Calon Istri?

1802 Words
Guys jangan lupa ditap love dulu ya hehe *** “Pembelajaran hari ini selesai. Jangan lupa tugas yang saya berikan tadi, pikirkan satu judul yang layak untuk dibuat satu contoh proposal penelitian. Pekan depan saya akan memeriksanya.” Penutup pembelajaran yang diberikan oleh Carlina sanggup membuat mahasiswa yang tadi mengantuk menjadi tegar. Dengan mata yang terbelalak, satu per satu dari mereka membulatkan mulut. Bagaimana mungkin memikirkan satu judul untuk proposal penelitian dalam kurun waktu satu minggu? Untuk mahasiswa yang sangat rajin, mungkin saja iya. Namun untuk sekelompok mahasiswa yang bernama Putra, Edwin, dan Fajar terutama Fikri mana mungkin cukup. Sepertinya minggu-minggu kelas ini akan dipenuhi dengan drama. “Ibu yang bener aja, dong, Bu? Masa satu minggu doang, sih? Dua minggu gimana, Bu?” tanya Edwin. Fikri sudah menggaruk-garuk kepalanya, bingung ingin menjawab apa. Biarkan saja temannya yang bernegosiasi dengan Carlina, yang sekarang sudah menjadi calon istrinya. “Setidaknya kasih kami waktu untuk bernapas, Bu,” tambah Edwin. “Emangnya dari tadi kamu tidak bernapas, ya? Oh, hebat juga manusia yang satu ini belajar tanpa bernapas.” tanya Carlina dengan tangan yang bersedekap di perut. Pertanyaan itu mengundang gelak tawa dari seluruh mahasiswa di kelas, kecuali Edwin. Mereka tidak paham lagi dengan dosennya yang satu ini, diajak bercanda masih saja tidak bisa. “Ya bukan begitu maksud saya, Bu.” “Pokoknya saya minta minggu depan sudah harus ada judul. Nanti langkah selanjutnya akan kita bahas di kelas. Terima kasih.” Carlina keluar dari ruangan. Sementara Carlina belum keluar kelas, seisi kelas sudah berisik dengan perbincangannya. Apalagi kalau bukan membicarakan dosennya yang begitu kaku dan tidak bisa diajak negosiasi? Carlina sadar kalau dirinya dibicarakan oleh mahasiswanya sendiri. Dia sudah sering mendapat perlakuan seperti itu. Baginya itu biasa, mahasiswa memang harus mengekspresikan diri. “Bu Alin!” pekik seseorang dari pintu di kelas tadi. Carlina tidak membalikkan badannya. Dia justru menghela napas dengan bola mata yang memutar. Kemudian dia terus melanjutkan langkah menuju ruang dosen yang berada di lantai itu. “Salah apa saya hari ini, Tuhan?” katanya. “Bu Alin main pergi aja, sih?” tanya orang itu sambil berjalan mendekati Carlina. Sesampainya di depan Carlina, orang itu menghadang dan tersenyum menampilkan deretan gigi putih bersih nan rapi miliknya. Siapa lagi kalau bukan Fikri? Carlina langsung membulatkan mata setelah berhadapan dengan Fikri yang tersenyum. Tangannya dia letakkan di pinggang, persis seperti orang yang sedang marah. “Kenapa lagi? Kamu mau ikut protes juga tentang tenggat waktu tugas yang saya berikan? Kenapa kalian selalu protes dan bukannya berusaha terlebih dahulu, ya? Saya juga tidak akan jahat sampai membuat mahasiswa tidak lulus hanya karena tidak dapat judul di tugas yang saya berikan. Nanti saya akan bantu kalian juga di pekan depan sampai ketemu judulnya. Kalian kenapa bisanya hanya protes aja, sih?” Fikri tidak menyangka kalau Carlina bisa berbicara sangat panjang dan bahkan dengan ekspresi marah. Mulut Fikri menganga saking terkejutnya. Sedetik kemudian, Fikri menutup mulut untuk menahan tawanya. “Saya lagi nggak mau protes masalah tugas yang tadi Ibu kasih, kok. Ya tapi kalau Ibu udah kasih bocoran masalah itu, saya jadi lebih tenang sedikit, sih,” kata Fikri sambil menahan tawanya. Merasa dirinya sudah salah sangka, Carlina hanya bisa berusaha bersikap tak acuh dengan cara mengalihkan pandangan. Namun, tetap saja Carlina masih di hadapan Fikri. Mereka pasti terlibat debat lagi. “Omong-omong Ibu tumben banget mau bicara panjang,” kata Fikri. “Apa?” tanya Carlina sambil memekik. Mahasiswa yang berlalu-lalang melihatnya dengan tatapan terkejut. “Ya ... suka-suka saya, lah. Ada apa manggil?” tanya Carlina langsung ke inti masalah. Fikri tertawa kecil mendengar jawaban Carlina yang sedikit malu-malu. “Ibu hari ini pulang jam berapa? Sudah jam empat, seharusnya Ibu udah nggak ada jam ngajar lagi, kan? Kita pulang, yuk!” Ajak Fikri membuat Carlina teringat tentang kunci mobilnya yang berada di tangan Fikri. Dia langsung melotot dan menadahkan tangan ke Fikri. “Mana kunci mobil saya? Saya mau pulang sendiri.” Fikri pun menggelengkan kepala sambil menjulurkan lidah, berlagak seolah meledeknya. “Enak aja mau minta kunci mobil? Ibu lupa kalau kita lagi latihan jadi suami-istri? Suami yang baik itu harus rela nganter dan jemput istrinya kerja.” “Suami yang baik itu ngelarang istrinya kerja dan biarin istrinya tinggal di rumah kemudian urus rumah dan anak. Untuk apa nyuruh istri kerja capek-capek kalau suami bisa kerja sendiri?” “Emangnya Ibu tipe perempuan yang mau di rumah terus urus rumah dan anak aja?” Pertanyaan terakhir yang Fikri ajukan membuat Carlina terdiam tanpa kata. Sungguh-sungguh bingung dia menjawabnya. Carlina memang bukan tipe perempuan yang seperti itu. Fikri pun tertawa melihat wajah Carlina yang memerah sebab menahan malu. “Jadi Ibu pulang kapan, nih? Kalau emang mau pulang nanti, ya berarti saya, Fikri Husein yang sekarang dinobatkan menjadi calon suami Ibu Alin harus menunggu Ibu sampai pulang.” “Kamu bisa diam tidak? Jangan terlalu keras bicaranya!” ancam Carlina dengan mata yang melotot. Tanpa disangka-sangka, setelah itu Carlina langsung berjalan melewati Fikri yang berdiri di depannya. Dia meninggalkan Fikri sendirian yang sedang tersenyum memandang kepergiannya. “Dadah, Calon Istri! Jangan lupa nanti kita pulang bareng!” pekik Fikri dari tempatnya. Carlina langsung mempercepat langkah sambil menutup kuping. Dia bisa melihat tatapan mahasiswa yang dia lewati. Dia tidak suka menjadi tontonan umum, apalagi sampai dipermalukan. Carlina pun semakin mempercepat langkahnya. Sampai akhirnya Carlina tiba di ruangan dosen. Carlina lagi-lagi disambut dengan tatapan para dosen. “Selamat sore semuanya!” ucapnya kikuk. Perempuan itu berjalan ke arah kursi di paling ujung. Dia salah besar masuk ke ruang dosen, seharusnya dia pergi ke ruangan pribadinya saja. “Si Fikri itu teriak sampai kedengeran ke sini, Lin,” bisik Resti setelah Carlina duduk di tempatnya. Carlina pun memejamkan matanya. Dia sudah kehilangan kata-kata untuk menyikapi Fikri. “Kamu juga denger apa yang dia bilang tadi?” Resti tersenyum tipis. “Kapan kalian tunangannya? Kok gua nggak diundang, sih? Kita temenan udah dari kuliah, Lin. Masih aja lo tertutup sama gua.” “Siapa yang tunangan, sih? Kamu makin tidak jelas aja omongannya.” Carlina mengalihkan pembicaraan dengan merapikan barang-barang yang memang sebenarnya sudah rapi. Resti paham kalau Carlina sedang gengsi. “Ya ampun masih aja begitu. Ngapain malu sama temen sendiri, sih? Jadi ini alasannya kenapa tadi pagi lo sama Fikri berangkat bareng? Pantes aja lo ngelawan saat gua ngomongin si Fikri tadi pagi. Lo diem-diem main cepet juga, ya?” “Resti kamu itu ngomong apa, sih? Main cepet apa maksudnya? Kamu kalau ngomong yang jelas, saya nggak ngerti maksud omongan kamu,” kata Carlina dengan sewot. “Ya main cepet sama si Fikri. Kemarin lo bilang si Fikri itu mahasiswa badung. Sekarang udah mau jadi calon suami lo,” sahut Resti. Carlina pun mendelik setelah Resti mengucapkan kata calon suami. Tidak hanya Carlina yang terkejut, rekan dosen yang lain pun juga sama. Sedetik setelah itu, rekan dosen pun langsung banyak yang tersenyum. “Kamu ini kalau ngomong yang bener dong. Masa ucapan dia kamu percaya, sih? Kalau sampai dosen yang lain denger gimana?” Carlina membalas ucapan Resti dengan berbisik. Tentu saja rekan dosen yang lain sudah mendengarnya. Bahkan ketika Fikri berteriak, rekan dosen yang lain juga mendengarnya. “Ya nggak gimana-gimana, Lin. Emangnya kenapa sama Fikri?” tanya Resti. Carlina pun terdiam. Dia sungguh bingung dengan dirinya sendiri. Sekarang dia tidak bisa membela diri lantaran memang semua yang dibicarakan Fikri benar. “Saya dukung kalau Bu Alin sama Fikri. Walaupun keliatannya Fikri itu nakal, tapi dia tetep menjaga tanggung jawabnya, Bu,” sahut dosen yang bernama Riska. Carlina menjawabnya dengan senyuman tipis. Jujur saat ini dia sangat bingung dengan para dosen di sekitarnya. Semua menatapnya seolah dia sedang membuat hal yang salah. “Ya emang kenapa juga sama cowok yang nakal? Bu Riska, cowok nakal itu biasanya lebih menantang dari pada cowok yang baik-baik,” sahut dosen lelaki yang bernama Edo.  “Ya saya nggak bilang kalau cowok nakal itu kenapa-kenapa, Pak Edo. Lagian Fikri itu emang kayaknya beneran cinta sama Bu Alin. Sejak tiga semester lalu, dia bahkan udah rajin ngegombalin Bu Alin, Pak! Bapak lupa atau memang sudah mulai pikun?” “Saya juga sering denger nyanyian Fikri yang sering dia nyanyiin di taman kampus. Yang liriknya Doooosen cantik kok belum nikah? Dooooosen cantik kok belum nikah? Doooosen cantik kok belum nikah? Nikahnyaaa nungguiiiiin Fikriiii!” Pak Edo bernyanyi memperagakan Fikri yang sedang bernyanyi dengan nada “Nona manis siapa yang punya” di tengah taman, dengan gaya khas Fikri yaitu berteriak sambil memegang pulpen yang dianggap microphone. “Jadi yang dia maksud dosen cantik itu Ibu Carlina, ya? Saya baru tau, Pak Edo. Makanya saya bingung dari lama, ini dosen cantik yang dinyanyiin Fikri itu siapa, sih? Saya jadi kegeeran, soalnya pernah dia nyanyi waktu saya lewat, saya sampai senyum-senyum digombalin sama Fikri. Beneran Ibu Carlina mau nikah sama Fikri?” tanya salah satu dosen yang dari tadi ada di ruangan, Erlina. Semakin banyak obrolan tentang Fikri, semakin terpojok pula Carlina. Perempuan itu pun dari tadi hanya bisa tersenyum masam sambil menundukkan wajahnya. “Ya begitu perjuangan Fikri mendapatkan Carlina, Bu, Pak. Saya aja nggak nyangka kalau ini beneran terjadi. Eh tapi ini beneran apa enggak, Lin?” tanya Resti. Sampai detik ini, Carlina belum memberikan kepastian dari pekikan suara Fikri tadi. Dia ingin menjawab iya, tetapi akan menimbulkan celah untuk dirinya dipojoki. Namun kalau dia berbohong, sama saja itu tidak benar. “Ya kalau denger teriakan si Fikri tadi, kayaknya dia bercanda aja, sih. Soalnya Fikri memang anaknya sering bercanda, sih. Jangan dibawa pusing, Bu Alin. Dia emang suka begitu, Fikri curhatnya sama saya, kan,” kata Riska yang berusaha menenangkan Carlina. Sontak saja Carlina sedikit tersenyum mendengarnya. Dia masih bisa mendengar suara pembelaan untuk dirinya. “Iya benar juga, ya. Kalau diingat-ingat emang Fikri itu sering banget ngeledekin Bu Alin. Ya kalau emang beneran ngeledekin, ditegur aja, Bu. Jangan keterusan seperti itu sama mahasiswa sendiri,” kata Edo yang menambahkan saran. Carlina hanya bisa mengangguk dan menjawabnya, “Iya, Pak. Terima kasih.” “Jangan terima kasih aja, nih. Bu Alin kan belum jawab kalau omongan tadi itu bener apa enggak, Bu!” sahut Bu Erlina. Carlina yang merasa terpojok pun merasa tidak bisa lagi berada di ruangan ini. Dia harus pergi dari ruang dosen bahkan dari kampus juga. Pulang adalah jalan satu-satunya agar rekan dosen melupakan hal itu sejenak. Perempuan itu pun berdiri, membuat pertanyaan timbul di benak para dosen yang berada di ruangan itu. Kalau memang omongan itu tidak benar, mengapa Carlina sampai menghindar saat dia bisa mengelaknya? “Bu Alin mau ke mana?” tanya Bu Riska. Carlina mengangkat barang bawaannya yang tadi dia bawa. Kemudian Carlina tersenyum tipis. “Saya izin pamit pulang duluan. Ada banyak hal yang harus saya lakukan. Permisi.” Dalam hatinya Carlina mengumpat, awas saja kamu Fikri, saya akan buat perhitungan sama kamu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD