Jangan marah lagi sama saya, ya ...?" Fikri berbicara dengan lemah lembut. Carlina tidak menjawabnya. Dia mengalihkan pandangan ke depan mobil, menatap tebing di depannya dan mengabaikan Fikri yang sedang memasang wajah memelas. "Ibu Alin ... Fikri tahu Ibu lagi marah. Fikri minta maaf, ya? Besok-besok Fikri nggak begitu lagi, deh," kata Fikri dengan wajah yang dia dekatkan ke Carlina. Dari posisi ini, Carlina bisa melihat dengan jelas wajah Fikri yang sedang memelas dengan senyum yang masih dia pertahankan. Carlina semakin kasihan melihatnya. "Bu Alin tenang aja, Fikri nggak akan lagi teriak kayak tadi. Fikri nggak akan buat Bu Alin malu lagi ... kalau yang itu nggak janji deh." "Janji kamu nggak akan seperti itu lagi?" tanya Carlina yang sekarang menatapnya. Fikri tersenyum lebar. "Demi Bu Alin, Fikri harus bisa membuat Ibu nyaman. Kalau Ibu nggak nyaman, Fikri nggak akan ngelakuin lagi, kok." "Kamu belum berjanji, Fikri!" "Oke, saya janji akan menikah dengan Ibu dan akan menjaga Ibu sampai saya mati.” "Bukan janji seperti itu yang saya pinta!" pekik Carlina nyaring. Fikri tertawa mendengarnya. Dia senang sekali membuat Carlina marah. Baginya, aura dosennya itu akan keluar jika sedang jutek dan marah-marah. "Oke, saya janji nggak akan teriak di lorong lagi." Carlina bernapas lebih lega setelah Fikri berjanji. Setidaknya dia tidak akan mendapatkan masalah lagi di kampus. "Ibu udah makan belum?" tanya Fikri sambil memundurkan mobilnya. Dilihatnya spion, sudah tidak ada lagi ketiga temannya yang tadi. "Belum," jawab Carlina. Sangat singkat dan sangat jelas. Sebenarnya, baru kali ini Fikri berbicara santai dengan Carlina. Biasanya dia hanya menggoda dan menjahili dosennya. "Saya tau tempat makan yang enak di sekitar kampus. Ibu mau makan di sana?" tanya Fikri lagi. Carlina langsung kebingungan. Kalau sampai dia menolaknya, pasti Fikri akan melakukan seribu satu cara untuk memaksanya. Namun kalau dia setuju, Fikri pasti akan merasa kalau dirinya setuju dengan pernikahan. Padahal tidak sama sekali. "Ibu suka makan bebek dipenyet, kan?" "Kok tau?" tanya Carlina tanpa sadar. Setelah sadar, perempuan itu langsung membekap mulut dan mengumpat dalam hati. Bisa-bisanya dia menjawab pertanyaan Fikri dengan mudah. "Ya jelas saya tau, dong. Fikri kan calon suami Bu Alin. Jadi Fikri harus tau apa aja yang buat Bu Alin senang." "Kalau kamu mau buat saya senang, lebih baik antar saja ke rumah. Saya lebih senang makan masakan sendiri," jawab Carlina. Fikri langsung mendapatkan ide yang lebih bagus dari pada makan di warung pinggir jalan. "Ya udah kita masak aja di rumah Ibu nanti." Carlina hanya mengangguk. Dia menyetujui untuk masak di rumah. Namun, ada satu yang mengganjal, kata kita dalam omongan Fikri. "Apa maksud kamu kita masak?" tanya Carlina. "Ya kita, saya dan Ibu. Nanti kita masak di rumah Ibu, terus makan di sana. Kalau nggak ada bahan masakan, nanti kita beli dulu aja," jawab Fikri. Carlina langsung terkejut mendengarnya. "Enak saja kamu bilang. Saya tidak mau." Jelas saja Carlina tidak mau, dia mana mungkin mau dengan Fikri. Dia masih menolak Fikri apalagi tentang pernikahan. "Ya udah kalo gitu saya nggak mau anterin Ibu balik aja. Kita makan di warung pinggir jalan, ya? Kan saya mau makan bareng sama Ibu," kata Fikri. "Kenapa, sih, kamu terus ganggu hidup saya? Ini sudah hampir senja, kenapa kamu tidak pulang saja ke rumah dan makan di rumah? Saya mau istirahat," protes Carlina. Namun, sangat disayangkan kalau protesan Carlina hanya dijadikan angin oleh Fikri. Tidak mungkin Fikri mau melepaskan Carlina sore ini. Dia memang masih memiliki banyak daftar kegiatan yang akan dia lakukan dengan Carlina, salah satunya makan bareng. "Ya kalau saya pulang ke rumah ngapain kita latihan jadi calon suami? Kan saya mau ke rumah Ibu buat latihan jadi calon suami Ibu," sahut Fikri. Carlina sudah semakin geram mendengar sahutan Fikri. Dengkusan napasnya terdengar ke telinga Fikri. "Memangnya siapa yang mau menikah dengan kamu? Kenapa kamu terlalu yakin kita akan menikah?" tanya Carlina. Fikri menoleh. Ucapan Carlina membuatnya sedikit terpancing. "Saya yakin Ibu mau nikah sama saya. Emangnya Ibu yakin bisa nolak saya? Perlu saya ingatkan kalau saya adalah orang satu-satunya yang berhasil buat Ibu ngomong panjang lebar?” tanya Fikri dengan senyum liciknya. Dia bergerak mendekatkan wajahnya dan berbisik di telinga Carlina. “Bukannya Ibu paling irit bicara sama siapa aja? Udah jangan berisik lagi, Bu! Sekarang kita pulang dan makan di rumah Ibu. First dinner kita, nih.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD