27. Istri selalu menang

1584 Words
Albert baru saja pulang dari kantor. Sudah dua hari Zayn cuti, dan selama itu pula dialah yang mengambil alih semua pekerjaan. Lelah, kantuk, lengkap dengan tubuh yang seperti remuk redam, tak menghentikan langkahnya untuk menuju rumah sakit. Ada banyak hal yang harus dia laporkan setiap harinya pada Zayn. Sambil menenteng tas kerja yang selalu dibawanya kemanapun dia pergi, lelaki itu masuk ke dalam alat angkut. Memencet tombol tujuh, sesuai dengan lantai yang ditujunya. Tak butuh waktu lama, pria itu pun sudah keluar dari sana. "Ya, saya sudah memberikan obat yang Anda berikan. Mereka tidak akan tahu kalau obat yang saya berikan adalah obat yang berbeda dari yang dokter resepkan." "...." "Tenang saja, saya sudah pastikan gadis itu akan meminumnya." "...." "Ya, kebetulan sekali sasaran kita sedang ada di kamar mandi tadi." Seorang perawat yang memakai masker terlihat sedang bertukar info dengan seseorang di seberang sana. "Tenang saja, saya sudah memastikan semuanya berjalan dengan lancar sesuai perintah Anda. Nona Irene akan segera berakhir di pemakaman." Deg! Albert yang sempat berpapasan dengan perawat itu pun seketika menghentikan langkahnya. Pria itu berbalik untuk mengejar si perawat, tapi sayangnya bersamaan dengan itu pintu lift tertutup sebelum dia sempat melihat dari dekat pelakunya. "Argh! Sial!" Awalnya Albert berniat mengejarnya, tapi dia kemudian mengambil langkah seribu menuju ruang rawat Irene karena teringat ucapan perawat tadi. Albert mendengarnya dengan jelas, dia tidak mungkin salah. Pria itu terus berlari menyusuri lorong panjang yang jaraknya masih cukup jauh dari tempat majikannya berada. Dengan nafas terengah, Albert langsung membuka pintu tanpa mengetuknya terlebih dulu. Lupakan sopan santunnya karena nyawa Irene adalah yang terpenting saat ini. Prang! "Apa yang kau lakukan, Al!" hardik Zayn, murka. Belum sempat Irene menelan pil tersebut, Albert tiba-tiba masuk dan membuang wadah berisi obat hingga menyebabkan isinya berhamburan. Saking terkejutnya, Irene sampai tak sadar menjatuhkan gelas dalam genggamannya. Albert menarik tangan Zayn dan membawanya sedikit menjauh dari Irene. "Ada apa?" tanya Zayn, penasaran. Albert mendekatkan kepalanya, lalu membisikan sesuatu di telinga pria itu. Sepersekian detik, sorot mata Zayn berkobar penuh kilatan api amarah. Rahangnya mengeras dengan tangan terkepal, serta nafas yang memburu. "Ada apa Zayn?" Zayn dapat menangkap kepanikan dalam diri istrinya. Ini merupakan salah satu hal yang dia benci, di mana dia harus berpura-pura baik dan menyembunyikan masalahnya dari Irene. Padahal sejujurnya, dalam hatinya sedang berkecamuk. "Tidak ada apa-apa. Albert saja yang berlebihan, dia bilang ada sedikit masalah di kantor." Zayn berusaha untuk terlihat biasa saja di depan Irene. "Tapi kenapa wajahmu sangat menyeramkan seperti itu? Kau terlihat seperti orang yang sedang marah," tukas Irene. "Tidak," elak Zayn. "Sungguh?" "Ya. Hm, aku akan keluar sebentar. Kau tetaplah di sini ya! Biar aku suruh orang untuk membersihkan pecahan gelas itu," kata Zayn. "Kau mau ke mana? Obatku bagaimana?" "Aku hanya akan bicara di luar, sebentar saja jadi jangan khawatir. Perawat akan datang untuk memberikan obatmu yang baru." Irene masih memasang wajah masam meskipun Zayn sempat menghadiahi kecupan di keningnya sebelum dia pergi. Begitu memastikan pintu telah tertutup sepenuhnya, Zayn segera menarik Albert menuju tempat yang biasa mereka gunakan untuk berdiskusi. Zayn memang memesan kamar khusus untuk menciptakan suasana nyaman agar Irene segera sembuh. Sebagian besar saham di rumah sakit itu adalah menjadi miliknya. Bisa dibayangkan pelayanan seperti apa yang Irene dapat di sana. Ruangan mewah dengan segudang fasilitas yang lebih mirip seperti hotel mewah. "Apa benar yang kau bicarakan tadi?" tanya Zayn begitu memastikan tidak ada yang dapat mendengar pembicaraan mereka. "Saya tidak mungkin mengarang cerita, Tuan. Saya mendengarnya langsung dengan telinga saya!" tegas Albert. "Huh, masalah yang satu saja belum selesai. Sudah timbul masalah baru lagi." "Saya akan langsung menyelidikinya, Tuan. Akan saya temui pihak rumah sakit karena telah melakukan kelalaian yang bisa mengancam nyawa Nona." "Dan kau mau membuat keributan? Oh, ayolah Al, kau sudah berapa lama ikut denganku? Apa aku masih perlu mengajarimu cara bekerja yang baik." Zayn menatap lurus pria di depannya. Albert menunduk, menyadari kesalahannya kali ini. "Jangan terbawa emosi! Kau sendiri yang mengatakannya padaku, kalau kita bisa melakukan semuanya secara tersembunyi. Agar pelaku tetap merasa aman dan tidak tahu pergerakan kita," cetus Zayn. Kali ini Albert mengangguk, tanda dia telah paham dengan keinginan Zayn. "Maafkan saya, Tuan," lirihnya. "Tidak masalah." "Tuan, ini obat yang berhasil saya temukan dari kamar Nona." Hans mendekat, lalu memberikan benda yang dimaksud pada Zayn. "Biar saya yang akan mengurusnya, Tuan. Anda akan mengetahui hasilnya, secepatnya." Zayn mengangguk. Dia mengangsurkan butiran obat tersebut pada asistennya setelah sempat melihatnya sekilas. "Ingat! Jangan sampai ada yang tahu mengenai masalah ini, termasuk Kakek!" tegas Zayn. "Baik Tuan." Albert dan Hans menyahut bersamaan. Kedua pria itu pun bergegas meninggalkan Zayn yang masih terpekur di tempatnya. Pelaku penyiram minyak saja belum ditemukan, muncul lagi masalah baru. Seseorang dengan sengaja menukar obat Irene dan menggantinya dengan obat lain yang kemungkinan berbahaya. 'Kira-kira siapa dalang dibalik semua ini? Kenapa mesti Irene yang dijadikan sebagai sasaran. Apa sebenarnya tujuan mereka, dan jika memang mereka berasal dari pesaing bisnisku, kenapa tidak aku saja yang dijadikan targetnya?' Zayn menatap pemandangan malam Ibukota yang terlihat menakjubkan jika dilihat dari tempatnya berdiri. Kerlap kerlip lampu yang menyala juga berbagai bangunan yang terlihat mengecil bak miniatur. "Tuan." Zayn terkesiap. Dengan cepat dia berbalik badan saat mendengar Hans memanggilnya. "Ada apa?" "Nona memanggil Anda sejak tadi, tapi sepertinya Anda tidak mendengarnya," beritahu Hans. "Benarkah?" "Iya, Tuan. Segeralah ke sana." Zayn bergegas menuju kamar Irene, takut terjadi sesuatu pada gadis yang perlahan mulai memasuki ruang hatinya itu. 'Terlalu larut memikirkan banyaknya pertanyaan yang tak kunjung aku temukan jawabannya, sampai aku tidak sadar kalau aku ternyata cukup lama berdiri di sana,' Zayn merutuki dirinya. "Ada apa, Ren?" tanyanya lembut. "Tadi kau bilang hanya sebentar, tapi kenyataannya aku sudah menunggumu selama empat puluh tiga menit dua belas detik," sahut Irene sambil menunjukkan ponselnya pada Zayn. "Kau sampai menghitungnya?" "Tentu saja! Sebentar itu lima menit Zayn, sepuluh menit. Kalau sudah di atas itu sudah masuk kategori lama." "Ya baiklah, maaf." Zayn menaiki bed rumah sakit dan menghimpitkan tubuhnya pada tubuh mungil Irene. Zayn mengacak rambut istrinya saat melihat Irene masih terus mengerucutkan bibirnya. "Aku kan sudah minta maaf, kenapa masih cemberut begitu?" "Aku lapar," cicit Irene. "Ish! Aku sudah menyuapimu sebelum aku keluar tadi, belum ada satu jam aku meninggalkanmu dan kau bilang sudah lapar sekarang?" Irene masih diam, malah dengan sengaja dia memalingkan wajahnya seolah menghindari Zayn. "Ya sudah, mau makan apa?" Zayn mengalah. Pernah sekali dulu dia tidak sengaja mendengar percakapan Hans dan Bryan yang kedapatan sedang membicarakan rumah tangganya. Mereka bilang kalau mencari ribut dengan istri, alamat buruk. Bisa mengakibatkan tragedi yang bahkan lebih menyeramkan dari pada perang dunia ke tiga. Hans bilang, biarkan istri selalu menang, maka rumah tangga akan damai tentram. Dulu Zayn juga tidak mempercayainya dan menganggapnya hanya sebagai angin lalu, tapi setelah sekarang mengalaminya sendiri barulah Zayn tahu. Untuk pertama kalinya dia mendengar nasehat yang baik dari anak buahnya. "Pizza." "Hm. Biar aku pesankan online saja," Zayn menyahut. Pria itu mulai berselancar dengan benda pipih nan canggih yang baru dibelinya beberapa hari, karena ponsel yang lama rusak. Tak sengaja Zayn banting sewaktu kejadian di tangga tempo hari. "Tidak mau!" seru Irene. "Lho, tadi katanya minta dibelikan pizza." "Aku minta dibelikan langsung di tempatnya, bukan memesan melalui aplikasi!" tegas Irene. "Apa bedanya," tukas Kai. "Tidak mau, ya tidak mau!" 'Jangan sampai apa yang pernah dikatakan oleh Hans dan Bryan menjadi kenyataan.' Zayn mengelus dadanya, seolah berkata 'sabar'. "Baiklah." Detik berikutnya, wajah Irene berubah seratus delapan puluh derajat dari sebelumnya. "Zayn," panggilnya sambil menarik lengan kemeja suaminya. 'Astaga, menyesal aku tidak sempat melihat istrinya Paman Maxim. Sumpah demi apa aku penasaran, secantik apa ibunya sampai melahirkan bidadari secantik ini.' "Auw!" Zayn meringis saat Irene menggigit pipinya. "Aku tahu kau lapar, tapi aku kan bukan makanan." "Siapa suruh melamun! Cepat panggilkan orang untuk membelinya Zayn, atau tokonya akan tutup kalau kau terlalu lama melamun," cibir Irene. "Baiklah Tuan Putri." Zayn bersiap untuk bangkit dari tempat tidur Irene sampai tangan Irene kembali melingkar di perutnya. "Aku takut kau lama lagi, panggil saja mereka ke sini." 'Manis sekali dia.' "Bisa tolong tanganmu dikondisikan? Jangan seperti ini, aku ...," "Kau tidak suka aku memelukmu," ketus Irene. "Bukan begitu," sergah Zayn, cepat. "Lalu apa?" "Iya, ya. Baiklah." Zayn menghirup nafas dalam-dalam, bersiap untuk menghadapi sesuatu yang tidak terduga. "Bry ...," "No! 'Apalagi, ya Tuhan.' Zayn ingin sekali menjerit. "Aku mau Paman Hans yang membelinya." Zayn tergelak. Hans hanya selisih tiga tahun lebih tua darinya, dan Irene memanggilnya dengan sebutan 'Paman'. "Kenapa tertawa." Gadis itu benar-benar. Sedang ketus begitu pun kenapa terlihat tetap cantik dan menggemaskan. Lagi-lagi Zayn mengurut dadanya. "Dia hanya tiga tahun dariku dan kamu memanggilnya Paman?" Zayn tak lagi mampu menahan tawanya. "Berarti aku selisih sebelas tahun dengannya, wajar kalau aku memanggilnya 'Paman' kenapa memangnya?" "Ya sudah, terserah kau saja!" Irene mencebik saat Zayn mencubit pucuk hidungnya. "Hans!" teriaknya. Pintu diketuk, tak berselang lama yang dipanggil pun mendekat. "Saya Tuan." "Pergilah untuk membeli makanan!" titah Zayn. "Baik Tuan." "Katakan kau mau dibelikan apa." Zayn menatap Irene, lalu menunjuk Hans dengan dagunya. "Sebelumnya saya ingin mengatakan kalau Paman tidak boleh sampai lupa. Semua pesananku harus dapat! OK." Irene membentuk lingkaran dengan ibu jari dan telunjuk yang menyatu. "Baik, Nona," Hans menyahut. "No! Paman harus mengikutiku, OK?" menunjukkan jarinya, meminta pria yang berpakaian serba hitam itu untuk mengikuti gerakan tangannya. 'Astaga, ternyata dia tidak seanggun yang aku kira.' Hans berusaha menahan tawanya melihat tingkah konyol Nonanya yang selalu dia puji-puji. Dengan sangat terpaksa, akhirnya Hans dapat menyelesaikan misi pertama dari Irene. Hal itu tak luput dari perhatian Zayn, dan membuat pria itu terbahak. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD