Bab 10: Self-healing

1160 Words
*** Rumah adalah bagian terpenting bagi Harold. Dia jarang berada di rumah sehingga apabila ada waktu di rumah maka ia akan menghabiskannya dengan sepenuh hati. Job luar kota yang masih mengantri lama. Beberapa hari ke depan Harold masih di Jakarta. Masih menghitung hari ia bisa terbang ke provinsi lain. Saat ini ia fokus mengisi acara-acara ringan di ibu kota. Setelah pertemuan Harold dan Rina, ibu mertuanya. Harold mulai penasaran dengan siapa yang sebetulnya menyebarkan rumor pertikaian antara dirinya dan Randy? Orang yang mengetahui pertengkaran itu hanya orang di sekitaran lingkungan keluarga. Siapa orang itu? Harold tidak memiliki ide sebab yang ia ketahui, orang sekitarnya menyayangi dirinya. Tidak mungkin ada orang yang berani mempermainkan keluarganya, bukan? Tidak boleh ada. Mengapa kabar buruk itu malah mencuat ke publik? Walaupun satu artikel itu sudah di takedown. Tetap saja, Harold merasa tidak tenang, seolah ia dihantui oleh sesuatu. Satu orang sudah mengetahui berita itu, dan entah suatu saat orang itu akan menyebarkannya di portal gosip lain. Harold tidak senang dengan kehadiran gosip miring tentangnya. Jika beberapa selebriti tanah air cenderung menyukai sensasi untuk menjadi terkenal maka lain halnya dengan Harold. Pria itu tidak menyukai dikenal dengan konflik yang di hadapinya. Harold lebih bangga jika portal forum membahas prestasinya ketimbang membahas pertikaian yang terjadi pada dirinya. Misalnya Harold yang sudah memiliki lagu berbahasa Jerman. Itu jauh lebih membanggakan ketimbang dikenal lewat konflik dengan iparnya, Randy. Orang waras mana yang menginginkan aib mereka menjadi konten konsumsi publik? Tidak ada! Jika orang itu masih waras maka ia tidak akan mau aib diketahui publik. Jika harus jujur berita miring yang sempat terbit di portal daring itu membuat Harold kepikiran. Otaknya terus menebak-nebak siapa dalang di balik informasi itu. Apalagi ibu mertuanya sampai meminta tolong kepada Harold secara langsung. Dia meminta tolong dengan sangat agar Harold tidak menyebarkan berita tidak baik lagi tentang Randy. Harold sama sekali tidak melakukan itu semua. Itu sudah termasuk tuduhan yang tidak benar adanya. Masuk kategori fitnah. Harold sudah membantah tudingan itu. Entah apa yang dipikirkan mertua pria itu? Apakah sang mertua percaya perkataan Harold? Atau justru tetap berpendapat kalau Harold sangat dendam dengan Randy sampai membuat artikel yang tidak baik terhadap iparnya itu. Harold mencari cara agar pikirannya tidak terus memikirkan persoalan Randy. Harold sangat menyukai self-healing. Pria itu seorang pecinta seni. Dengan menyanyi suasana hatinya perlahan-lahan akan membaik. Suasana hatinya akan menjadi lebih sehat. Menyanyi ibarat sebuah diari bagi Harold. Jika sudah menuangkan perasaannya dalam nyanyian maka Harold bisa merasakan sedikit ketenangan hidup. Sejenak ia bisa melupakan persoalan di sekelilingnya. Dia sadar bahwa saat-saat seperti ini, bukan obat tidur yang ia butuhkan. Melainkan terapi alami yang sudah menjadi tips untuk dirinya sendiri. Harold hanya perlu melampiaskan semua kekesalannya kepada dunia melalui sebuah nyanyian. Sebab hanya dengan lagu, Harold bisa merasakan ketenangan. Seperti sekarang ini. Harold memasuki ruang musik pribadinya. Ruang musik itu khusus ia gunakan berlatih. Ada piano di sudut ruangan itu. Piano itu tertutup kain. Memang, beberapa bulan ini tidak digunakan karena Harold sibuk manggung di mana-mana. Alat musik di ruangan itu pun kini hanya seolah-olah pajangan semata. Di ruangan musik Harold terdapat piano berukuran besar, beberapa jenis gitar yang sengaja Harold koleksi. Ada juga drum dan perkusi jika seandainya Zander atau pun Zul menyukai alat musik itu. Siapa yang tahu seperti apa selera musik Zander dan Zul jika sudah dewasa nanti? Apakah darah seni Harold akan tetap mengalir di kedua putranya? Harold pasti akan senang jika salah satu putranya bisa meneruskan darah seni yang ia miliki. Ruangan musik Harold gelap gulita. Harold menyalakan lampu ruangan itu. Kemudian membuka kain yang menutupi piano di sudut kamar. Kain itu cukup berdebu. Harold menaruh kain itu tidak jauh dari piano. Setelah itu, Harold duduk di kursi. Dia mulai menekan keyboard piano. Menciptakan nada-nada indah dari musiknya. Harold tidak bernyanyi kali ini. Dia hanya ingin meluapkan emosi yang terpendam dalam dirinya melalui nada yang ia ciptakan. Harold sudah menghafal letak dari keyboardnya. Jadi, ia bisa bersenandung sambil memejamkan mata. Rasanya menakjubkan. Harold seperti masuk ke dalam dunia yang ia harapkan. Alunan musik yang ia ciptakan semakin lama semakin mengoyak hatinya, membuatnya larut semakin dalam. Permasalahan yang mengganjal di kepalanya satu per satu lepas begitu saja. Nyaris tiga puluh menit Harold terbuai dalam alunan nada. Dunia seakan-akan tidak ada artinya bagi Harold. Lelaki itu seperti keluar dari dunia penuh penat yang ia rasakan. Harold terlalu larut dalam pianonya sampai tidak menyadari bahwa Khadija sudah masuk ke dalam ruangan itu. Harold sadar ketika Khadija mengambil duduk di sampingnya. Khadija menyandarkan kepada di pundak suaminya. Dahulu saat mereka masih pacaran. Harold sering menyanyikan lagu untuk Khadija. Namun, saat sudah sibuk dengan jadwal bernyanyi, waktu bermesraan pun tersita. Sekarang, Khadija bisa bernostalgia ke mana lalu. Begitu indahnya masa dahulu ia dan Harold habiskan. Masa itu tak akan pernah terlupakan. Khadija semakin memanjakan diri ketika Harold memasuki bagian inti nada. Khadija masih menikmati betapa menyejukkannya pundak Harold saat tangannya disentuh lembut oleh Harold. Tangan pria itu menuntun tangan Khadija menekan keyboard di hadapannya. Khadija hanya pasrah. Dia seperti pianis profesional berkat Harold. Momen kebersamaan mereka saat ini membayar perasaan cemburu yang pernah Harold rasakan waktu menyaksikan Khadija dan Azzam berduaan. Kebersamaan ini menunjukkan kalau Khadija sampai kapan pun hanyalah milik Harold semata. Tidak ada uang lain. "Musiknya keren," bisik Khadija saat permainan musik mereka usai. Harold tersenyum bahagia. Jika Khadija senang maka ia pun tentu senang. Tidak ada kebahagiaan yang mampu membuat Harold semringah seperti sekarang ini. "Memang keren. Apalagi ada kamu di sini," rayu Harold. Khadija tertawa geli. Dia sampai mencubit pipi suaminya saking gemas dengan kata-kata suaminya itu. Tak lama, ia kembali menyandarkan kepalanya di pundak suaminya. "Sudah lama ya kita tidak begini," ujar Khadija mengingat kembali kapan terakhir mereka bermesraan. Rasanya sudah lama sekali momen seperti itu terjadi. "Ya, kita berdua disibukkan dengan pekerjaan." Selalu itu yang Harold katakan, sebab memang waktu telah mencuri kemesraan yang semestinya sudah terjadi pada mereka sejak lama. Harold mengusap jilbab istrinya. Sesuatu yang sering ia lakukan. Bahkan nyaris setiap hari ia melakukan itu. "Sayang. Aku ingin mengatakan sesuatu." Harold baru ingat kalau ternyata ia semestinya memberitahu Khadija Sola pertemuan Harold dan ibu mertuanya siang tadi. Mereka harus terbuka satu sama lain. Itu sudah dijalankan Harold selama beberapa tahun sampai membuat rumah tangga keduanya awet dan minim konflik. Mereka tidak selalu bertengkar karena mereka memilih untuk terbuka. Tidak ada rahasia yang mereka pendam sedikit pun. Sama sekali tidak ada. "Apa?" "Tentang ibumu yang datang ke kantor manajemen hari ini." Harold berbicara dengan nada serius. Pria itu berpikir bahwa susah seharusnya ia menjelaskan tentang artikel itu. Harold ingin mengklarifikasi tentang kabar itu. "Aku percaya padamu, Mas. Aku tahu bukan kamu pelakunya." Kabar itu sudah sampai di telinga Khadija, dan itu membuat Khadija membela suaminya. Dia percaya Harold tidak akan tega menyebarkan kabar tidak baik seperti yang dituduhkan. "Terima kasih karena selalu percaya padaku." Harold menggenggam tangan istrinya. Mereka begitu larut dalam kebersamaan malam ini. Dunia serasa milik mereka berdua. Mereka saling mendukung satu sama lain, dan itu sangat menyenangkan. . Instagram: Sastrabisu
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD