Obrolan Berat

1605 Words
Fikri dan Carlina sontak menoleh. Mereka berdua sama khawatirnya. Carlina sudah mulai berkeringat sebesar biji jagung, sedangkan kaki Fikri sudah bergemetar “Ya mungkin sekarang aja kita bicarakan. Soalnya Carlina dan Fikri sudah ada di ruangan ini,” kata Pandu menyahut. Fikri pun bertanya-tanya dalam hati, apa memang harus sekarang pembicaraan masalah tadi? Minuman saja baru selesai dihidangkan. "Maaf memotong pembicaraan, tetapi ini mau membicarakan apa?" tanya Carlina. Irwan menjawabnya dengan enteng. "Tentu saja pernikahan kalian berdua. Memangnya mau membicarakan apa lagi?" "Apa?!" seru Fikri dan Carlina bersamaan. Mata mereka berdua terbelalak saking kagetnya. "Ayah nggak salah ngomong, kan? Pernikahan Alin sama Fikri? Ini ide gila siapa, sih? Alin belum mau menikah!" Alin memprotes pernyataan ayahnya. "Ide kami semua yang merencanakan semua ini. Pernikahan kalian juga atas dasar kalian yang sudah mau bersetubuh! Kamu jangan mengelak lagi, Lin!" sahut Irwan. Fikri pun membantah ucapan Irwan, berharap semua alasannya diterima. "Om, tadi itu hanya salah sangka aja. Fikri beneran nggak ada niat buat berzina. Fikri mau jelasin semuanya dari awal." Sayangnya, bantahan Fikri tidak diterima oleh ayahnya sendiri. "Sudah nggak perlu dijelaskan lagi, Fik. Semuanya sudah tertangkap nyata oleh Pak Irwan. Seharusnya kamu malu! Kamu ini masih punya akal sehat, kan?" “Tapi tadi bener-bener bukan hal yang sebenarnya terjadi. Kami berdua tidak melakukan hal itu dan tidak ada niat melakukan itu juga,” sahut Carlina. “Yang Ayah lihat seperti itu tadi, Lin. Apa yang Ayah lihat benar-benar nyata, kan? Mata Ayah belum buta, Nak.” Carlina semakin pasrah dengan dirinya. Dia merebahkan tubuh sambil memijat pelipisnya yang mulai berkedut. Pembicaraan ini mulai masuk ke tahap serius. Fikri dan Carlina tidak menyangka kalau insiden tadi akan membawanya ke dalam jurang kehidupan yang sangat dalam. "Kami sudah membicarakan tentang kalian berdua. Kami sepakat untuk menikahkan kalian dalam rentang waktu yang singkat, mungkin bulan depan," kata Santi menjelaskan dengan nada halus. Fikri tidak terima dengan keputusan kedua orang tuanya. Dia merasa masih tidak masuk akal atas pernikahan ini. Wajahnya semakin ditekuk. "Mah, Fikri nggak ngelakuin apa-apa tadi. Fikri dan Bu Alin emang ... se-seperti ... yaa ...." "Seolah melakukan adegan itu di kamarnya, kan? Lantas alasan apa yang mau kamu kasih kalau bukan berniat untuk melakukan hal itu?" tanya Pandu yang mendengar suara Fikri terbata-bata dan tersendat-sendat. “Tapi kami nggak melakukan apa-apa, Yah!” "Alin nggak ngelakuin hal itu sama Fikri, Om. Itu semua hanya insiden yang nggak pernah diharapkan terjadi dan bener-bener nggak ada niat untuk melakukan hal kotor!" sahut Carlina. Fikri dan Carlina sudah tersudut. Mau dengan alasan apa mereka membalas, tetap saja ada balasannya. "Hanya kecelakaan kamu bilang? Apa kalau Ayah nggak dateng tadi kalian akan menyebutnya kecelakaan dan akan berlanjut sampai ke adegan intim?" tanya Irwan. Melihat keadaan sudah semakin memanas, Rini pun menyudahi perdebatan. "Sudah cukup! Kalian berdua sudah tertangkap basah. Apa yang kalian protes itu nggak berguna. Kami selaku orang tua juga sudah sepakat. Apa lagi yang mau diperdebatkan?" "Kalian yang sepakat, kan? Aku belum tentu mau menikah. Apalagi menikahnya dengan Fikri," kata Carlina sambil mencibir. Mendengar jawaban dosennya seperti itu, membangkitkan gairah Fikri untuk membalasnya. Fikri menoleh menatap Carlina dengan alis yang bertaut. "Emangnya kalau menikah sama saya ada masalah apa, Bu?" tanya Fikri. "Ya nggak ada apa-apa. Saya hanya nggak mau menikah aja," jawab Carlina. "Nggak mau menikah dengan saya atau nggak mau menikah maksudnya?" Fikri bertanya lagi. "Ya salah satunya begitu," jawab Carlina. Mendapatkan jawaban Carlina yang begitu tidak tegas membuat Fikri merasa ada hal aneh juga. Fikri pun jadi berubah pikiran. Tidak biasanya dosennya itu tidak tegas. Dia berpikir, ada baiknya juga ide pernikahan ini. Dia akan lebih sering bersama Carlina. Hal yang pernah Fikri harapkan dulu. "Emangnya kapan pernikahan ini dilaksanakan?" tanya Fikri. Carlina membulatkan matanya, melotot ke arah Fikri yang sedang menatapnya dengan senyum tipis. “Kamu apa-apaan, Fikri?” "Pernikahannya akan dilaksanakan sekitar satu bulan ke depan," jawab Rini. Senyum miring yang terukir di wajah Fikri membuat Carlina ketakutan. Dia sudah tahu apa yang dipikirkan mahasiswanya. Fikri menoleh, menatap kedua orangtuanya dan orang tua Carlina. Dengan tegas dia menjawab sambil tersenyum. "Fikri setuju dengan pernikahan ini. Fikri mau menikah dan menjadi suami Bu Alin." Para orang tua di sana langsung merekahkan senyumnya. Setidaknya mereka sudah mendapatkan satu persetujuan. Carlina yang tidak pernah bermain fisik pun menyenggol lengan Fikri dengan keras. "Kamu ini apa-apaan, sih? Kenapa jadi setuju sama pernikahan itu?" tanya Carlina. "Ya kenapa kalau saya tiba-tiba jadi setuju? Bu Alin keberatan kalau saya setuju sama pernikahan kita? Bukannya itu bagus, Bu? Nanti kita jadi suami-istri. Terus kita bisa berduaan semalaman. Nanti kita bisa mesra-mesraan juga. Emangnya Ibu nggak mau mesra-mesraan sama saya?" tanya Fikri yang diakhiri dengan alisnya yang bergerak naik-turun. “Nah bener banget kata Fikri. Kalian nanti bisa saling sayang-sayangan kalau sudah menikah. Nggak perlu lagi kayak tadi yang Ayah pergokin,” kata Irwan menyahuti. “Sejarah mana yang mengatakan kalau menikah itu hanya sayang-sayangan? Memangnya orang menikah itu tanpa masalah?” tanya Carlina yang seolah tidak setuju dengan pernyataan ayahnya sendiri. “Ya kata siapa kalau menikah itu nggak ada masalah? Semua orang pasti punya masalah, tetapi masalah itu harus dijalanin dan diselesaikan, Bu. Saya yakin kita bisa menyelesaikan masalah kita nanti,” jawab Fikri dengan tegas. "Kamu sepertinya sudah nggak waras, Fik. Emang ternyata benar ya kalau tadi itu rencana kamu." Carlina sudah semakin pasrah. Dia ingin segera kabur dari situasi ini. Seandainya dia mengabaikan kata durhaka, sudah pasti dia akan pergi sekarang. "Oke, Fikri sudah setuju,” kata Irwan. “Berarti kita jadi menikahkan kedua anak kita bulan depan, Pak Irwan?” tanya Pandu. “Nggak bisa! Alin nggak setuju! Pernikahan itu harus disetujui semua pihak. Nggak bisa asal membuat keputusan saat salah satunya nggak setuju. Alin nggak setuju kalau menikah dengan Fikri!” protes Carlina dengan sangas tegas. Mendengar Carlina berkata seperti itu membuat Fikri semakin heran. Dalam batinnya dia seolah berkata, apa yang salah dengan dirinya sampai Carlina tidak mau menikah dengannya? “Ibu kenapa nggak mau menikah dengan saya, sih?” tanya Fikri. Jangan pikir hanya Fikri yang merasa kesal. Carlina juga merasa kesal dengan mahasiswanya sendiri yang terlalu menyudutkannya. Bukan hari ini, bahkan jauh dari hari ini Fikri sudah menyudutkannya tentang pernikahan. Di kampus Fikri mengajaknya menikah, di kantin juga mengajak Carlina menikah. “Kamu juga kenapa terlalu mau menikah dengan saya, sih? Memangnya tidak ada perempuan lain selain saya yang mau menikah dengan saya,” balas Carlina tak kalah sengit. Pandu pun menyudahi perdebatan Carlina dan Fikri dengan bergumam keras. Dia juga tidak mungkin memaksakan anaknya dengan dosen anaknya menikah. “Oke, kalian harus berdiskusi terlebih dahulu. Kami akan menunggu kepastiannya.” Carlina dengan cepat menarik lengan Fikri dan membawanya ke dapur kembali. “Hei kalian mau ke mana?” tanya Santi dengan sedikit memekik. “Alin mau ngobrol sebentar sama dia.” Mereka berdua berjalan ke arah dapur dengan Fikri yang terus tersenyum. “Kamu benar-benar buat saya marah, Fikri,” katanya dengan berbisik sambil berjalan ke arah dapur. "Bu, ini udah malem, mainnya jangan di dapur. Lagian saya mau pulang. Besok aja mesra-mesraannya kalau udah sah jadi suami-istri," kata Fikri. Sesampainya di dapur, Carlina langsung menunjuk wajah Fikri. "Kamu ini bener-bener menyebalkan. Saya nggak mau tau, pokoknya kamu harus menolak pernikahan itu." "Kenapa harus ditolak, sih, Bu? Emangnya saya ada salah apa sampai Ibu nggak mau menikah dengan saya, sih?" tanya Fikri yang sok polos. "Saya hanya nggak mau menikah dengan kamu. Apa kamu nggak ngerti juga? Nanti kamu bujuk orang tua kamu untuk batalin pernikahan kita berdua!" "Saya nggak mau! Saya mau menikah sama Ibu. Kenapa Ibu jadi ngelarang saya? Saya mau menikah dan mau menjadi suami Ibu. Saya mau deket sama Ibu baik di rumah sama di kampus. Emangnya Ibu nggak mau menjadi istri saya?" Fikri bertanya sambil mendekatkan kepalanya dengan kepala Carlina. "Kamu ini bener-bener nggak berperasaan, ya? Apa kamu pikir menikah segampang itu? Apa kamu sudah memikirkan jauh setelah pernikahan apa yang akan terjadi pada kita? Emang dasar mahasiswa yang malas berpikir. Saya nggak mau menikah! Apa pernyataan itu kurang cukup membuat kamu untuk tidak setuju dengan pernikahan ini?" Jawaban Carlina tidak masuk akal bagi Fikri. Pria itu pun bersedekap dengan senyum yang masih mengembang. "Apa alasan Ibu nggak mau menikah dengan saya?" “Karena kamu itu nyebelin, kamu suka jahilin saya, kamu suka buat saya marah, kamu suka buat saya malu, kamu suka buat saya naik darah, dan yang paling penting ....” Fikri menunggu jawaban lain dari dosennya. Dengan tatapan mata teduh, dia menatap Carlina yang sedang terdiam. Fikri langsung menyambung pernyataan Carlina. "Apa yang paling penting bagi Ibu itu takut kalau menikah dengan saya dan nggak sejahtera lantaran saya masih mahasiswa Ibu? Takut kalau saya nggak punya pekerjaan, terus nanti ekonomi kita akan turun lantaran menikah dengan saya?" tanya Fikri kembali. Carlina sungguh mati kutu di depan Fikri. Biasanya dia mampu menjawab semua pertanyaan yang Fikri lontarkan. Sekarang, dia sungguh tidak punya jawaban. "Apa Ibu takut kalau menikah dengan saya akan berakhir tragis seperti mantan-mantan saya yang saya putusin?" tanya Fikri. "Cukup, Fikri! Semua alasan yang kamu bicarakan tadi nggak ada yang benar!" jawab Carlina dengan tegas. Fikri menarik lengannya ke dalam saku. Dia berjalan mendekati Carlina dan membuat perempuan itu mundur. Sampai terpojok, Carlina hanya bisa berdiri dengan mata yang membulat. Fikri menahan kedua lengannya di samping kepala Carlina dan wajah mereka semakin dekat. “Kalau semua pernyataan itu nggak ada yang benar, lantas apa yang membuat Ibu nggak mau menikah dengan saya?” tanya Fikri. Carlina tidak mampu menjawab. Berada dalam kukungan tubuh Fikri membuat dirinya semakin takut. Apalagi tatapan Fikri yang berbeda dengan tatapan pada biasanya. Dia pun akhirnya menggeleng pelan. "Kalau begitu, ayo kita menikah dan menjadi suami istri."
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD