25. Apakah ini mimpi?

1678 Words
Zayn menatap wajah cantik yang sepertinya masih enggan meninggalkan pulau mimpinya. Tangannya sengaja ia tautkan dengan tangan Irene, juga kening gadis itu yang tak luput dari bibirnya setelah kecupan bertubi-tubi Zayn hadiahkan padanya. Mata itu masih terpejam rapat, tak peduli sebanyak apapun Zayn memohon. "Baru beberapa hari kau menjadi istriku, tapi aku telah gagal menjagamu. Apa yang akan aku katakan pada Ayahmu, nanti?" Zayn mengusap butir bening yang meluruh. Dipukuli dadanya sendiri, berharap dengan begitu bisa mengurangi rasa sesak yang seolah membunuhnya secara perlahan. Pria itu bergegas menyeka wajahnya saat mendengar seseorang mengetuk pintu. Tak lama setelahnya, muncul dua wanita cantik yang telah lama ia kenal. "Selamat pagi, Zayn," sapa Shopia. "Pagi, Tante, Tiffany." Zayn menampilkan seulas senyum di bibirnya, senyum yang dipaksakan. "Bagaimana keadaan Irene?" Tiffany menaruh buah tangan yang sengaja dibawanya, di atas nakas. "Masih belum sadar," lirih Zayn. "Hm, aku sengaja datang kemari pagi-pagi begini karena aku sangat mencemaskannya." Tiffany mendekati brankar, tangannya terulur untuk mengelus kepala Irene. "Kasihan sekali dia," gumamnya. 'Syukurlah! Aku berdoa semoga saja kau segera menyusul ayahmu. Hidupku menjadi sangat berantakan semenjak kehadiranmu.' "Hm, omong-omong di mana Mommy kamu? Tidak mungkin kan dia berada di yayasannya sementara menantu kesayangannya terbaring di rumah sakit?" Shopia mendaratkan bokongnya di sofa, melipat kedua kakinya dengan anggun. "Mommy baru saja pulang, ada banyak urusan yang tidak bisa dia tinggalkan," Zayn menyahut. "Urusan sepenting apa sampai meninggalkan menantunya begini," sinis wanita paruh baya itu. "Mom," Tiffany menegur ibunya yang dinilai mulai bicara kelewat batas, membuat Shopia mendengus sebal. "Jangan berpikiran macam-macam, aku yakin Irene akan baik-baik saja," ucapnya sambil mengusap lengan Zayn. "Aku harap begitu. Mohon doanya ya." 'Dengan senang hati, akan aku doakan supaya bebek jelek ini segera menyusul ayahnya saja.' "Tentu saja. Aku dan keluargaku turut mendoakan istrimu." "Terima kasih," cicit Zayn tulus. Setelah berbincang sebentar, Tiffany mengajak Shopia untuk berpamitan pada Zayn. Satu jam berada di dekat pria itu cukup membuat hati Tiffany berbunga-bunga. Ya, meskipun dia akui. Hubungannya dengan Zayn tak lagi hangat seperti dulu. Tiffany merasa Zayn menjauhinya semenjak pria itu menikah. "Kenapa mendadak wajahmu menjadi murung begitu, Sayang? Bukankah kau sudah bertemu dengan tambatan hatimu itu?" "Memang, tapi tetap saja ada pengganggu," sahut Tiffany, kesal. "Jangan marah-marah begitu, tak baik untukmu. Berapa kali Mommy bilang, Zayn akan menjadi milikmu. Kalau bukan Zayn yang meninggalkan Irene, akan kita buat Irene yang meninggalkan suaminya. Itu kuncinya, Sayang." Shopia menggenggam jemari putrinya. Sejak kecil Shopia memang selalu berusaha menuruti setiap keinginan putrinya, apapun itu. Tak terkecuali. Sikapnya yang terlalu memanjakan Tiffany membuat putrinya itu tumbuh menjadi gadis yang arogan, sombong, besar kepala dan sangat ambisius. Namun, Shopia tak terlalu memusingkannya, baginya Tiffany adalah permata hatinya yang selalu membanggakan. "Tapi aku tidak yakin, Mom." Sontak, Shopia menghentikan langkahnya. Ia menatap lekat wajah putri pertamanya itu. "Kau meragukan Mommy?" tanyanya. "Tidak! Bukan itu maksudku, Mom," Tiffany menampik. "Percaya sama Mommy, kau cukup mendengarkan arahan dan mengikuti apa yang Mommy perintahkan. Zayn pasti akan menjadi milikmu," janji Shopia. Gadis itu mengangguk. Lalu, keduanya mulai kembali melangkah meninggalkan rumah sakit tersebut. "Ini semua karena salahmu juga! Coba jika kau tidak terlalu terobsesi untuk menjadi model terkenal. Kalian pasti sudah menikah." Bibir Tiffany mengerucut. Sebal bukan main jika ibunya sudah mengomelinya. Padahal Shopia tahu kalau menjadi model terkenal adalah sudah menjadi impiannya sejak kecil. Dia memiliki segudang kelebihan yang dapat menunjang kariernya, dan usahanya selama ini tidak sia-sia. "Mommy kan tahu, kalau kakek tua di istana Xavier itu tidak pernah menyukaiku, jadi mustahil kami menikah pun seandainya aku tidak sibuk mengejar karierku." "Itu perkara mudah, Sayang. Hera pun sepertinya tidak menyukai menantunya, dan dia bisa kita bujuk dengan mudah," ujar Shopia. "Tapi sayangnya Mommy salah. Tante Hera sangat menyukai Irene, Mommy saja yang tidak tahu." "Kau masih terlalu muda untuk tahu, Sayang. Kau tahu, jarak antara suka dan benci itu sangat tipis. Kita hanya perlu melakukan sedikit manipulasi dan ... kau lihat saja nanti apa yang akan terjadi pada gadis kampung anaknya Maxim itu. Selama kau menuruti apa kata Mommy, semuanya akan berjalan sesuai dengan rencana," celotehnya. Kedua wanita itu berpisah di parkiran. Mereka membawa mobil masing-masing mengingat tempat kerja mereka yang berjauhan. *** "Kapan kau akan bangun, Ren? Kau betah sekali tidur. Apa kau tidak rindu memakaikan dasi sebelum aku berangkat kerja? Ayolah, bangun!" Zayn masih setia menjaga Irene di sana. Pintu di ketuk. "Maaf, Tuan. Tuan Albert sudah datang, ingin bicara dengan Anda," beritahu Bryan. "Hm." Zayn beringsut dari kursinya. Mengecup kening Irene sebelum dia meninggalkan ruangan itu. "Kau menemukan sesuatu? Sebuah petunjuk atau ...," Zayn diam memperhatikan Albert yang terus menundukkan kepalanya sejak pria itu datang menemuinya. Pria itu membuang nafas kasar. Apa mungkin ketakutannya akan benar-benar terjadi? "Tidak ada satupun yang bisa kau jadikan petunjuk, Al?" tanya Zayn, memastikan. "Mohon maaf, Tuan." Zayn sudah bisa menebaknya sekarang. "Sepertinya ada yang telah meretas rekaman cctv yang ada di rumah, Tuan," ungkap Albert. Ada begitu pertanyaan yang bergelayutan di benak Zayn, tapi pria itu tahu kalau sepertinya apa yang sedang mereka alami sekarang bukanlah persoalan kecil. Albert jarang sekali mengecewakan dirinya, selama ini kinerjanya sangat bagus. Jika sudah begini, tidak ada yang bisa Zayn lakukan. Bertanya pun percuma, Albert belum bisa memberikan jawaban yang dapat memuaskannya. "Sepertinya, pelakunya adalah orang dalam. Dilihat dari cara kerjanya yang sangat rapi dan terencana." "Jika ada orang yang patut dicurigai untuk itu, menurut kalian siapa pelakunya?" Zayn beralih menatap satu persatu bawahannya. "Satu nama! Aku ingin dengar beserta alasannya," sambung Zayn. Dari ketiga pria yang saat ini tengah menghadap Zayn, tak ada satupun dari mereka yang menjawab. "Kalian tidak bisu kan?" Zayn mulai menaikkan volume suaranya. "Katakan apapun itu, yang ingin kalian katakan!" "Tiffany," satu kalimat yang lolos dari bibir Hans. Zayn beralih menatap pria itu. Laki-laki yang usianya hanya selisih tiga tahun darinya, sudah Zayn anggap layaknya kakak karena pengabdiannya yang begitu tulus selama ini. "Sudah bukan rahasia lagi kalau Nona Tiffany sangat menginginkan Anda untuk menjadi suaminya. Masalah yang terjadi tempo hari, kita semua tahu itu adalah perbuatannya dan Anda berusaha mengabaikannya karena memikirkan hubungan persahabatan kalian," beber Hans. "Tapi kita tidak bisa mengambil kesimpulan tanpa bukti yang kuat," sela Albert. "Cukup Al! Biarkan dia bicara," sahut Zayn, memberikan ruang untuk Hans mengatakan pendapatnya. "Saya tahu mungkin saya lancang, tapi di sini saya hanya ingin mengungkapkan apa yang menurut saya harus saya katakan pada Anda. Anda sendiri tahu betul kenapa saya melakukannya." Hans memberanikan diri menatap Zayn. Pria yang biasanya menyoroti lawan bicaranya dengan tatapan dingin, kini tengah menatapnya sayu. Zayn mengangguk, mengkode agar Hans kembali melanjutkan ceritanya. "Maafkan jika saya salah. Yang saya tahu, Nona Tiffany sangat membenci istri Anda. Oh, ayolah! Kita semua tahu wanita seperti apa dia," lanjut Hans. "Kau punya bukti yang dapat menguatkan asumsimu?" "Belum. Jujur saya memang tidak memiliki bukti apapun, tapi melihat caranya menyerang Nona Irene sebelumnya. Membuat saya pun mencurigainya untuk kasus kecelakaan ini." Zayn meraup kasar wajahnya. Mana mungkin gadis yang dia kenal baik sejak kecil, menjadi jahat hanya karena dia menikah dengan gadis lain? "Sudah selesai?" "Sudah, Tuan," Hans menjawab. "Apa ada lagi yang ingin kalian sampaikan?" "Sepertinya kita harus membahas ini, ada yang perlu diluruskan. Pada saat kejadian, Nona Tiffany juga sebelumnya ikut pergi dengan Tuan ke bioskop. Saya juga pastikan kalau Nona Tiffany langsung pulang ke rumah begitu dia meninggalkan gedung bioskop," beber Albert. "Kesimpulannya?" "Ada interval sekitar empat puluh lima menit sejak Nona menginjakkan kakinya di rumah sampai kecelakaan itu terjadi. Jarak dari rumah Nona Tiffany menuju rumah Tuan adalah sekitar dua puluh lima menit. Sedangkan jarak dari bioskop menuju rumahnya juga sama, dua puluh lima menit. Nona Tiffany tidak mungkin memiliki waktu untuk menuangkan minyak di anak tangga sekalipun dia sudah berusaha mengebut. Fakta yang kedua, saya sudah tanyakan kepada seluruh penghuni rumah dan mereka sepakat menjawab kalau mereka hanya melihat Nona Tiffany datang pada pagi harinya saja," beber Albert. "Masuk akal," balas Zayn. Pria itu menganggukan kepalanya usai Albert berceloteh panjang lebar kali tinggi, sependapat dengannya. "Di sini apa yang saya katakan adalah fakta, bukan karena membelanya. Yang saya takutkan hanya satu, pelakunya masih berkeliaran. Lalu apa yang akan terjadi kalau sampai kita waspada dengan orang yang salah, apa malah tidak semakin membahayakan nyawa Nona Irene?" "Lalu siapa pelakunya? Apa yang melatarbelakangi dia melakukan itu pada Irene? Kau tahu Irene termasuk baru kan di sini, dia tidak mungkin memiliki musuh," ujar Zayn. "Itu yang masih menjadi rahasia. Besok saya akan interogasi ulang para pelayan. Mohon izin untuk saya melakukan tindakan jika terbukti ada bukti yang mengarah pada mereka," izin Albert. "Lakukan!" titah Zayn. Rapat rahasia itu pun berakhir. Orang-orang kembali dengan pekerjaannya masing-masing. Dengan langkah lebar Zayn kembali memasuki bangsal pesakitan istrinya. Zayn meraih sebotol air untuk membasahi kerongkongannya yang terasa kering, baru setelahnya dia duduk sambil memegangi tangan Irene. "Aku sangat lelah, biasanya kau yang akan memijit bahuku selepas aku pulang dari kantor. Aku memang tidak berangkat ke kantor hari ini, tapi tetap saja aku merasa lelah. Lelah karena kamu terus mendiamkan aku dan kau tahu, ini sangat membosankan," gerutunya, seakan-akan Irene dapat mendengarkan ocehannya. Pria itu kemudian menundukkan kepalanya, menjadikan kedua tangannya yang terlipat sebagai bantal. "Aku sangat merindukanmu, merindukan semua yang ada dalam dirimu. Aku mohon bangunlah! Apa kau tidak merindukan aku?" Suara Zayn mulai memberat, lalu detik berikutnya terdengar isak tangis lirih. Zayn menangis. Dia ingat terakhir kali dia menangis, itu sudah sangat lama ketika dia ditinggal pergi ayahnya untuk selama-lamanya. Namun, hari ini dia kembali dibuat menitikkan cairan yang sangat dia benci. Zayn benci terlihat lemah di depan orang, istrinya sekalipun. "Aku juga merindukanmu." Zayn yang setengah sadar karena menahan kantuk, merasa mendengar suara Irene. Namun, Zayn memilih mengabaikannya. Dia berpikir mungkin itu hanyalah halusinasi saja. Hingga tiba-tiba, Zayn merasa seseorang mengusap kepalanya dengan begitu lembut. Pria itu meraba tangan yang masih terus bergerak mengusap surainya. Perlahan Zayn mengangkat kepalanya. Hampir tak percaya, cairan yang menggenang di pelupuk matanya kini berdesakan dan menjatuhkan diri saat melihat mata bening itu sedang menyorotinya. Irene, wanitanya telah sadarkan diri. Jantung Zayn kian berpacu lebih cepat. Tatapan itu adalah tatapan yang telah lama Zayn rindukan. "Apakah ini mimpi?" Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD