24. Teka teki

1506 Words
Titik air dari langit mulai berlomba untuk menjatuhkan diri ke bumi. Riuh suaranya terdengar bersahutan memenuhi indra rungu, bak melodi yang mengalun berduet dengan guntur yang menyambar. Raut wajah Zayn nampak sangat kusut, matanya yang memerah terkadang masih meneteskan air meskipun ini sudah lebih dari satu jam sejak kejadian jatuhnya Irene dari tangga. Pria berusia kepala tiga itu mengalihkan pandangannya. Di salah satu bangku penunggu, terdapat tubuh renta berbalut sweater tebal sedang menggenggam tongkat, sedikit bergetar. "Sebaiknya Kakek pulang saja. Udara dingin tidak baik untuk kesehatanmu," bujuk Zayn. Zayn memang hancur karena melihat kecelakaan yang terjadi pada Irene, tepat di depan matanya. Namun, dia tak boleh terus larut dalam kesedihannya. Ada banyak hal yang harus dia lakukan, termasuk menjaga Vernon. Jangan sampai pria tua itu mengalami penurunan kesehatan hanya karena menunggui cucu menantunya. "Biarkan Kakek tidur di sini malam ini," Vernon menyahut. "Dan membiarkan Irene memarahiku ketika dia sadar nanti," sambar Zayn. Vernon membuang nafas kasar. Kecemasan yang begitu besar tergambar jelas pada raut wajah yang telah berkeriput itu. "Setidaknya sampai dokter keluar untuk memberitahukan kondisi terkini Irene." "Baiklah." Zayn mengalah, toh kakeknya akan pulang begitu mengetahui kondisi istrinya nanti. Dia paham betul kalau Vernon sangat mencemaskan Irene. Seorang dokter yang didampingi dua orang perawat muncul begitu pintu terbuka lebar. Zayn membimbing kakeknya mendekati dokter itu. "Bagaimana kondisi istri saya, Dok?" "Untunglah istri Anda hanya mengalami cedera kepala ringan, hanya saja akibat dari benturan yang cukup keras di kepalanya menyebabkan luka robek sehingga diperlukan jahitan di beberapa bagian." "Seberapa parah lukanya, Dok?" Vernon buka suara. "Tidak separah yang Anda pikirkan. Kami sudah memberikan pengobatan yang maksimal dan telah memindahkan pasien pada bangsal rawat," jelas dokter itu. Zayn sempat menanyakan banyak hal pada dokter itu terkait kondisi Irene, sementara dokter itu pun melakukan tugasnya dengan baik. Perasaan lega melingkupi Zayn begitu mendengarkan penjelasan dokter dengan seksama. Masih ada kecemasan dalam dirinya, tapi tidak seperti sebelumnya. Zayn tak hentinya bersyukur karena Irene tidak mengalami cedera berat seperti yang ada dalam pikirannya. "Kakek sudah mendengarnya kan? Irene baik-baik saja. Dia gadis yang kuat dan aku yakin dia akan lebih cepat pulih." "Ya sudah. Kakek akan pulang, kau baik-baik di sini ya," sahut Vernon. "Astaga, Kek! Aku ini sudah dewasa, Kakek masih saja memperlakukan aku seperti puluhan tahun lalu saat aku masih berseragam merah putih," gurau Zayn. "Karena bagi Kakek, kau tetaplah cucu kecilku." Zayn mengerucutkan bibirnya. Sedekat itulah mereka. Terlebih sepeninggal putra semata wayang Vernon yang merupakan ayah Zayn. Jadilah pria lintas generasi itu sepenuhnya saling berbagi perasaan. *** Malam makin beranjak naik. Tangisan alam sudah mulai mereda saat ini, tapi menyisakan kebekuan yang menusuk. Zayn duduk menunggu dengan gusar. Pria itu tengah menantikan kedatangan asistennya, ada banyak hal yang ingin dia tanyakan. Zayn melirik ke arah pintu begitu mendengar derap langkah kaki yang kian dekat. Tak lama setelahnya, seseorang mengetuk pintu dan benar saja, pria yang telah ditunggu-tunggu oleh Zayn itu telah muncul. "Kita bicara di luar saja," ucap Zayn setengah berbisik. Albert mengangguk, kemudian keduanya pun meninggalkan ruang rawat Irene. "Bagaimana, apa kau menemukan sesuatu?" tanya Zayn, tak sabar. "Minyak," kalimat pertama yang lolos dari bibir Albert. "Minyak?" Zayn mengerutkan keningnya. "Benar, Tuan." "Jadi maksudmu, ada orang yang menginginkan Irene celaka?" mata Zayn terbuka sepenuhnya, padahal sebelumnya dia sudah merasa ngantuk. "Ada orang yang dengan sengaja menumpahkan minyak pada anak tangga itu, lantas apalagi yang harus kita pikirkan?" "Apa? Kau tidak salah kan?" "Saya yakin, Tuan. Dan jika dilihat dari tingkat keberhasilannya, saya curiga kalau pelakunya adalah orang terdekat," jelas Albert. "Huh! Mustahil. Kau sudah memeriksa cctv-nya?" "Sudah Tuan, tapi ...," "Tapi apa!" potong Zayn, cepat. "Tidak ada satu pun yang menampakkan kejadian aneh sebelum kecelakaan itu terjadi," sahutnya sambil menunduk. "Jadi maksudmu, ada seseorang yang menginginkan nyawa istriku? Di rumahku sendiri dan kau tidak tahu siapa pelakunya?" Tangan Zayn terkepal, lalu dinginnya tembok dapat dia rasakan pada saat Zayn menjadikannya samsak. "Tuan, jangan seperti ini! Saya mohon tenanglah!" Albert berusaha menghalangi Zayn yang berniat untuk kembali menyakiti dirinya. "Seseorang merencanakan kejahatan untuk menyakiti istriku. Membahayakan nyawanya hingga dia terkapar tak berdaya di sana, dan kau menyuruhku untuk tetap tenang!" hardik Zayn. "Pelakunya mungkin sedang bersorak kegirangan di luar sana, Al," imbuhnya. "Tolong, Tuan. Jangan seperti ini! Tuan harus tetap tenang. Percayalah, secepatnya kita akan segera mengetahui dalang di balik semua ini." Zayn meraup nafas dalam-dalam. Ia merasakan dadanya begitu sesak. Kilatan kejadian buruk itu seolah terekam di otaknya. "Aku tidak mau tahu, Al. Secepatnya, kau harus sudah mengantongi nama pelakunya." "Anda tidak perlu mencemaskan soal itu, Tuan. Sebaiknya, sekarang Anda masuklah ke dalam, kami akan selalu berjaga di sini." Zayn mengangguk. Pria itu sempat menepuk pundak Albert sebelum akhirnya dia pergi dari sana. Meninggalkan Albert dengan kepala yang hampir meledak karena masih belum menemukan titik terang mengenai kecelakaan ini. Zayn memegangi dadanya. Sakit, sesak dan bergemuruh, tapi itu saja mungkin belum sanggup mewakilkan semua yang tengah dia rasakan saat ini. Pria itu menggeleng pelan sambil mengusap butir bening sebelum luruh dan semakin deras. "Maafkan aku. Ini semua salahku. Seandainya saja aku tidak sibuk berbalas pesan, mungkin kejadiannya tidak akan seperti ini," monolognya, penuh sesal. "Cepatlah bangun! Kau sudah mengacaukan hariku dan kau harus bersiap untuk dihukum," sambungnya. Sungguh, Zayn tidak ingin menangis hanya karena hal seperti ini tapi hatinya berkata lain. Nyatanya, kristal bening itu malah semakin berhamburan dan membasahi wajah tampannya. Pria itu tergugu, larut dalam tangis dan sesal yang bercampur menjadi satu dan semakin membuatnya tertekan. Mengakibatkan pria itu tumbang hingga tak mampu menahan kantuknya. Zayn tertidur dengan melipat kedua tangannya di ranjang pesakitan Irene. *** Zayn baru saja keluar dari kamar mandi untuk mencuci muka, bertepatan dengan datangnya Hera. "Mom," lirihnya. "Sayang, bagaimana bisa ini terjadi? Sekarang bagaimana keadaannya, maafkan Mommy karena baru sempat kemari. Ada salah satu balita penghuni panti yang dinyatakan terkena kanker, dan Mommy harus mengurus segala mac ...," "Tidak apa-apa, Mom. Zayn tahu kalau Mommy sibuk," Zayn menyela. "Oh, menantuku yang malang, apa dia belum sadar juga?" tanyanya sambil mengusap kepala Irene. Zayn menggeleng lemah. "Kau pasti lelah semalaman menjaganya. Pergilah sarapan, biar Mommy yang jaga di sini." "Nanti saja, Mom. Zayn belum lapar," tolak Zayn. "Mana bisa begitu! Kau harus tetap mengisi perutmu. Kau harus makan biarpun tidak merasa lapar." wanita itu kemudian mendekati putranya. "Untuk menjaga Irene, kau harus tetap sehat bukan? Pergilah makan dan jangan berpikiran macam-macam. Irene gadis yang kuat, dia pasti akan segera bangun. Percaya sama Mommy." Zayn yang mulai terpengaruh oleh ucapan Ibunya pun memilih untuk menurut. Pria itu di sambut dengan raut wajah lelah para bawahannya begitu dirinya keluar dari ruangan tersebut. Jelas sekali karena mereka pasti tidak tidur semalaman. "Tuan mau ke mana," tegur Albert. "Ikutlah denganku, ada yang ingin aku bicarakan denganmu, kau juga." menatap Bryan, "Sementara yang lain, tetaplah di sini, akan ada yang mengantarkan makanan untuk kalian, nanti," imbuh Zayn. "Baik Tuan!" kompak, mereka menjawab. Zayn menyingkirkan mangkuk berisi soto daging yang dia pesan tadi. Baru sesendok dia mencicipinya, tapi mendadak selera makannya lenyap entah kemana. Bukan karena rasanya yang tidak enak dilidah, melainkan karena rasa penasaran yang menggunung tentang siapa dalang dibalik kecelakaan yang menimpa Irene. "Biar saya pesankan makanan yang lain, Tuan," tawar Albert. "Tidak usah. Tidak ada yang salah dengan makanan ini, hanya saja ... kau tahu betul apa yang sedang aku rasakan saat ini, bukan? Mana bisa aku makan sementara istriku masih belum sadarkan diri. Terlebih pelakunya masih belum ditemukan," lirih Zayn. Ia menunduk lalu mengusap wajahnya kasar. Zayn benci saat-saat seperti ini. Dia tidak ingin ada orang yang melihatnya lemah. 'Seandainya saja Paman masih hidup. Aku sungguh sangat kehilanganmu, Paman.' Tak ada lagi perbincangan diantara tiga pria itu. Kebisuan melanda cukup lama. Siang harinya. Bertujuan untuk menjenguk, Tiffany datang dengan didampingi ibunya. Sepanjang mereka menyusuri koridor rumah sakit, keduanya terus mengembangkan senyum. Terlebih Tiffany, senyumannya sangat merekah bak bunga yang sedang mekar. "Mommy tahu kamu sangat bahagia, tapi jangan sampai kau perlihatkan senyummu itu pada Zayn, nanti," ucap Shopia. "Aku masih waras, Mom. Tenang saja." "Syukurlah kalau kau ingat itu. Tindakan sekecil apapun, jika sampai kau salah melangkah maka semuanya akan kacau. Kau mengerti." "Ya, Mommyku yang cantik. Aku senang sekali begitu mendengar bebek buruk rupa itu jatuh dari tangga, tapi sayangnya kenapa dia tidak sekalian menyusul ayahnya saja?" "Belum tentu, karena yang Mommy dengar juga dia masih belum sadarkan diri," Shopia menyahut. "Berarti masih ada kemungkinan dia untuk hidup, Mom? Ah, sial! Kenapa tidak sekalian saja dia pergi," kesal Tiffany. "Berdoa saja, sekalipun dia sadar nanti semoga dia mengalami kelainan dan itu membuat Zayn berpaling darinya." "Mommy, benar. Kalau perlu aku akan berdoa sehari semalam untuknya." Tiffany tersenyum sinis. "Kira-kira siapa yang telah merencanakan ini, Sayang?" "Aku tidak peduli, Mom. Yang penting bebek jelek itu tak lagi mengganggu hidupku, maka aku akan sangat berterima kasih padanya. Sepertinya ada orang lain yang juga tidak menyukainya," Tiffany menimpali. "Kau benar. Tidak usah dipikirkan, yang jelas ini sudah sangat menguntungkanmu." Kedua wanita itu terus berjalan dengan penuh kemenangan. Tiffany sudah seperti memenangkan jackpot saat pagi-pagi dia mendengar tentang kecelakaan yang menimpa Irene. Jalannya untuk mendapatkan Zayn akan terbuka lebar. Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD