20. Mengacaukan hati

1344 Words
Prang! Bunyi keributan itu untuk kesekian kalinya terdengar sangat menakutkan. Wanita tua yang bekerja pada rumah tersebut tak berani sekedar menegur anak majikannya yang sedang melampiaskan kekesalannya bak orang hilang akal. Hancur sudah seluruh isi kamarnya, tapi ia seakan tak peduli. "Gadis kampung buruk rupa! Tidak akan pernah aku biarkan kau hidup bahagia bersama lelakiku. Tidak akan pernah!" Teriakannya kembali melengking, disusul dengan barang yang kembali jatuh dan pecah berserakan. Di luar kamar. "Apa yang terjadi, Bi?" Seorang wanita paruh baya yang berpenampilan elegan nampak tergopoh mendekati kamar anaknya. Pembantu rumahnya mengabari kalau sekarang anaknya sedang mengamuk di rumah. Terpaksa ia meninggalkan pekerjaannya. "Saya juga tidak tahu, Nyonya. Terakhir kali Nona sedang menonton televisi dan minta dibuatkan salad buah, tapi begitu saya kembali, Nona sudah mengamuk," jelas wanita tua itu. "Astaga! Kenapa tidak dicegah, Bi? Bisa hancur rumah ini kalau dia terus dibiarkan." "Mohon maaf, Nyonya tapi saya tidak berani." "Ya sudah, pergilah!" Shopia Raymundo. Wanita berusia separuh abad yang masih menampilkan kecantikan diwajahnya. Parasnya tak kalah cantik dari wajah putrinya meskipun telah termakan usia. Wanita yang sehari-harinya sibuk mengelola perusahaannya, yang juga merupakan istri dari usahawan kenamaan Riuji Raymundo. Tanpa mengetuk pintu, Shopia bergegas memasuki kamar putrinya. Seketika matanya terbelalak saat melihat keadaan kamar yang telah hancur tak berbentuk. "Astaga, Tiffany! Apa yang kamu lakukan!" sentaknya marah. "Mom, aku nggak mau kehilangan Zayn, Mom. Zayn hanya milikku, hanya milikku!" Gadis itu menghambur ke dalam dekapan ibunya. "Bukan begini caramu menyelesaikan masalah, Sayang. Kenapa bertindak bodoh seperti ini?" "Apalagi yang harus aku lakukan Mom kalau sudah begini? Zayn kelihatannya sangat mencintai perempuan kampung itu." Air mata masih mengalir dengan derasnya dari kedua sudut mata gadis itu. "Dunia masih berputar, Sayang. Duniamu masih belum hancur sekalipun Zayn sudah menikah," ujar Shopia. "Nggak bisa Mom. Aku nggak bisa hidup tanpa Zayn, Mommy tahu itu." "Ya, Mommy tahu." "Lantas kenapa Mommy berkata seperti itu? Mommy jangan melarangku untuk mencintai Zayn." "Mommy nggak bilang begitu, Sayang." "Maksud Mommy?" Tiffany menyeka kasar wajahnya. "Ada banyak jalan menuju roma, kamu tahu maksud Mommy, kan?" Shopia menangkup wajah putrinya. Tiffany menggeleng. "Bukan seperti ini caranya kalau kamu kecewa. Kamu hanya akan rugi sendiri," imbuh Shopia. "Jadi?" tanya Tiffany masih tak mengerti. "Main cantik, Sayang. Jika kau secara frontal dan terang-terangan menunjukkan rasa ketidaksukaanmu pada sesuatu, hal itu akan sangat merugikanmu. Kita bisa melakukanya dengan cara yang elegan." "Caranya?" Wanita itu kemudian membisikkan sesuatu ditelinga putrinya. Shopia tersenyum lebar, sebuah senyuman yang menakutkan. *** Zayn memegangi dadanya yang terasa nyeri. Tak ada yang bisa ia lakukan saat ini selain hanya duduk diam. Seperti ada belati yang menikam jantungnya saat mendengar isak tangis tertahan dari dalam kamar mandi. Sejak kejadian pelemparan telur busuk itu, Irene terus mengunci rapat mulutnya. Tak ada yang dilakukannya selain hanya diam. Ini sudah menit ketiga puluh semenjak gadis itu masuk ke kamar mandi, tapi hingga saat ini ia belum keluar juga. Zayn sengaja membiarkan Irene melampiaskan kesedihannya dengan menangis di dalam, Irene hanya perlu waktu untuk sendiri, saat ini. "Kau sudah selesai?" Zayn mengikuti istrinya yang hendak menuju meja rias. Masih bungkam, Irene memilih menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Terlalu enggan untuk menanggapi ucapan suaminya. Semua yang terjadi memang bukan salah Zayn, tapi Irene merasa segan pada pria itu sekarang. Terlebih saat mengingat berbagai ucapan yang menyudutkannya pada saat konferensi pers tadi. "Biar aku saja." Zayn mengambil alih hair dryer yang akan Irene gunakan untuk mengeringkan rambutnya. Melalui pantulan cermin, dapat Irene lihat suaminya itu sedang menatapnya dengan tatapan sendu. "Aku baik-baik saja, jadi jangan terlalu memikirkan aku. Pikirkan saja yang lainnya, aku tahu betul ada banyak hal yang harus kau pikirkan." "Kau istriku, bagaimana bisa aku tidak memikirkanmu," Zayn menyahut. Irene memejamkan mata seiring dengan bulir bening yang melesat dari sudut matanya. Dengan cepat ia mengusapnya, tak ingin Zayn melihatnya tapi terlambat. Zayn mematikan mesin pengering rambut tersebut kemudian duduk berlutut di hadapan Irene. "Aku pernah bilang padamu, kalau kau sedang sedih maka menangislah! Bagi kesedihanmu denganku, aku ini suamimu, bukan orang lain lantas kenapa kau sungkan begitu padaku," tuturnya lembut. Pecahlah tangis Irene, dia tak sanggup lagi menyembunyikan kesedihannya dari Zayn. "Aku sangat terluka mendengarmu menangis sendiri di kamar mandi. Kau pikir aku tidak tahu? Rasanya sangat menyakitkan, seperti kau yang tidak pernah menganggap kehadiranku," ucapnya sambil membawa tubuh Irene ke dalam dekapannya. "Itu tidak benar! Aku hanya tidak ingin menambah bebanmu lagi," cicitnya. "Perlu aku beri tahu, kau bukanlah beban. Kau adalah hidupku, bagian dari diriku. Saat kau terluka, sakit yang aku rasakan bahkan jauh lebih sakit daripada apa yang kau rasakan. Apa tidak berartikah aku dimatamu? Apa kau tidak menganggapku sebagai suamim ...," "Sssttt!" Zayn tak lagi melanjutkan ucapannya begitu jari telunjuk Irene terparkir manis di depan bibirnya. "Maafkan aku," lirih Irene. Ia lalu kembali mendekap erat tubuh Zayn. "Aku yang seharusnya minta maaf. Aku telah lalai menjagamu." Zayn mengusap lembut punggung Irene yang masih terbalut bathrobe. "Ucapan mereka, tolong jangan kau masukan ke hati. Tuntutan pekerjaan yang terkadang membuat mereka seringkali berlidah tajam. Aku harap kau mengerti. Tidak penting apa yang mereka katakan, karena yang terpenting bagiku adalah kamu," imbuh Zayn. *** "Di mana cucu menantuku?" "Sedang tidur, Kek." Zayn menuangkan segelas air dingin, lalu mulai meneguknya perlahan. "Kasihan dia, jiwanya pasti terguncang. Selama ini dia hidup tenang tanpa pernah berurusan dengan dunia seperti ini." Vernon kembali menaruh sendoknya, mendadak puding mangga yang ada dihadapannya tak lagi menarik minatnya. "Ya. Aku juga sempat mencemaskannya tadi, tapi sekarang sudah tidak lagi. Pada dasarnya dia adalah gadis yang kuat, aku tahu itu. Dia hanya perlu waktu dan sedikit dorongan." "Apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" pria renta itu menatap lurus cucu lelaki satu-satunya. "Pelakunya telah ditemukan, dan menurut pengakuannya. Orang itu murni melakukannya karena dia merupakan fans fanatiknya Tiffany. Dia kecewa karena aku tidak menikahi idolanya," jelas Zayn. "Begitukah?" "Berdasarkan pengakuannya, begitu." "Dan kau percaya?" Vernon boleh saja tua, tapi tatapannya masih setajam elang. Banyak pengalaman yang dia dapat selama mencicipi asin garam kehidupan. Hal itu tak lantas membuatnya percaya begitu saja. Dia merasa ada yang aneh di sini. "Orang itu sudah berada dibawah tekanan anak buahku, Kek. Tidak mungkin dia berbohong," tukas Zayn. 'Kemampuanmu menjungkirbalikkan grafik perusahaan memang sudah tidak diragukan lagi Zayn, tapi terkadang kau juga sangat bodoh. Kakek sampai tidak dapat membedakan kau ini sebenarnya polos, atau pura-pura bodoh," batin Vernon. "Omong-omong, di mana Mommy, Kek?" "Paling sedang ada di yayasan." "Hm, baiklah. Zayn kembali ke kamar dulu, Kek. Sebaiknya Kakek istirahat sekarang." "Ya." Kedua pria beda generasi itu pun berpisah. *** Dengan langkah sedikit gemetar, Vernon berjalan menuju taman belakang. Pria itu tadi mencari cucu menantunya, tapi ternyata Irene tidak ada di kamarnya. "Apa yang sedang kau lakukan di situ?" Irene menoleh ke arah sumber suara. "Kakek bukannya sedang istirahat," Irene menyahut. "Kakek kehilangan cucu yang selama ini selalu mengurus Kakek dengan baik," ucapnya parau. Pria itu duduk di bangku yang saling berseberangan dengan Irene. Irene merasa tertohok dengan perkataan Vernon. Memang semenjak kejadian itu, sudah dua hari ini dia tidak keluar kamar. Gadis itu begitu menikmati kesendiriannya hingga mengabaikan Vernon. "Maafkan Irene, Kek. Irene sama sekali tidak bermaksud mengabaikan Kakek," lirihnya, tulus. "Kakek tahu, tapi tidak baik terus-menerus mengurung diri di kamar." tangannya yang keriput terulur untuk mengusap puncak kepala Irene. "Bagaimana perasaanmu sekarang?" "Maksud Kakek?" bola mata bening itu terlihat penuh tanda tanya. "Bagaimana perasaanmu setelah kejadian itu?" Irene terdiam. Dia sungguh tak sanggup untuk mendefinisikan perasaannya saat ini. Vernon yang mengetahui perasaan Irene tanpa gadis itu menjawabnya, pun hanya mendesah panjang. "Apa perasaanmu kacau? Hatimu hancur, dan pikiranmu terpecah," tebak Vernon. Pria tua itu tertegun saat Irene mengangguk mantap. Dugaannya benar. "Apa kau juga merasa malu dan tidak pantas untuk mendampingi cucu Kakek?" Kali kedua, Irene kembali mengangguk. "Kakek bahkan bisa menebaknya dengan benar," balas Irene. "Jika perasaanmu sudah demikian, itu tandanya kamu telah kalah." "Maksud Kakek?" "Dalang dibalik semua kejadian ini melakukannya dengan tujuan untuk meruntuhkan kepercayaan dirimu. Dan sepertinya dia telah berhasil menjebakmu untuk masuk ke dalam perangkapnya," beber Vernon. "Aku masih belum mengerti, Kek." Vernon kembali menatap lekat wajah gadis kecil dihadapannya. 'Aku harus melakukan sesuatu untukmu,' Vernon membatin. "Maksud Kakek adalah ...," Bersambung ....
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD