***
Harold maupun Khadija memang disibukkan oleh urusan masing-masing. Harold sibuk bekerja sementara Khadija fokus pada pernikahan Randy sesuai yang ia katakan pada Harold kemarin malam. Harold memahami keadaan istrinya.
Pria itu sadar bahwa pertengkaran antara dirinya dan Randy tidak seharusnya menghancurkan hubungan Khadija dan Randy. Bagaimanapun juga bukan Khadija yang bermasalah dengan Randy melainkan Harold sendiri.
Harold sedang berada di kantor manajemennya. Dia tengah bermain game di ponsel ketika resepsionis memberitahu kalau ibu mertua Harold datang ke kantor manajemen pria itu.
Seketika Harold mengernyitkan alis. Dia mulai tidak enak merepotkan ibu mertuanya datang ke kantor manajemen. Ibu mertuanya bisa saja menelepon Harold untuk menemuinya. Tidak perlu bersusah-susah datang ke kantor Harold.
Apakah ibu mertuanya merasa tersinggung Harold tidak membantu segala urusan pernikahan Randy? Harold tidak yakin ibu mertuanya mengetahui keadaan yang sebenarnya tentang pertengkaran Harold dan Randy. Dia tahu betul Khadija bukan wanita yang suka menceritakan aib keluarganya.
Khadija terbiasa membicarakan hal baik di dalam keluarganya.
"Oh iya. Saya akan menemuinya sekarang!"
Harold ingin menyambut kedatangan ibu mertuanya. Akan tetapi, ternyata sang ibu mertua sudah ada dia ambang pintu ruangannya. Harold langsung menyunggingkan senyuman selamat datang seiring resepsionis meninggalkan ruangan.
"Kenapa mama repot-repot ke sini?"
Harold langsung mencium punggung tangan ibu mertuanya sebagai wujud rasa hormatnya. Harold memanggilnya 'mama', karena ia memang sudah menganggap wanita itu sebagai ibu kandungnya sendiri.
Sang ibu mertua belum menjawab pertanyaan Harold saat pria itu menyilakan ibu mertuanya duduk.
"Silakan duduk, Ma," perintah Harold.
Rina, ibu mertua Harold pun mengambil posisi duduk di sofa berukuran panjang dan tebal di ruangan itu. Sofa itu berwarna merah, selaras dengan pakaian Rina saat ini. Sungguh, kebetulan yang sangat pas.
"Mama mau minum sesuatu. Aku akan pesankan minuman ke OB."
Kata-kata Harold langsung dibalas dengan gelengan kepala oleh Rina. Ada sesuatu mendesak yang memaksanya datang ke kantor Harold. Sebelumnya, Rina sudah bertanya kepada Khadija mengenai jadwal Harold hari ini. Khadija memberitahu kalau Harold berada di kantor manajemennya. Ada pertemuan dengan Raffi pagi ini.
"Enggak perlu, Rold. Mama cuma sebentar di sini. Ada sesuatu yang ingin mama katakan."
Rina tampak ragu-ragu. Dia mengambil tas yang sempat ia bawa. Wanita itu merogoh sesuatu dari dalam tas itu. Ada amplop coklat yang ia keluarkan. Itu merupakan uang tunai. Walaupun Harold marah pada Randy, ia masih bersedia memberikan uang diam-diam melalui Khadija.
Melihat uang itu dikembalikan, membuat Harold sadar bahwa mungkin Randy menolak uang pemberian itu. Randy memang selalu merasa benar. Dia tidak Idak pernah mau disalahkan. Memiliki gengsi yang sangat tinggi.
Lihatlah, ia mengembalikan uang bantuan dari Harold meskipun ia butuh uang itu.
"Maaf, Rold. Randy tidak mau menggunakan uang kamu lagi. Kebetulan kami pun masih bisa membiayai acara pernikahannya."
Harold mengangguk paham. Mengamati uang yang terbungkus amplop coklat itu diletakkan perlahan-lahan di atas meja oleh ibu mertuanya. Sepertinya sudah tidak ada jalan damai. Pikir Harold dalam hati. Sudahlah, mungkin niat baik Harold tidak akan pernah dihargai.
"Tidak masalah, Ma. Kami memang memiliki sedikit masalah. Itulah alasan aku tidak hadir di rumah mama belakangan ini. Aku tidak mau merusak suasana hati Randy."
Harold jujur. Dia hanyalah orang baru di dalam keluarga Khadija. Jadi, Harold memilih untuk mengalah sebab ia tahu bahwa ia bukan siapa-siapa. Hanya kebetulan menantu yang kedudukannya tidak terlalu berpengaruh dalam keluarga Khadija.
"Mama paham, Rold."
Rina mengambil napas dalam, dan itu membuat Harold berpikir bahwa ada masalah besar yang sedang dipikirkan oleh ibu mertuanya. Ada permasalahan penting lain yang akan wanita itu katakan padanya.
Terlebih sekarang ini, Rina memainkan jari jemarinya. Jelas sekali kalau wanita itu sedang merasakan kegugupan.
"Apa ada masalah lagi, Ma?"
Akhirnya Harold berinisiatif menanyakan keraguan yang tengah mengganggu pikiran ibu mertuanya itu. Jika Harold bisa membantu maka Harold akan membantunya. Pria itu tidak pernah menolak apapun yang membuat ibu mertuanya kepikiran.
"Benar, Rold. Masih ada masalah yang ingin mama katakan."
Rina mengambil ponsel, lalu mencari sesuatu di galeri ponsel miliknya. Harold tidak melakukan apa-apa. Dia memilih menantikan apa yang akan ibu mertuanya katakan kepada dirinya.
"Ini," ujar Rina sambil menyodorkan ponselnya.
Setelah meraih ponsel itu, Harold bisa menemukan satu screenshot artikel di internet yang menyebutkan alasan Harold tidak berniat ke acara pernikahan iparnya. Artikel itu hanya satu.
Namun, akan menggiring opini banyak orang yang membacanya. Harold terkesiap ketika menemukan ada artikel semacam itu beredar di dunia maya.
"Kamu boleh membenci Randy. Itu urusanmu, Rold. Tapi, tolong. Jangan sebarkan berita yang tidak mengenakkan hati. Mama tahu kalau Randy memang salah. Namun, ada baiknya kamu tutup aibnya. Bagaimanapun juga, kita semua terkoneksi menjadi satu keluarga."
Rina sedikit berkaca-kaca setelah memberitahukan soal artikel yang menjelek-jelekkan Randy. Sebagai ibu, Rina merasa sangat sedih. Tidak ada seorang ibu yang tega anaknya dipermalukan.
Harold tersentuh. Dia menyodorkan tisu untuk menghapus air mata ibu mertuanya. Ada kesalapahaman dan Harold harus meluruskannya.
"Aku tidak pernah melakukan wawancara dengan situs ini, Ma. Aku bersumpah. Aku bahkan menghindari media belakangan ini."
Harold belajar dari kejadian Zul dan Zander marah padanya tempo hari. Sejak kejadian itulah, Harold membatasi diri dengan media maupun penggemarnya.
Dia ingin lebih intens memikirkan keluarganya. Dia juga kaget saat mengetahui adanya artikel tidak baik yang melibatkan dirinya dan Randy.
Kaget karena masalah personal itu bisa diketahui seseorang anonim. Bermodalkan cocokologi, artikel itu bisa terbit.
"Mama jangan sedih lagi ya. Aku akan urus artikel ini sampai artikelnya hilang. Mama tenang saja ya."
Harold sudah mengambil ponsel, berniat menghubungi kuasa hukumnya. Dia ingin bertanggungjawab. Namun, Rina menggelengkan kepalanya keras.
"Sudah, Rold. Azzam sudah mengurusnya. Artikelnya sudah hilang."
Memang yang ditunjukkan Rina sebelumnya hanya tangkapan layar saja. Dia datang pada Harold agar artikel semacam itu tidak terulang lagi, tidak muncul lagi.
Harold bergeming sesaat. Ada perasaan cemburu saat mendengar nama Azzam. Harold merasa bahwa dirinyalah yang perlu mengurusi permasalahan itu. Bukannya Azzam. Siapa Azzam? Kedudukan lelaki itu bahkan hanya sebagai teman Khadija.
Tidak lebih.
"Kamu janji enggak bakalan buat artikel begini lagi kan, Rold? Tolong hargai kami."
Kata-kata Rina seolah-olah menyebutkan kalau Harold adalah dalam dari permasalahan itu. Padahal Harold sama sekali tidak melakukan hal yang seperti dituduhkan padanya itu. Sekalipun Harold marah kepada Randy. Dia tidak akan membuat artikel yang akan menjatuhkan kakak Khadija.
"Aku tidak akan pernah membuat artikel semacam itu, Ma. Pokoknya kalau terjadi lagi, mama hubungi aku. Biar aku yang mengurus semuanya, oke?"
"Baiklah, Rold. Mama pegang kata-kata kamu ya."
Harold mengiyakan lewat anggukan kepala. Setelah dirasa cukup membicarakan permasalahan yang ada, Rina pamit pergi dari tempat Harold berada. Harold sempat mengantar ke pintu depan. Pria itu masih bingung dengan kemunculan satu artikel mengusik nama baik keluarga istrinya.
Harold merenung beberapa saat menerka-nerka kapan ia berbicara kepada media. Rasanya tidak pernah. Lagipula untuk apa Harold membicarakan sesuatu yang tidak diketahui publik? Itu seharusnya menjadi rahasianya saja.
.
Instagram: Sastrabisu