***
Jadwal menyanyi Harold banyak yang berubah. Beberapa jadwalnya diundur sehingga pria itu bisa lebih lama berada di rumah. Ada satu atau dua job menyanyi. Namun, kebanyakan acaranya pagi sehingga siang sampai malam, Harold bisa menghabiskan waktu di rumah.
Sekalian ia menghabiskan hari-hari bersama Zander dan Zul. Kali ini, Harold tidak mau mengulang kesalahan yang sama. Ketika ada kesempatan mengantar dan menjemput Zul dan Zander ke sekolah, Harold tidak menyia-nyiakan itu.
Dia ingin menunjukkan bahwa ia bisa memprioritaskan anaknya lebih dulu baru kemudian penggemarnya.
Tidak sulit melakukan itu. Harold berhasil membuktikan bahwa menjadi penyanyi tidak selalu menghalangi dirinya untuk menjadi ayah yang baik untuk anak-anaknya.
Harold sudah pulang dari job menyanyi-nya. Zul dan Zander pun sudah ada di dalam mobilnya. Harold tidak langsung pulang karena Khadija meminta Harold mampir ke studio Azzam. Khadija yang meminta Harold membawa kamera yang ia lupakan di rumah.
Ada foto klien di kamera itu yang mau dikirim Khadija ke komputer milik Azzam. Foto itu sangat penting, dan Khadija tidak bisa bolak balik dari rumah ke studio Azzam.
"Kalian berdua mau turun dari mobil? Ingin ikut Daddy? Daddy hanya akan membawakan kamera ini ke Bunda. Hanya sebentar," kata Harold.
Tujuan Harold ke studio Azzam memang hanya membawa kamera. Lagipula ia tidak bisa tinggal lama-lama di studio itu dan mengganggu pekerjaan istrinya. Itu terdengar tidak etis jika seandainya Harold benar-benar tinggal di sana.
Harold menanyakan apakah anak-anaknya mau mampir sebentar ke studio itu? Sekadar bertemu ibu mereka. Zul dan Zander beberapa kali mampir ke studio itu dan Harold berpendapat kalau mungkin saja Zul dan Zander mau singgah sebentar di studio milik Azzam. Siapa yang tahu?
"Tidak. Zul mau menunggu di dalam mobil saja," ujar Zul yang sekarang sibuk dengan ponsel Harold.
Ada permainan anak di ponsel itu. Harold berniat membuat putranya senang. Jadi tanpa sepengetahuan Khadija, ia memberikan ponsel ke anaknya. Sengaja Harold tidak memberitahu istrinya sebab Khadija sangat membatasi anaknya bermain ponsel.
Harold memberi syarat agar Zul dan Zander tidak bertengkar memperebutkan ponsel itu. Benar saja, dua anak itu kompak memainkan permainan bersama-sama. Saat Harold melihat dua putranya akur, ia benar-benar tersentuh. Sangat bahagia rasanya melihat dua anak itu berdamai.
"Baguslah. Tapi, Daddy akan kunci mobilnya. Daddy tidak mau kalian ke mana-mana. Daddy tidak mau terjadi masalah," ujar Harold memberi pesan.
Zul dan Zander sebetulnya masih perlu pengawasan ketat dari orang tuanya. Namun, Harold berpikir bahwa ia meninggalkan anak-anaknya hanya sebentar. Mungkin hanya hitungan menit saja. Tidak akan terjadi masalah besar.
"Oke."
Zander mengangkat jempolnya sebagai tanda setuju dengan pernyataan ayahnya. Harold mengunci pintu mobil, lalu berjalan masuk ke studio milik Azzam.
Tak lupa kamera sudah ia kalungkan di lehernya. Harold menduga kamera itu sangat penting sehingga Khadija meminta tolong untuk dibawakan segera kamera itu.
Ada pemandangan yang tidak terlalu menyenangkan hati Harold ketika ia masuk ke dalam studio Azzam. Dari jarak yang agak jauh. Harold bisa melihat Khadija dan Azzam terlihat begitu dekat. Mereka mungkin hanya melakukan pekerjaan.
Namun, anehnya tercetak perasaan cemburu di dalam wajah Harold. Hatinya cemburu. Bagaimana pun juga Azzam dan Khadija adalah laki-laki dan perempuan. Mereka bisa saja khilaf seandainya mereka terlalu larut dalam apa yang mereka lakukan sekarang. Mereka bisa melakukan apapun di belakang Harold. Ada begitu banyak kesempatan.
Saat ini Khadija sedang melihat layar komputer dengan Azzam di dekatnya. Jika dilihat dari jauh, mereka seperti sedang berpelukan. Padahal sebetulnya, mereka sama sekali tidak berpelukan. Hanya duduk berdekatan, sebatas seorang pekerja dengan pekerja lainnya.
Jika harus jujur, Harold merasa dirinya cukup buruk kalau disandingkan dengan Azzam. Harold memang penyanyi sukses. Akan tetapi bila harus bersaing wajah maka mungkin para wanita akan memilih Azzam.
Wajah pria itu berkilau, sangat mencerminkan dirinya sendiri yang rajin menunaikan ibadah. Wajahnya bercahaya akibat sering berwudhu. Sangat mudah mendapatkan wanita cantik mana pun yang diidamkan. Ketampanannya sangat berbeda.
Sementara Harold? Dia hanyalah laki-laki yang terkenal sebagai penyanyi tetapi memiliki sedikit ilmu agama. Harold hanya mengandalkan mata indahnya yang mrnakjubkan. Lalu, Azzam rajin beribadah. Persis seperti Khadija yang sering beribadah. Mereka cocok seandainya mereka menjadi pasangan suami istri.
Sayangnya, dua orang itu bukan pasangan. Mereka disatukan sebagai bos dan karyawan. Takdir sudah menyusun itu terjadi kepada mereka.
Harold memperjelas penglihatannya, sampai pada satu titik pria itu sempat melihat Azzam memandang fokus ke arah wajah Khadija. Tatapan itu bukan tatapan bos kepada bawahannya melainkan tatapan seorang pria terhadap wanita yang disukainya.
Siapa yang mau menolak wanita sholeha seperti Khadija? Setiap lelaki pasti mendambakan wanita semacam itu.
"Ehem."
Harold berdeham, sengaja menghancurkan hayalan Azzam terhadap Khadija. Sepertinya lelaki itu sudah menghayal terlalu jauh. Harold ingin pria itu segera sadar diri bahwa Khadija hanyalah milik Harold untuk saat ini.
"Harold!" seru Azzam.
Pria itu langsung mendekati Harold dan melakukan tos. Mereka berdua berlagak seperti teman baik yang sering nongkrong bersama. Padahal sebenarnya tidak selalu. Harold dan Azzam tidak intens mengadakan pertemuan. Mereka mengadakan pertemuan mungkin lima bulan sekali.
"Hai," sapa Harold datar.
Nada suaranya tidak menggebu-gebu seperti yang Azzam perlihatkan. Entahlah, Harold hanya tidak senang kalau Azzam memperhatikan Khadija dengan tatapan intens seakan-akan Khadija adalah pacarnya.
Tidak, Harold tidak akan rela jika seseorang memperhatikan Khadija dengan tatapan yang tampak intim.
"Mas Harold sudah datang? Ya ampun. Makasih ya, Mas. Kamu sudah bawa kameranya ke mari. Kamu memang pahlawanku, Mas."
Khadija semringah. Dia mengambil kamera yang yang ada di tangan suaminya. Khadija menghadiahi suaminya ciuman-ciuman mesra yang membuat Harold terlihat kesenangan. Lelaki itu tertawa geli, ketika menyadari Azzam bungkam. Harold menangkap ada kecemburuan di wajah pria itu.
Azzam dan Khadija adalah sahabat. Harold tidak percaya bahwa laki-laki dan perempuan bisa menjadi sahabat. Itu terdengar aneh.
"Zul dan Zander mana, Mas?"
Seingat Khadija, Harold mau menjemput anak-anak mereka. Mengapa Zul dan Zander tak kunjung muncul di hadapan Khadija? Zul dan Zander biasanya antusias jika ibunya ingin ke studio Azzam.
"Ada di dalam mobil. Sudah kuajak, tapi mereka tetap mau di mobil. Aku merasa bahwa aku hanya perlu di sini sebentar. Jadi, kubiarkan mereka di mobil," jawab Harold.
Setelah kamera ada di tangan Khadija, Harold tidak tahu harus membahas apa lagi. Dia tidak memiliki alasan untuk tetap tinggal di sana. Masih memperhatikan Azzam, Harold mencoba untuk menekan perasaan cemburunya.
Dia tidak mungkin cemburu pada bos istrinya, kan? Sementara Harold sering menghabiskan waktu disekitaran model-model cantik.
Harold harus profesional. Jika Khadija bisa berdamai dengan lingkungan pekerjaan Harold maka itu berarti Harold pun bisa profesional dengan tidak menampakkan perasaan cemburu saat Khadija melakukan pekerjaan bersama Azzam. Pernikahan adalah komitmen dan saling percaya. Khadija mempercayai Harold. Semestinya pria itu pun mempercayai sang istri.
"Aku akan pulang sekarang. Anak-anak pasti sudah menunggu. Kamu semangat bekerjanya ya."
Setelah mengatakan itu, Harold pamit keluar dari studio Azzam.
"Ya. Kamu hati-hati ya, Mas!"
Harold sempat memberikan kecupan di kening istrinya sebelum akhirnya benar-benar menghilang dari pandangan Khadija. Harold berencana pulang dan melakukan kegiatan-kegiatan menyenangkan bersama Zul dan Zander.
Secara umum, Harold biasanya mengajak anak-anaknya bermain PS, sesuatu yang sangat disenangi Zul dan Zander. Harold mau menebus kesalahannya yang kemarin. Dia ingin mewujudkan apapun yang diinginkan putra-putranya selagi ia memiliki kesempatan melakukan itu.
Bersama anak-anaknya membuat Harold melupakan soal kecemburuannya tethadap Azzam. Dia berhasil mengusir pikiran buruk tentang Azzam. Memang seharusnya ia tidak mencurigai pria itu. Bukankah Azzam sangat paham agama? Merebut istri orang adalah hal yang tidak baik. Azzam tidak mungkin merebut Khadija darinya.
***
Malamnya, Khadija langsung bermanja-manja dengan Harold. Aneh sekali, biasanya mereka langsung istirahat. Harold bertanya apa yang membuat istrinya terlihat begitu berbeda malam ini. Tidak seperti biasanya.
"Aku kangen. Kita jarang mesra lagi."
Khadija menyandarkan kepala di pundak suaminya. Harold mengelus-elus rambut istrinya yang tertutup hijab. Khadija baru pulang bekerja. Biasanya ia akan lepas hijab. Akan tetapi saat ini tidak. Dia masih memakai pakaian kerjanya saat mendekati Harold.
"Benar. Ini semua karena pekerjaan kita. Lain kali, kita adakan liburan ke pulau," bisik Harold.
Mungkin rencana itu tidak akan terwujud dalam waktu dekat ini. Mungkin beberapa bulan ke depan lagi, sampai jadwal bernyanyi Harold benar-benar kosong. Untuk sekarang ini jadwal Harold masih penuh. Dia tidak bisa melakukan liburan secara sepihak. Tanpa sepengetahuan manajemennya.
"Benar. Sayang sekali jadwal aku masih padat. Belum lagi persiapan pernikahan bang Randy. Mas Harold enggak apa-apa kan kalau nanti waktuku lebih banyak mengurus pernikahan bang Randy?"
Khadija meminta persetujuan karena orang tuanya sudah memberikan amanah kepada Khadija untuk mengurusi pernikahan kakaknya. Hanya Khadija yang bisa diharapkan.
"Iya. Sama sekali tidak apa-apa," ujar Harold.
Pria itu diam sesaat. Dia tidak memiliki kesempatan untuk datang ke acara pernikahan Randy. Itu cukup membebani mengingat Randy dan Harold cukup dekat dulunya. Hanya karena masalah kecil dan prinsip, kini mereka saling menjauh. Mereka tidak lagi menemukan kecocokan.
"Sayang!" panggil Harold.
Khadija mendongaki suaminya. Dia mengelus berewok suaminya perlahan-lahan. Dia sangat senang menyentuh buku halus di wajah suaminya. Ada rasa geli saat menyentuh berewok itu.
"Apa?" sahut Khadija.
"Aku ingin menyumbangkan beberapa uang untuk pernikahan abangmu."
Pernyataan Harold sempat membuat Khadija terkejut. Dia merasa seperti sedang berkhayal suaminya mengatakan itu. Pasalnya, Harold dan Randy sedang bermusuhan.
"Aku tahu kalau aku dan abangmu sedang bertikai. Akan tetapi aku rasa, menyumbangkan beberapa uang bukanlah masalah besar. Anggap saja itu uang sumbangan darimu."
"Wah, kamu baik banget, Mas. Aku bangga sama kamu."
Khadija antusias. Dia memeluk Harold sangat erat sampai Harold tidak bisa bernapas. Harold tertawa puas karena perlakuan istrinya. Malam ini mereka benar-benar tampak sangat bahagia sebagai pasangan suami istri. Kebahagiaan ini ingin selalu dirasakan oleh Harold.
.
Instagram: Sastrabisu