Kena Usil

2025 Words
GUYS JANGAN LUPA TAP LOVE YA HEHEHEHE *** Insiden semalam membuat Carlina tidak bisa tertidur dengan nyenyak. Dia terus menyesali kehidupannya yang pernah berkenalan dengan mahasiswanya sendiri yang bernama Fikri. Tidur tidak nyenyak, makan tidak nafsu, sampai bergerak pun dia enggan. Sebenarnya pagi ini dia ingin sekali libur dari mengajar. Terlebih lagi dia mengingat kalau sore nanti akan ada jadwal mengajar di kelasnya Fikri. Kalau bisa, Carlina ingin pergi dari hidup Fikri dan tidak mau melihat mahasiswanya yang satu itu selamanya. Namun, itu sama saja Carlina meninggalkan tanggung jawabnya dan Carlina bukan orang yang seperti itu. Akhirnya, pagi ini dia harus menebalkan bedak di daerah bawah mata agar menutupi kantung matanya yang menebal. Walau tetap saja matanya sayu, setidaknya dia tidak terlihat seperti begadang semalaman. Ketika Carlina udah siap dengan segala barang-barangnya, Carlina mulai berjalan ke luar rumah. Dengan sepatu berhak miliknya dia berjalan ke arah mobil yang sepertinya sedang disandari oleh seorang pria. Carlina berhenti beberapa langkah dari mobil. Lagi-lagi dia mengumpat dalam hati dengan kesialan paginya. Carlina mendengkus dan memutar bola matanya sebab dia sangat kesal. “Apa mau kamu datang ke sini pagi-pagi?” Pria itu berbalik dan menampilkan senyumnya yang manis. Padahal senyum itu mampu meluluhkan hati para wanita lain, sayangnya tidak untuk Carlina. “Eh Ibu Alin yang cantik udah siap aja mau berangkat kerja. Udah sarapan belum, Bu?” Siapa lagi kalau bukan Fikri? Mahasiswanya sendiri yang semalam berhasil mengacaukan malamnya. Dia sudah hadir di rumah Carlina dengan pakaian rapi, kaus dalaman putih dibalut flanel kotak merah dan celana kargo berwarna cream. “Sedang apa kamu di sana? Apa kamu nggak puas nyiksa saya semalaman?” tanya Carlina dengan jutek. Tanpa menjawab pertanyaan Fikri, Carlina justru bertanya balik. Alasan dia tidak menjawab sebenarnya simpel, Carlina tidak mau menjawab pertanyaan yang biasanya diajukan oleh pria-pria penggoda. Apa Fikri itu pria penggoda? Bagi Carlina mungkin ya, sebab harinya terus dipenuhi oleh Fikri yang membuatnya geram. “Nyiksa gimana maksud Ibu? Kita kan belum malam pertama, bagaimana bisa saya udah nyiksa Ibu?” tanya Fikri. “Ini masih pagi. Jangan buat suasana hati saya menjadi kacau!” “Oke, Fikri yang tampan meminta maaf kepada calon istri karena sudah buat marah. Fikri lagi nungguin calon istrinya buat dianter kerja, Bu. Kira-kira menurut Ibu, calon istri saya mau dianterin ke tempat kerjanya nggak, ya?” tanya Fikri. Jawaban Fikri lagi-lagi diabaikan oleh Carlina. Perempuan itu berjalan dan berusaha menyingkirkan Fikri dari pintu pengemudi. Akhirnya, Fikri pun menyingkir. Fikri yang sudah tersingkir lalu tertawa kecil. “Kenapa nggak jawab pertanyaan saya, sih, Bu?” Pintu mobil dibuka, Carlina baru saja hendak memasuki mobilnya. Namun, lengan Fikri menahan pintu mobil dan menutupnya kembali. “Kamu ini nggak ada kerjaan selain usilin saya, ya? Pagi-pagi buta begini aja masih bisa usilin saya,” kata Carlina yang sekarang mulai sewot. Perkataan Carlina membuat Fikri sedikit tertawa. Pria itu pun mendekatkan wajahnya dengan wajah Carlina agar seperti orang yang sedang berbicara tatap mata. “Ibu nggak jawab pertanyaan saya dari tadi, sih. Harusnya Ibu jawab dulu pertanyaan saya, baru saya izinin masuk ke mobil.” Mata Carlina membulat mendengar sahutan Fikri. “Emangnya saya siapa kamu sampai harus minta izin untuk masuk mobil? Ini juga mobil saya, kenapa kamu yang repot? Ya kalau kamu mau jawaban, kamu tanya aja calon istri kamu sana!” “Ibu masih tanya siapa saya? Masa lupa siapa saya? Saya ini Fikri Husein, mahasiswa tingkat tiga yang sekarang jadi mahasiswa Ibu di mata kuliah metlit. Ibu masih tanya siapa saya lagi? Saya kasih tau lagi ....” Fikri mendekatkan mulutnya ke telinga Carlina, membuat perempuan itu terpojok di badan mobil. “Saya kan calon suami Ibu,” bisik Fikri yang membuat bola mata Carlina membulat. Carlina terdiam beberapa saat mendengar ucapan Fikri. Dia tidak menyangka kalau Fikri berani memperlakukannya seperti ini di halaman terbuka. Fikri pun memundurkan tubuhnya dan tersenyum lebar. Tanpa sadar kunci mobil pun sudah ditarik oleh Fikri. Pria itu membuka pintu dan masuk ke dalamnya. Kacanya dia buka sedikit untuk berbicara pada Carlina. “Ayo, Bu! Nanti kita telat.” Carlina yang baru tersadar akhirnya mengejapkan matanya berkali-kali. Dia segera menghirup napas sedalam-dalamnya. Aksi Fikri tergolong nekat, sampai membuat Carlina terdiam. Perempuan itu pun segera memasuki mobil. Tentu saja dia duduk di kursi tengah, di belakang pengemudi. Blam! Tidak ada suara dari Carlina. Dia langsung menatap samping tanpa mempedulikan Fikri. Namun, Fikri tidak kunjung menjalankan mobilnya, membuat Carlina semakin geram. “Ayo jalan! Tadi katanya bisa telat, kenapa nggak jalan-jalan juga, sih?” Fikri menoleh ke belakang dengan senyum yang mengembang. “Masa saya jadi supir Ibu? Ibu lupa kalau saya calon suami Ibu? Harusnya Ibu duduk di samping saya, bukan di belakang.” “Di depan atau di belakang itu sama aja,” kata Carlina. Fikri pun terbesit ide jahil untuk menggoda Carlina. “Sama-sama enak, kan, Bu? Apalagi kalau di dalem.” Carlina mendelik mendengarnya. Dia langsung mendengkus dan bersiap untuk menegur Fikri. “Kamu ini bener-bener menguji kesabaran saya, ya? Saya ini dosen kamu—“ “Eh, kok, dosen, sih? Ibu itu calon istri saya. Kenapa susah banget dibilangin, sih? Ibu juga sama, nguji kesabaran saya mulu,” kata Fikri yang memotong ucapan Carlina. “Mending Ibu ke depan sini! Kita latihan jadi suami-istri dengan cara ke kantor dan ke kampus barengan.” “Mana ada latihan suami-istri seperti itu!” protes Carlina. “Terus Ibu mau langsung ke kamar dan begituan sama saya? Saya sendiri, sih, nggak masalah. Cuma ya begitu, kita belum sah suami-istri.” “FIKRI!” Carlina pun membentak Fikri dengan suara yang tinggi. “Habis Ibu Alin mancing saya mulu, sih! Udah ayo buruan Ibu ke depan! Kita nggak akan jalan kalau Ibu nggak ke depan.” Setelah itu Carlina pun berpindah dari kursi belakang ke samping Fikri. Pikirnya, dari pada dia mengulur waktu, lebih baik menuruti keinginan Fikri. “Begitu kan jadi enak, Bu. Pakai sabuk pengamannya mau dipakein sama saya juga, nih?” tanya Fikri yang mulai bergerak mendekati Carlina. “Nggak perlu!” ucap Carlina sambil menahan tubuh Fikri. “Saya bisa pakai sabuk pengaman sendiri.” “Kalau sabuk pengaman bisa pakai sendiri, berarti nanti bisa pakai pengaman untuk saya, kan?” Lagi-lagi Carlina mendelik. Tanpa sadar dia memukul pelan pipi Fikri yang membuat pria itu meringis. “Kenapa saya ditampar, Bu? Oh, gara-gara kalau udah sah harusnya nggak perlu pakai pengaman, ya?” “Sebenarnya kamu pantas mendapatkan lebih dari itu karena kelancangan kamu,” kata Carlina. Fikri akhirnya mengabaikan perkataan Carlina. Dia segera menjalankan mobil dan keluar dari pekarangan rumah Carlina. “Jangan bilang kamu juga yang buka gerbang?” tanya Carlina. Fikri menjawabnya dengan senyuman. “Lagian Ibu nggak kunci gerbangnya, sih! Harusnya Ibu kunci biar saya nggak bisa masuk.” Carlina mendengkus lagi mendengarnya. “Besok saya kunci semua pintu sekalian sama jendela rumah, biar nggak ada penyusup.” “Saya kan bukan penyusup. Saya kan calon suami Ibu,” kata Fikri. “Omong-omong, Ibu kenapa semalam nggak tidur?” Carlina bingung dengan pertanyaan Fikri. “Kenapa kamu bisa tahu?” “Bagaimana saya nggak bisa tau? Kan saya calon suami Ibu, saya pasti tau dong.” *** Sesampainya di kampus, Carlina masih memasang wajah juteknya. Suasana hatinya jadi kacau hanya karena Fikri yang terus menggodanya. Seandainya dia bisa keluar dari mobil, dia pasti akan memesan ojek online dan tidak semobil dengannya. “Ibu ada kelas di mana pagi ini? Biar saya anter ke kelas, ya?” tanya Fikri saat masih di dalam mobil. Carlina tidak menjawab pertanyaan Fikri. Dia melepaskan sabuk pengaman dan berniat untuk keluar dari mobil. Ketika pintu dibuka, Fikri menarik lengan Carlina dan perempuan itu pun tidak bisa keluar. “Lepasin!” “Ibu belum pamit sama calon suami, masa udah mau berangkat aja,” kata Fikri. Sungguh Carlina semakin geram mendengar julukan calon suami dan calon istri dari mulut Fikri. Carlina pun berusaha melepaskan tangannya yang digenggam Fikri. “Kamu masih menjadi calon suami saya. Kamu belum ada hak untuk mengatur segala kehidupan saya dan apa pun yang tidak seharusnya kamu atur. Sekarang jalani hidup kamu sendiri!” Fikri semakin senang melihat Carlina marah seperti tadi. Dia pun ikut keluar mobil dengan wajah yang cerah tersenyum. Satu hal yang menambah mood senangnya hari ini, Carlina mengakuinya sebagai calon suami. Padahal, obrolan berati kemarin belum bertemu titik tengah. Carlina masih menunggu di depan mobil. Fikri pun menghampirinya. “Tadi katanya suruh jalanin hidup sendiri. Kenapa Ibu masih di sini? Sana pergi!” Sekarang berbalik Fikri yang jutek. Carlina sampai terheran-heran melihatnya. “Kamu ini semakin konslet ya otaknya? Saya nungguin kunci mobil saya, bukan kamu. Lagian ngapain kamu ngusir-ngusir saya?” Fikri mengangkat kunci mobil milik Carlina. Dia melihatnya dengan seksama, lalu menyimpannya di kantung celana. “Yang buat otak saya konslet kan Ibu juga. gara-gara saya cinta sama Ibu, otak saya jadi konslet begini. Harusnya Ibu tanggung jawab, nih! Pokoknya gara-gara otak saya konslet, nggak ada kunci buat Ibu. Kunci ini saya pegang, biar Ibu nggak pergi ke mana pun terus nyari calon suami baru. Pokoknya hari ini saya antar pulang.” Carlina semakin terbelalak mendengarnya. Dia tidak habis pikir dengan Fikri. Bagaimana mungkin Fikri mengira kalau dirinya mencari calon suami baru? “Saya pulang malam hari ini. Kamu mau nungguin saya sampai malam?” tanya Carlina. “Nggak akan sampai jam dua pagi, kan? Saya yakin Ibu jam tujuh juga pulang,” jawab Fikri. “Saya ingin pergi ke suatu tempat juga habis pulang kerja nanti,” kata Carlina. “Ya bagus kalau begitu, biar saya yang anterin sekalian. Nanti kalau Ibu sendirian, bisa-bisa Ibu cari calon suami baru terus ninggalin saya,” kata Fikri. “Itu mobil saya, Fikri. Kalau kamu nggak kasih kuncinya ke saya, itu sama aja pencurian. Nanti kamu bisa dipenjara dan nggak jadi suami saya gimana?” ucap Carlina. “Ya Ibu yang sedih lah kalau nggak jadi suami saya,” kata Fikri. “Gimana saya yang sedih?” “Ya karena nanti Ibu akan kehilangan orang yang sayang banget sama Ibu.” Carlina mendengkus keras. Dia sudah kehabisan akal untuk menjawab perkataan Fikri. “Balikin kunci mobil saya sekarang!” Tidak disangka-sangka, Fikri justru mengabaikan perkataan Carlina. Dia berjalan dengan tas yang dia sampirkan di bahu kiri. Sementara Carlina terdiam di posisinya dengan wajah yang melongo. Matanya yang membulat membuat orang di sekitarnya kebingungan. “Fikri!” seru Carlina. Yang dipanggil seolah tidak mendengar apa-apa. Dia terus berjalan sampai akhirnya Carlina berteriak kembali. “Fikri resek! Kembali ke sini sekarang juga! Balikin kunci mobil saya!” pekik Carlina nyaring sampai tidak memikirkan raut wajahnya. Jelas saja, Carlina tidak pernah berteriak bahkan ketika mengajar di kelas yang berisikan mahasiswa badung. Paling-paling dia hanya diam dan membiarkan mahasiswanya tersadar. Sekarang, hanya karena seorang Fikri Husein, Carlina berani merubah raut wajahnya yang pendiam menjadi perempuan yang bisa berteriak nyaring. Dia tidak sadar kalau di parkiran sudah banyak rekan dosen dan mahasiswa yang memarkirkan kendaraannya. Carlina langsung malu dan menunduk. Sementara Fikri sedang tersenyum jahil lantaran niatnya berjalan sempurna. Satu tepukan di pundak Carlina menyadarkannya. “Lu kenapa teriak-teriak, Lin?” Carlina sampai terkejut mendapat teguran dari Resti, rekan dosen yang dulu temannya di kampus. Carlina langsung menyeka keringat di dahinya. “Kenapa kayak orang marah-marah, sih? Ada apa? Minum dulu coba,” kata Resti. “Tadi ada apa sama si Fikri? Kenapa kalian nggak pernah akur, sih? Lo jadi dosen juga yang tegas kenapa, sih? Kenapa mahasiswa bisa aja jahil ke dosen?” “Kamu pikir saya nggak tegas? Harus setegas apa lagi? Fikri itu berbeda dari yang lain dan kamu nggak tau apa-apa tentang dia,” kata Carlina sambil berjalan mendahului Resti. Jawaban Carlina pun membuat Resti terheran-heran. Resti pun menyejajarkan langkahnya dengan Carlina. “Gimana maksudnya nggak tau apa-apa tentang dia, sih? Fikri itu kan mahasiswa badung yang hobinya nyari gara-gara sama dosen. Masa gitu aja gua lupa, sih?” “Fikri itu nggak seburuk yang kamu pikir, Res. Intinya dia itu nggak badung-badung amat dan saya udah berusaha untuk tegas banget sama dia.” “Kayaknya lu tahu banget tentang Fikri, nih? Sedekat itu kalian sampai lu ngebela mahasiswa?” tanya Resti. Pertanyaan itu membuat Carlina semakin kesal. “Diam!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD