Menyadari dirinya menjadi trending topik di halaman utama bukan hanya dalam koran saja, melainkan hampir di semua media baik cetak maupun elektronik. Zayn tak tahan lagi, pria itu pun kalah.
"Al," panggilnya sambil memegangi kepalanya.
"Ya, Tuan."
"Ambilkan aku obat pereda nyeri, kepalaku rasanya mau pecah."
"Saya panggil dokter Catherine saja, Tuan?" tawar Albert.
"Ini hanya sakit kepala biasa. Ambilkan saja obatnya, jangan membantah!"
"Baik, Tuan."
Zayn menyandarkan kepalanya di bahu kursi kebesarannya, sambil memejamkan mata.
"Ini Tuan."
Zayn segera menelan pil tersebut, lalu kembali menaruh gelas setelah menghabiskan isinya.
"Jadi ini yang membuat Mr Yang membatalkan pertemuan pentingnya?"
"Sebaiknya Anda istirahat di kamar saja, Tuan," bujuk Albert.
"Aku baik-baik saja, Al. Kau tahu betapa pentingnya kerja sama ini kan? Kau tahu apa yang harus kau lakukan?" tanya Zayn tak peduli.
"Saya sudah menghubungi pihak terkait untuk segera menghentikan gosip ini, tapi dengan sangat menyesal harus saya katakan kalau ...,"
"Bicara yang jelas! Jangan setengah-setengah!"
"Gosipnya terlanjur menyebar, Tuan."
"Akan lebih baik jika Anda istirahat di rumah, Tuan. Pekerjaan hari ini biar saya saja yang urus," lagi, Albert berusaha membujuk atasannya.
"Tidak! Aku akan istirahat di kamar saja. Jangan sampai orang rumah mengetahui gosip ini Al!"
"Ya, Tuan."
***
Siang itu di kediaman keluarga Xavier.
Irene tengah menemani Vernon minum teh di taman belakang, tempat yang menjadi favorit pria tua itu untuk menghabiskan masa tuanya sambil membaca buku.
"Apa kau tidak bosan seharian ini menemani Kakek?"
"Lebih bosan lagi jika tidak melakukan apapun, Kek. Mommy dan Zayn selalu melarangku untuk melakukan hal-hal kecil."
"Hm, bagaimana kabar merak centil itu setelah kejadian kemarin?" Vernon membenahi letak kacamatanya. Mendadak ia begitu penasaran dengan Tiffany.
"Sayang sekali Kakek tidak melihat wajahnya saat di butik. Kalau saja Kakek lihat kejadian itu, aku yakin Kakek akan tertawa terbahak-bahak."
"Sungguh? Pasti wajahnya yang seperti roti jamuran itu terlihat sangat merah menahan malu," cetus Vernon.
"Bagaimana Kakek bisa tahu!"
"Jadi benar tebakan Kakek?"
Tawa keduanya pun pecah bersamaan. Pribadi Irene yang lembut dan hangat, membuatnya mudah diterima oleh siapapun, tak terkecuali Vernon. Pria tua itu kini tak lagi merasakan kesepian semenjak kehadiran cucu menantunya di rumah itu. Hera sama seperti Zayn. Wanita itu sibuk menghabiskan waktu di luaran, hingga dia hanya dapat memberikan sedikit perhatian pada Vernon.
Irene dan Vernon masih betah berbincang di sana. Sesekali pria tua itu terpingkal saat mendengar Irene melawak. Keduanya tak tahu kalau dari balik jendela bagian dalam rumah itu, ada seseorang yang menatap mereka penuh kebencian.
"Hai, Ren. Aku cari-cari tidak ada, ternyata kamu di sini."
Panjang umur Tiffany itu, Irene dan Vernon sedang menceritakan tentang dia dan ajaibnya gadis itu sekarang muncul di sana.
"Oh, kapan kau datang?"
"Baru saja, dan aku langsung menuju kemari karena tadi Tante Hera bilang kalian ada di sini," jelasnya.
"Hm, jadi kau sempat bertemu Mommy? Aku pikir Mommy sudah pergi sejak tadi," Irene menimpali.
"Tante Hera baru saja pergi."
"Oh ya, silakan duduk!"
Irene memberikan ruang di dekatnya agar Tiffany dapat duduk di sana.
"Kakek, bagaimana kabarmu," sapa Tiffany.
"Baik."
Irene menggelengkan kepalanya melihat bagaimana Vernon mengacuhkan Tiffany.
"Kakek sepertinya lebih sehat sekarang," sambung Tiffany.
"Tentu saja. Ini semua berkat cucu menantuku yang merawatku dengan baik," ucap Vernon, dengan bangganya ia memamerkan betapa dirinya sangat menyukai Irene.
"Syukurlah kalau begitu," cebik Tiffany.
"Irene, tolong antar Kakek ke kamar, Kakek mau istirahat," pintanya.
"Tunggu dulu!"
Irene yang bersiap menggandeng lengan Vernon pun reflek menghentikan gerakannya.
"Ada apa?" tanya Irene, cepat.
"Ada sesuatu yang mau aku perlihatkan pada kalian."
Tiffany mengambil sesuatu dari tasnya lalu membuka koran yang dia bawa dan memperlihatkannya pada Irene.
Irene yang penasaran pun mau tidak mau membaca artikel tersebut. Di halaman pertama terpampang potret suaminya yang sedang menggendong seorang wanita ala bridal style, terlihat begitu mesra. Dilihat dari fotonya, sepertinya kejadian itu diambil dari dalam sebuah apartemen. Tak cukup puas melihat gambar tersebut, Irene kembali mengulang tulisan yang ada di bawahnya. Kata-kata yang ditulis dengan huruf besar membuat tubuhnya lemas seketika.
"Apa itu!"
"Bukan apa-apa, Kek. Ayo, sebaiknya Kakek segera beristirahat," sahut Irene. Jangan sampai Vernon melihat koran itu dan membacanya.
"Kenapa terburu-buru begitu, biarkan Kakek melihatnya." Tiffany mencekal lengan Irene, dan malah memberikan koran tersebut pada Vernon.
"Jangan dilihat, Kek!" cegah Irene sambil merebut koran itu. Namun, sayangnya terlambat karena Vernon langsung membacanya.
Irene ketakutan, bayangan akan reaksi berlebihan Vernon ketika melihat koran itu sudah sangat menghantuinya.
Sementara Tiffany terus tersenyum penuh arti. Sebentar lagi pertunjukan akan segera dimulai. Ia akan memberitahukan pada dunia kalau hanya dirinyalah satu-satunya wanita yang pantas mendampingi Zayn.
"Ck, Kakek kira gosip apa," komentar pertama yang dilontarkan Vernon begitu ia selesai membaca korannya.
"Jangan terlalu dipikirkan! Kakek tahu kalau dari dulu Zayn hanyalah menganggap Tiffany sebagai temannya, tidak lebih!" tegas pria tua itu.
Irene tertegun. Ia tak menyangka akan setenang ini reaksi yang ditunjukkan kakeknya. Padahal tadinya dia berpikir kalau Vernon akan syok ketika melihat berita buruk menerpa anggota keluarganya, terlebih Zayn adalah cucu kesayangannya. Ternyata ketakutannya berlebihan.
Berbeda dengan Irene yang merasa lega karena Vernon tak terpengaruh oleh gosip itu, Tiffany malah menunjukkan kebalikannya.
Gadis itu sudah cukup rapi menjalankan rencananya. Bayangan Vernon yang jatuh sakit dan juga dukungan dari Hera dapat ia gunakan sebagai senjata untuk mendapatkan Zayn. Namun, kenyataannya malah berbanding terbalik dari apa yang dia rencanakan.
'Aku pikir akan terjadi perpecahan dalam keluarga ini. Aku sudah menyusun rencana dengan baik, tapi bagaimana bisa gagal. Menjengkelkan!'
Tiffany terus mengumpati Irene dalam hatinya. Tangannya terkepal dengan kaki yang terus ia hentakkan di atas tanah, sisi liar dalam dirinya mendadak bangkit. Ia merogoh ponsel dalam tasnya begitu melihat Irene dan Vernon memasuki rumah, lalu mulai menekan sebuah kontak.
"Rencana A, sepertinya gagal. Zayn tidak akan bangkrut hanya gara-gara gosip ini jadi aku mau, kau segera laksanakan rencana B," ucapnya pada lawan bicaranya.
***
Malam kembali datang. Malam kelam tak berbintang. Bumi pun seakan murung manakala dewi bulan yang dinantikannya tak kunjung datang.
Saatnya raga menerima haknya untuk mengistirahatkan jiwa-jiwa yang lelah setelah bergulat dengan rutinitasnya sepanjang hari.
Sedikit berbeda dengan malam-malam sebelumnya, Zayn cenderung lebih pendiam. Entah karena rasa sakit yang masih bersarang di tubuhnya, atau mungkin karena masalah yang kini timbul, menjadi beban pikirannya. Irene sama sekali tak mengerti. Padahal biasanya pria itu gemar sekali menggoda istrinya, hampir tak kenal waktu dan tempat.
"Apa tidak sebaiknya aku panggilkan dokter saja? Kau sudah minum obat tapi tidak mengurangi rasa sakitmu, jadi aku rasa kau memang perlu penanganan khusus," tutur Irene, lembut.
"Tidak perlu, besok pagi juga sembuh."
Untuk kesekian kalinya Irene membujuk Zayn untuk diperiksa oleh dokter, tapi sesering itu pula dia menolaknya.
"Kenapa kau keras kepala? Sekecil apapun rasa sakitnya akan tetap sakit, dan itu bisa menjadi parah kalau dibiarkan," ketus Irene.
"Kan kita sudah membahasnya tadi, dan aku bersyukur karena kalian tidak terpengaruh oleh gosip murahan seperti itu."
Usai makan malam memang keluarga itu membahas soal gosip miring yang saat ini sedang menjadi trending topik. Zayn beruntung karena keluarganya selalu ada untuk mendukungnya.
"Apa hubungannya itu semua dengan rasa sakit yang kau derita," Irene bersungut. Kesal karena Zayn mengalihkan pembicaraannya.
"Tentu saja ada."
Zayn terkekeh saat melihat Irene yang mendelik padanya.
"Karena dengan begitu aku jadi tidak terlalu memikirkan masalah ini. Lagipula Albert juga sudah mencari jalan keluarnya, dan besok kita hanya perlu mengklarifikasinya saja dan masalah akan selesai," oceh Zayn panjang lebar.
"Ya terserah kau saja." Irene merebahkan tubuhnya yang terasa penat, hari ini bukan hanya raganya saja yang terasa lelah tapi hatinya juga.
Sempat terbersit dihatinya sedikit perasaan ragu pada Zayn. Irene merasa, foto itu cukup sangat mesra. Tidak mungkin Zayn mau menggendong Tiffany tanpa sebab, bukan?
Lelah dengan berbagai pertanyaan yang bergelayut manja dikepalanya, juga lelah meladeni Tiffany yang terus mengajaknya berbicara seharian ini membuat Irene akhirnya dengan cepat memasuki alam mimpinya. Zayn yang terlampau asyik bercerita sampai dia tidak menyadari jika istrinya itu telah terlelap.
"Selamat tidur. Mimpi indah karena besok kita akan melewati hari yang lebih menyenangkan."
Zayn menghadirkan sebuah kecupan di kening Irene. Ia membenahi letak selimutnya sebelum akhirnya pergi untuk menyusul istrinya ke pulau mimpi.
Keesokan harinya.
Zayn tengah bersiap memakai setelan formalnya dengan dibantu Irene yang juga sedang membuat simpul dasinya.
"Aku perhatikan sejak tadi kau terus tersenyum? Apa kau sangat bahagia karena akan bertemu dengan wanita yang kau cintai," sindir Irene yang melihat pria itu terus membingkai senyum diwajahnya, bahkan sejak bangun dari tidurnya.
"Tentu saja, hari ini semua tabir rahasia akan segera terungkap."
"Ya, ya. Terserah kau saja," cibir Irene.
"Kenapa? Kau marah?"
"Memang untuk apa aku marah? Buang tenaga saja."
"Jangan bohong! Atau kau cemburu? Ayo mengaku saja."
Irene yang kesal karena Zayn terus menggodanya pun dengan jahil menarik dasi yang telah ia ikat rapi, hingga membuat Zayn tercekik.
"Berhenti bicara omong kosong atau aku akan memberimu pelaj ...,"
Irene tak dapat melanjutkan ucapannya karena Zayn dengan cepat membungkam mulutnya. Pria itu masih terus bergerak meskipun Irene berusaha melepaskan diri dengan memukuli dadanya.
"Kau terlihat ribuan kali lebih cantik jika sedang cemburu," bisik Zayn.
"Zayn!" teriak Irene kesal.
"Jangan marah-marah, Sayang. Atau kau mau aku menghukummu seperti tadi?"
"Dasar menjengkelkan," gumamnya sambil berlalu dari kamar tersebut.
Suasana ballroom sebuah hotel terlihat begitu ramai saat Zayn dan juga Irene datang. Pasangan pengantin baru itu nampak serasi, Zayn mengenakan kemeja putih yang dibalut dengan jas warna hitam, juga celana kain warna senada. Sementara Irene mengenakan gaun tanpa lengan berwarna putih sepanjang lutut.
Wajah Irene terlihat sangat cantik meskipun hanya memakai make up tipis. Rambutnya yang panjang dia biarkan tergerai dengan hiasan cantik berwajah silver sebagai pemanis.
"Zayn, aku takut," bisik Irene saat melihat kerumunan banyak orang.
"Ada aku." Zayn mengapit lengan Irene mesra.
"Tetap saja aku takut Zayn."
Keduanya berjalan menuju tempat yang telah disediakan. Ini kali pertama Irene menghadiri konferensi pers, tak heran jika gadis itu terus saja gelisah. Irene menyembunyikan wajahnya di lengan Zayn saat para pewarta menghujaninya dengan kilatan blits kamera.
Karena tidak memperhatikan jalan dengan baik, Irene sedikit terseok saat berusaha mengimbangi langkah Zayn. Mendadak kakinya terpelanting hingga membuat salah satu sepatunya terlepas. Kejadian itu sontak menimbulkan kericuhan di sana. Banyak orang berbisik-bisik.
"Zayn, bagaimana ini," cicitnya panik.
"Jangan gugup, disini kaulah ratunya jadi bersikaplah biasa saja."
"Sepatuku, Zayn," rengek Irene lagi.
Zayn yang gemas pun sempat mengelus puncak kepala istrinya sebentar. Pria itu lalu mengambil sepatu Irene yang tertinggal dan tanpa rasa sungkan sedikitpun, Zayn memakaikan sepatu itu di kaki istrinya.
Kejadian romantis itu tentu saja akan sayang jika dilewatkan. Ada banyak potret yang dihasilkan demi untuk mengabadikan momen tersebut.
Selang beberapa menit kemudian. Suasana kembali tenang. Zayn kini telah duduk di samping istrinya, dengan tangan yang terus melingkar posesif di pinggang ramping Irene tentunya.
"Bisa kita mulai sekarang, Tuan," Albert menganggukkan kepalanya memberikan kode.
Zayn melirik Irene, seolah mengatakan semuanya akan baik-baik saja. Pria itu pun mulai angkat bicara begitu melihat Irene mengangguk, pertanda ia siap memulai konferensi pers hari ini.
"Selamat pagi rekan-rekan semuanya. Sebelumnya saya ucapkan terima kasih atas kesediaan kalian menghadiri undangan saya. Langsung saja karena terbatasnya waktu, saya akan memberikan klarifikasi atas gosip yang sedang beredar di media baru-baru ini, agar beritanya tidak simpang siur."
Zayn mengatur nafasnya sebelum ia melanjutkan kembali ucapannya.
"Wanita cantik yang saat ini ada disamping saya, adalah benar istri saya. Namanya Irene, Irene Elizabeth Bae."
Irene membungkuk sopan dengan senyum yang terus terkembang dibibirnya.
"Jadi benar Nona Irene istri Anda, Tuan?" tanya salah seorang wartawan.
"Tentu saja, kami melakukan pernikahan yang sah dan telah terdaftar oleh negara." Zayn meraih tangan Irene kemudian memamerkan sepasang cincin pernikahan yang terselip manis pada jari manis tangan kiri masing-masing.
"Lantas kenapa Anda belum mengumumkan pernikahan Anda, Tuan? Apa benar karena Anda tidak menginginkan pernikahan ini terjadi?"
"Itu tidak benar. Saya tidak mungkin menikah jika saya sendiri tidak menginginkannya," tampik Zayn.
"Apa benar Nona Irene ini merupakan putri mantan asisten Anda? Benar kalian dijodohkan? Anda tidak mengakui pernikahan ini dan itulah sebabnya Anda tidak membuat resepsi pernikahan?"
"Kata siapa saya tidak membuat resepsi? Keluarga kami menggelar resepsi, meskipun hanya sederhana saja karena pada saat itu kami masih berkabung. Saya memang sudah berencana untuk menggelar resepsi pernikahan sekali lagi jadi saya harap kalian berkenan hadir nantinya."
"Apa benar Nona Irene adalah orang ketiga diantara hubungan Anda dengan model seksi, Tiffany?"
"Ada orang yang berkata demikian?" Zayn balik bertanya.
"Kabarnya malah Anda dan Nona Tiffany akan segera naik ke pelaminan kalau saja Anda tidak menikahi Nona Irene."
Irene terdiam. Ia menggigit bibirnya karena terlalu takut. Sungguh, dia merasa tidak nyaman berada di sana. Sorotan kamera juga pertanyaan wartawan yang seakan menyudutkannya, lengkap sudah deritanya.
"Tidak ada orang ketiga ataupun kesekian, karena bagi saya Irene lah satu-satunya wanita yang saya cintai. Hubungan saya dan Tiffany hanya sekedar pertemanan saja, tidak lebih. Mengenai foto-foto yang beredar, memang benar itu diambil di apartemen Tiffany, tapi kejadian itu sudah cukup lama dan kejadian yang sebenarnya adalah saya hanya membantunya karena pada saat itu Tiffany sedang mengalami cedera pada kakinya. Saya rasa cukup untuk kali ini. Saya tunggu kehadiran rekan sekalian pada resepsi pernikahan kami. Sekali lagi, saya mohon maaf karena keterbatasan waktu. Satu hal yang harus kalian tahu, saya sangat mencintai istri saya," pungkas Zayn.
Pria itu lantas mengecup jemari Irene, lalu bergegas mengajaknya pergi meninggalkan tempat tersebut. Tak menghiraukan para wartawan yang masih terus mengajukan pertanyaan. Zayn terus melangkah.
Saat hendak sampai di pintu keluar, entah bagaimana awalnya. Seseorang berusaha melempari Irene dengan telur busuk dan mengumpatinya dengan kata-kata kotor yang merendahkan. Zayn sempat menghalangi agar telur itu tak mengenai tubuh Irene, tapi pada akhirnya benda itu meledak di lengan Irene.
"Albert! Bagaimana bisa kecolongan!" teriaknya murka, tak terima Irene diperlakukan seperti itu.
Padahal mereka telah dikelilingi beberapa pengawal, tapi masih saja ada orang yang bisa menyakiti Irene.
"Tangkap pelakunya, Al!" hardik Zayn, lagi.
Sementara Irene menangis, rasa malu, kesal, marah dan kecewa berkecamuk di dadanya.
"Jangan menangis, kita pulang sekarang."
Zayn melepas jasnya lalu membalutnya di bahu Irene sebelum akhirnya pria itu menggotong Irene ke dalam mobil.
Bersambung ....