"Apakah ini mimpi?"
"Wajahmu jelek sekali."
Kalimat pertama yang keluar dari mulut Irene begitu gadis itu membuka matanya.
"Jadi ini bukan mimpi?"
Zayn menepuk-nepuk pipinya, tapi dengan cepat Irene berusaha menghentikannya.
"Bisa makin jelek kamu, nanti!" seru Irene.
Zayn tak tahan lagi. Butiran bening itu terus meleleh membasahi pipinya. Dia merengkuh tubuh mungil yang masih lemah itu, mengecup puncak kepalanya berulang kali.
"Kau membuatku takut," gumam Zayn.
"Kau tidak perlu merasa takut lagi sekarang. Aku sudah bangun dan aku bisa memakaikan dasi di kemejamu, sebanyak yang kau mau."
"Kau mendengarkan semuanya, tadi?"
"Tentu saja."
"Siapa aku?"
Irene mengurai pelukannya, dia menatap tajam tepat di manik mata kebiruan itu. Pertanyaan yang aneh.
"Aku bertanya padamu, siapa aku," ulang Zayn.
"Dasar aneh! Tentu saja kau suamiku," Irene mencebik.
"Lalu siapa namaku?"
Lagi-lagi Irene mengernyitkan dahinya. Pertanyaan konyol macam apa itu? apa suaminya itu sedang mengerjainya, pikir Irene.
"Kau adalah Zayn. Zayn Alexander Xavier, suami dari Irene Elizabeth Bae, kau puas!"
Gadis itu diam saja saat Zayn kembali mendekapnya, bahkan sekarang lebih erat dari yang sebelumnya.
"Aku pikir kau hilang ingatan, seperti yang sering terjadi dalam sebuah drama televisi," cetus Zayn.
"Aku kira kau tidak pernah menonton TV, Zayn."
Untuk pertama kalinya Zayn tertawa setelah hampir dua hari ini terus menangis dan bermuram durja. Dia juga tidak menyangka kalau Irene akan secepat ini menyelamatkannya dari kubangan nestapa yang bisa kapan saja merenggut akal sehatnya.
"Tadi menangis, sekarang tertawa," goda Irene.
"Karena kaulah sumber tangis dan tawaku."
Deg.
Irene yang semula berniat kembali menggoda Zayn pun menghentikan tawanya. Gadis itu terdiam begitu mendengar ucapan suaminya. Kalimat sederhana, tapi memiliki makna yang mendalam. Terlebih saat diucapkan dengan begitu tulus.
"Kau tidak tahu betapa takutnya aku saat melihatmu jatuh terpelanting dari atas ketinggian seperti itu. Aku merasa jantungku berhenti berdetak."
"Maafkan aku telah membuatmu takut," cicit Irene.
"Aku yang seharusnya minta maaf, ini semua salahku. Seandainya saja aku tidak sibuk dengan ponselku, aku pikir semuanya tidak akan terjadi," ucap Zayn penuh sesal.
"Sudahlah, yang terpenting aku baik-baik saja sekarang."
"Sungguh?"
"Ya," jawab Irene.
"Apa sekarang masih terasa sakit?" lagi, Zayn bertanya.
"Sedikit."
"Biar aku lihat."
Zayn memegang kepala Irene dengan lembut, lalu mengarahkan bibirnya ke sana. Tepat dibagian yang tertutup perban, dia meniupnya sebelum kembali memberikan kecupan.
"Cepatlah sembuh." lagi-lagi, Zayn mengusap puncak kepala Irene.
"Akan lebih cepat sembuh dari yang kau perkirakan," sahut Irene.
"Semoga saja."
"Tentu, kau kan sudah mengobatinya dengan baik."
"Bukan aku, tapi dokternya," timpal Zayn.
"Dan kaulah dokter cintanya."
Tawa keduanya pun pecah bersamaan. Hal yang begitu Zayn rindukan, melihat Irene tertawa lepas seperti ini.
"Aku merindukan tawamu."
"Bohong," tukas Irene, cepat.
"Aku berkata jujur."
"Kau bukan merindukan tawaku, ayo mengaku saja."
"Aku tidak sedang membohongimu, sungguh!" sanggah Zayn.
"Yang benar."
"Ish, aku berani bersump ...,"
"Ssstt! Jangan pernah bersumpah jika kau tidak yakin dengan ucapanmu."
"Astaga. Bagaimana aku mengatakannya padamu, aku sedang tidak bohong." Zayn menyugar rambutnya, kasar.
"Kau tidak percaya padaku?"
"Tentu saja tidak. Karena aku tahu, jika sebenarnya kau lebih merindukan yang lain," Irene menjawab sambil mengerlingkan matanya.
'Astaga! Bisa-bisanya dia menggodaku di saat seperti ini.'
Zayn memegangi dadanya yang terasa bergemuruh. Degup jantungnya berpacu lebih cepat dari saat melihat istrinya tersadar, tadi.
"Merindukan yang lain, apa maksudmu?"
Irene menyeringai penuh arti. Detik berikutnya, ia kembali membuat Zayn syok.
Zayn membeku dengan mata yang membulat penuh, jantungnya seolah lepas dari tempatnya. Sungguh, tak ada kata yang dapat mewakili perasaannya saat ini. Hal tersebut terlalu tiba-tiba dan membuatnya serasa terbang ke awan.
Bukan sebuah kecupan biasa. Zayn berusaha mengimbangi permainan Irene. Diluar dugaannya, Irene ternyata sudah pandai bermain-main dengannya.
"Astaga!" Vernon menjerit.
Pria tua itu berniat menjenguk cucu menantu kesayangannya begitu dia mendengar Irene telah sadarkan diri. Namun, dia malah dibuat terkejut saat melihat pemandangan yang tersaji dengan indah di matanya.
Dua insan yang telah tertangkap basah itupun reflek saling melepaskan diri. Zayn mengusap tengkuknya, malu setengah mati karena lagi-lagi dia kepergok sedang berciuman dengan Irene.
"Tidak tahu malu! Tidak tahu tempat! Tidak tahu keadaan!" Vernon terus mengumpati cucunya sambil menusuk-nusukan tongkatnya di tubuh Zayn.
"Ampun, Kek. Jangan seperti ini, aku malu." Zayn berusaha menepis serangan Vernon.
"Malu kau bilang? Kenapa kau tidak merasa malu saat melakukannya tadi? Istrimu sedang sakit dan bisa-bisanya kau melakukan itu di sini! Kau seharusnya bisa menahan diri, Zayn."
"Berhenti, Kek. Zayn tidak bersalah, aku yang bersalah," jelas Irene. Dia jelas tak mau tubuh kekar suaminya itu menjadi sasaran tongkat Vernon.
"Kakek tidak percaya, kau pasti sengaja mengaku salah agar Kakek tidak menghukum suamimu kan?"
"Ini tidak seperti yang Kakek pikirkan. Aku ...," Irene tak sanggup melanjutkan ucapannya, malu rasanya jika harus mengakui pada Vernon kalau dirinyalah yang telah menggoda Zayn lebih dulu.
"Kau diam saja! Ini urusan laki-laki."
"Sumpah, Kek. Aku tidak melakukan apa-apa." Zayn mengangkat kedua tangannya.
"Kakekmu ini memang sudah tua, tapi mataku masih belum rabun. Kau pikir Kakek tidak melihatnya apa? Kakek lihat dengan jelas."
"Ya tapi kan kami suami istri, Kek. Wajar jika kami ...,"
"Wajar kepalamu! Ini di rumah sakit."
Baiklah, jika sudah begini lebih baik Zayn mengalah. Bisa makin runyam dan panjang urusannya jika dia terus menanggapi ucapan pria tua itu.
***
"Kakek tidak habis pikir, kira-kira siapa pelakunya? Penjagaan di rumah sangat ketat, masa iya dia bisa lolos begitu saja," oceh Vernon.
Kini, orang-orang itu tengah berkumpul di bangku tunggu yang ada di depan ruang rawat Irene. Semalaman pria tua itu tak dapat tidur, terlebih saat pagi-pagi sekali Albert sudah menginterogasi seluruh penghuni rumah.
"Maafkan saya, Tuan. Saya memang tidak berguna," sesal Albert. Tak peduli seberapa keras dia berusaha untuk menemukan bukti, tapi hasilnya tak sesuai dengan apa yang diharapkan.
"Sudahlah! Jangan terlalu menyalahkan dirimu. Kau sudah berusaha dengan sangat keras dan aku tahu itu."
"Para pelayan dan juga penghuni rumah yang lainnya tetap tidak ada yang tahu ataupun menemukan sesuatu yang bisa jadikan sebagai bukti, meskipun saya sudah menekan mereka," lanjut Albert.
"Tak apa. Masih ada kesempatan, Al. Tidak ada orang yang sempurna dalam melakukan tindakan, apapun itu. Aku yakin, sepandai-pandainya orang itu, dia pasti meninggalkan jejak. Hanya saja kita belum menemukannya," ujar Vernon, bijak.
"Aku minta, jangan sampai Irene tahu mengenai hal ini. Aku takut akan mengganggu pikirannya," kata Zayn.
"Baik, Tuan."
"Tetap lanjutkan penyelidikan kalian. Kau tahu apa yang harus kau lakukan, Al?"
"Saya akan tetap menyelidikinya diam-diam."
"Baiklah. Kalian boleh pergi," pungkas Zayn.
Seperti biasa, hanya ada beberapa orang yang benar-benar Zayn percayai saja yang terlibat dalam pembicaraan rahasia itu.
Zayn dan Vernon kembali masuk ke dalam ruang rawat Irene.
"Kau yakin tidak ada keterlibatan dengan orang dalam?" tanya Vernon setengah berbisik.
Setelah meminum obat, Irene kembali tertidur dan pria tua itu tak mau kalau sampai suaranya mengganggu istirahat cucunya.
"Kau jangan diam seperti orang bodoh, Zayn!" sentak Vernon.
"Aku sedang berpikir, Kek. Seseorang menginginkan istriku celaka, jadi mana mungkin aku diam saja."
"Baguslah kalau begitu. Jangan hanya mengandalkan Albert saja." menepuk pundak cucunya, kemudian berjalan menuju sofa.
"Kakek tidak pulang?"
"Kau mengusirku!"
"Bukan begitu, kenapa selalu saja salah paham," Zayn menggerutu.
"Menyuruhku pulang, dan kalian dapat saling berdekapan seperti beruang kutub? Kau pikir Kakek tidak tahu akal busukmu!"
Zayn terkekeh, hampir saja tawanya meledak kalau saja tak ingat Irene masih terlelap saat ini.
"Ternyata Kakekku yang tampan itu masih memiliki daya ingat yang bagus juga," puji Zayn.
"Sekali lagi aku tegaskan! Jangan melihatku dari segi usia. Pengalaman hidupku jauh lebih banyak darimu anak muda."
"OK."
Terkadang, mengalah lebih baik daripada tetap maju tapi ujung-ujungnya membahayakan diri sendiri. Seperti itulah sekiranya yang Zayn rasakan jika sedang berhadapan dengan kakeknya.
Gumpalan awan bak kapas putih mulai menyingkir. Semburat jingga yang kian meredup mengiringi hadirnya dewi malam yang bersiap menaiki singgasananya.
Zayn baru saja selesai mandi saat dokter dengan didampingi asistennya datang untuk memeriksa kondisi Irene.
"Permisi, Tuan. Saya akan memeriksa keadaan Nona," pamit si dokter.
"Silakan, Dok."
Dokter pun mulai mengeluarkan peralatan medisnya. Tangannya terulur untuk menyentuh beberapa bagian tubuh Irene. Beruntung dokternya perempuan, sengaja Zayn memintanya karena dia sungguh tak rela jika ada lelaki lain yang sampai menyentuhnya, dokter sekalipun. Sementara Zayn sendiri belum pernah menyentuh Irene lebih jauh lagi. Hanya dia yang berhak untuk itu, pikirnya.
"Bagaimana keadaannya, Dok?"
"Semakin membaik."
"Syukurlah. Kira-kira kapan dia boleh pulang?"
"Sebaiknya tunggu sampai dua atau tiga hari lagi, setelahnya Nona baru boleh pulang. Itupun harus menjalani rawat jalan."
"Baik Dok. Terima kasih," ucap Zayn.
"Baiklah kalau begitu saya permisi. Masih ada banyak pasien yang harus saya kunjungi," ujarnya.
Zayn mengantar kepergian dokter itu sampai di depan pintu. Begitu dia membalikkan badannya, dilihatnya Irene sedang berusaha untuk duduk.
"Kau sudah bangun? Mau apa?" tanya Zayn, berjalan mendekati bed rumah sakit.
"Mau ke kamar mandi."
"Ya sudah, ayo!"
Irene yang merasakan tubuhnya melayang, pun hanya melemparkan senyuman pada suaminya.
"Apa aku berat?"
"Tidak, kau sangat ringan," balas Zayn.
"Aku takut kau tidak kuat menggendongku."
"Memang seberat apa badanmu, sampai aku tidak kuat untuk menggendongmu?"
"Barangkali saja."
"Kau suka digendong?" tanya Zayn tiba-tiba.
"Kenapa bertanya begitu?"
"Aku akan menggendongmu setiap hari kalau kau mau," usul Zayn.
"Ide bagus, tapi akan lebih menyenangkan jika itu dilakukan saat aku sedang sehat," ucap Irene sendu.
"Kapanpun kau mau, setiap hari," balas Zayn.
Zayn mendudukkan tubuh Irene di atas closet.
"Menghadap ke sana!"
"Iya, iya. Ini aku berbalik."
Baru saja Zayn membalikkan badannya saat dia mendengar suara benturan cukup keras.
"Argh! Zayn."
"Astaga! Irene."
Secepatnya Zayn membantu istrinya bangun dari lantai.
"Kepalaku pusing, Zayn," rengeknya, disusul butir bening yang berjatuhan layaknya manik-manik putus talinya.
"Kenapa tidak mengatakannya sejak tadi. Apa sekarang semakin sakit? Bagian mana yang sakit?"
"Kepalaku pusing saat aku berusaha berdiri tadi," jelas Irene.
"Aku tanya bagian mana yang sakit? Apa kepalamu makin sakit?" ulang Zayn. Pria itu begitu panik.
"Tidak. Bahuku yang sakit, tapi kepalaku juga pusing," keluhnya, manja.
"Ya sudah kau diam saja. Biar aku bantu!"
"Jangan! Kau mau apa?" Irene menepis tangan Zayn yang sudah terparkir cantik di atas celananya.
"Kau bilang tadi kepalamu pusing, aku hanya mau membantumu saja."
"Tidak boleh!" tegas Irene.
"Kenapa?"
"Kau pria dewasa, sedangkan aku juga sudah dewasa. Kita sama-sama orang dewasa. Bahaya," ucap Irene sambil menyilangkan tangannya. Memberikan kode keras pada Zayn untuk pria itu tak melanjutkan aksinya.
"Istriku yang cantik, yang dewasa. Kita kan sudah suami istri, tidak masalah aku melakukannya. Lagipula aku juga tidak akan macam-macam."
"Jangan Zayn!" Irene tetap pada pendiriannya.
"Oh, apa tamumu itu masih ...,"
"Tidak! Bukan soal itu, aku malu."
Dua orang itu masih terus berdebat dalam kamar mandi. Sampai seorang suster terdengar berucap dari dalam kamar.
"Maaf, Tuan. Saya perawat yang bertugas mengantar makan malam juga obat untuk pasien," ucapnya setengah berteriak.
"Oh, suster taruh saja di atas nakas," Zayn menyahut.
"Sudah, Tuan. Maafkan saya yang lancang masuk begitu saja, saya sudah berulang kali mengetuk pintu tapi tidak ada yang menjawab," katanya, lagi.
"Tidak apa-apa. Terima kasih."
"Sama-sama. Saya permisi Tuan."
"Ya."
Selang beberapa menit kemudian. Irene telah kembali duduk di brankar dengan meja lipat berisi makanan di depannya, setelah drama panjang di dalam kamar mandi yang berjalan cukup alot. Melihat wajah Irene yang masam, dapat dipastikan kalau Zayn lah pemenangnya.
Dengan segala bujukan dan janji untuk tidak akan membuka matanya, Zayn membuat istrinya itu menuruti perkataannya.
"Makan yang banyak! Kau harus meminum obatmu secara teratur agar cepat sembuh," tutur Zayn. Sesekali tangannya bergerak untuk menyuapi wanitanya.
Irene terus mengerucutkan bibirnya, Zayn membujuknya untuk menghabiskan makanannya sementara dia sedang tidak bernafsu. Benar-benar orang ini. Pemaksa.
"Sudah saatnya minum obat, Tuan Putri."
"Nanti saja," tolak Irene, halus.
"Aku bilang sekarang! Kau mau cepat sembuh kan?"
"Pemaksa," dengusnya sebal.
"Demi kebaikanmu," kata Zayn.
Zayn meraih segelas air dan menyodorkannya pada Irene, sementara gadis itu bersiap mengambil butiran dalam wadah kecil.
Prang!
"Apa yang kau lakukan, Al!" hardik Zayn, murka.
Belum sempat Irene menelan pil tersebut, Albert tiba-tiba masuk dan membuang wadah berisi obat hingga menyebabkan isinya berhamburan. Saking terkejutnya, Irene sampai tak sadar menjatuhkan gelas dalam genggamannya.
Albert menarik tangan Zayn dan membawanya sedikit menjauh dari Irene.
"Ada apa?" tanya Zayn, penasaran.
Albert mendekatkan kepalanya, lalu membisikan sesuatu di telinga pria itu. Sepersekian detik, sorot mata Zayn berkobar penuh kilatan api amarah. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal, serta nafas yang memburu.
Bersambung ....