Semilir angin malam mengibarkan surai panjang yang Irene biarkan tergerai begitu saja. Tak ada ada hamparan bintang yang biasa tergelar indah di langit, dewi bulan pun masih malu-malu menampakan dirinya.
Tak ada sesuatu yang istimewa yang dapat Irene lihat seperti biasanya, tapi rasanya dia begitu enggan meninggalkan tempat tersebut. Irene masih duduk termenung di kursi malas yang ada di balkon. Angannya terus tertuju pada setiap ucapan Vernon padanya, siang tadi.
Tubuh Irene berjengit saat seseorang membalutkan jas padanya.
"Oh, kau sudah pulang?"
"Aku memanggilmu sejak tadi, tapi sepertinya kau terlalu larut saat menikmati suasana malam ini." Zayn kemudian mendaratkan bokongnya di sana.
"Maaf."
"Tidak ada bintang di langit. Bulan juga tidak datang malam ini, lalu kenapa kau masih di sini?"
"Aku hanya merasa nyaman saat berada di sini. Ya sudah, mau mandi dulu atau mau makan dulu? Biar aku siapkan sekarang."
"Aku sudah makan. Kebetulan ada jamuan makan malam dengan klien, tolong buatkan aku teh jahe saja. Aku bisa menyiapkan air mandi sendiri," kata Zayn.
"Baiklah."
Sementara Zayn masuk ke kamar mandi, Irene menyiapkan baju ganti dan menaruhnya di atas kasur. Gadis itu beralih menuju dapur untuk membuatkan pesanan suaminya.
Rumah ini terlalu besar jika hanya di huni oleh beberapa orang anggota keluarga saja. Vernon menghabiskan masa tuanya dengan istirahat dan membaca sekedarnya. Terkadang jalan-jalan juga terbatas hanya di beberapa bagian bangunan itu saja.
Sementara Hera juga jarang di rumah. Wanita itu betah berlama-lama di yayasan miliknya, terkadang berbelanja dan bertemu dengan sekumpulan wanita sosialita kelas atas. Pun sama seperti ibunya, Zayn juga tak kalah sibuknya mengurus perusahaan.
"Hari ini apa saja yang kau lakukan di rumah?" tanyanya sambil menyesap teh buatan Irene.
"Tidak ada, hanya berbincang dengan Kakek," sahut Irene.
"Kau bisa pergi berbelanja atau pergi ke salon, atau pergi ke mana saja yang kau mau. Kalau di rumah terus, sudah tentu kau bosan."
"Tapi aku malas."
"Kenapa?" Zayn meletakkan cangkirnya.
"Tidak ada teman yang bisa aku ajak bicara."
"Kau kan bisa mengajak Lusi atau Indah. Katakan pada Bibi Sasa kalau aku yang mengizinkan."
Irene tak menjawab. Gadis itu malah memilih roknya sebagai pelampiasan. Sebenarnya ada yang ingin Irene tanyanya pada Zayn, tapi entahlah. Dia merasa sungkan.
"Kenapa diam?"
"Memang mau bicara apa?" Irene balik bertanya.
"Apa saja, aku ingin mendengarmu bicara. Kau berubah menjadi sangat pendiam beberapa hari ini dan aku merindukan saat kau sedang cerewet," celoteh Zayn.
"Jadi aku cerewet ya?"
"Sedikit, tapi aku suka."
Zayn tertawa lebar hingga menampilkan barisan giginya yang putih bersih.
"Hm, apa aku boleh bertanya sesuatu?"
"Soal apa? Tanyakan saja, aku akan menjawabnya kalau memang aku bisa."
"Tidak jadi deh," ujar Irene kemudian.
"Kenapa? Aku sudah sangat penasaran, katakan saja!"
"Janji jangan marah," pinta Irene.
"Memang kapan aku pernah marah padamu? Cepat katakan!"
"Kamu ... sebenarnya kamu dan Tiffany, kalian berdua ...,"
'Astaga, tinggal bilang saja apa susahnya,' rutuk Irene dalam hati.
"Aku tidak memiliki hubungan apapun dengannya selain hanya sebagai teman, itu saja. Apa kau tidak mempercayaiku?"
"Bukan! Bukan itu maksudku!" tampik Irene.
"Lantas kenapa kau bertanya seperti itu?" suara Zayn mulai tak enak di dengar.
Irene tahu betul kalau Zayn kesal karena dia tidak mempercayainya.
"Aku hanya ingin ... ah, sudahlah. Lupakan, anggap saja aku tidak pernah bertanya seperti itu padamu," kata Irene, tak ingin memperpanjang masalah.
Irene meraih tangan suaminya lalu membawanya menuju pembaringan.
"Jangan marah, kau membuatku takut," cicitnya.
"Aku hanya tidak suka jika kau tidak mempercayaiku."
"Aku tidak pernah bilang begitu, Zayn. Aku percaya padamu, sungguh."
"Sudahlah! Sudah malam."
Mendengar nada bicara Zayn yang terkesan ketus padanya membuat hati Irene terasa pedih. Di tambah lagi kini Zayn tidur dengan memunggunginya, lengkap sudah deritanya malam ini.
Irene baru saja menguatkan hatinya setelah mendengar penuturan Vernon siang tadi. Dia berharap bisa menghabiskan malam dengan bercanda sebelum suaminya itu tertidur, tapi sekarang sepertinya harapan itu menjadi sesuatu yang mahal untuk dia dapatkan.
Irene berusaha meredam tangisnya agar tak terdengar oleh Zayn.
'Kenapa semenjak kepergian Ayah, aku menjadi cengeng begini.' Irene mengeratkan selimutnya.
Irene terkesiap saat lengan kokoh melingkari perutnya. Dengan tergesa ia mengusap wajahnya yang telah basah.
"Kenapa menangis," bisik Zayn lembut.
"Siapa yang menangis," Irene mengelak.
"Jangan bohong."
Secepat kilat Zayn membalikkan tubuh istrinya hingga kini keduanya saling berhadapan.
"Hei, lihat aku!" titah Zayn.
Irene tak bergeming. Dia terus menunduk sambil memejamkan matanya. Irene takut jika dia membuka mata maka dia akan kembali menangis.
"Buka matamu!" ulang Zayn.
"Tidak mau," sahut Irene masih sambil memejamkan mata.
Zayn menghela nafas panjang. Sepertinya Irene sedang menguji kesabarannya dengan terus mencari perhatian.
"Sayang, suamimu ini memerintahkan padamu untuk membuka mata."
Mendengar Zayn mengatakannya dengan sangat lembut, juga menekankan kata 'sayang' sudah cukup membuat hati Irene berdesir.
Perlahan, kelopak mata Irene terbuka. Degup jantungnya mulai tak beraturan saat tatapannya saling bertubrukan dengan Zayn.
"Berapa kali harus aku katakan padamu? Aku adalah milikmu, hanya milikmu. Kau tidak perlu berpikiran terlalu jauh, jadi aku mohon percayalah padaku. Kita memang belum saling mengenal satu sama lain, tapi aku harap kau percaya kalau aku tidak akan pernah mengkhianatimu. Seperti aku mempercayaimu," jelas Zayn.
Saling bertatapan dalam jarak sangat dekat membuat jantung Irene bekerja lebih cepat.
"Kenapa diam? Kau selalu saja begitu, sebentar-sebentar marah, merajuk, lalu detik berikutnya sudah kembali riang gembira seolah tidak terjadi apa-apa. Kau membuatku ...,"
Cup!
Zayn tak dapat melanjutkan kata-katanya, tubuhnya membeku saat ia merasakan benda kenyal nan lembut mendarat dibibirnya. Berulang kali dia mengerjapkan mata, tak percaya dengan apa yang baru saja dilakukan oleh istrinya. Semuanya terjadi begitu saja dan yang membuat hatinya berbunga-bunga adalah karena Irene melakukannya atas inisiatifnya sendiri.
"Kau sangat menggemaskan jika sedang mengomel. Aku baru pernah melihatmu secerewet ini," ujar Irene.
"Kenapa kau mengembalikan kata-kataku!" tukas Zayn. Dia ingat betul kata-kata itu yang sering ia gunakan untuk meluluhkan hati Irene saat gadis itu tengah merajuk.
"Karena kau akan terus mengomel jika aku tidak segera menghentikanmu."
"Sudah mulai pandai kau sekarang ya?" Zayn mencubit pucuk hidung Irene.
"Aku belajar darimu," sahutnya jenaka.
"Dan aku akan lebih senang seandainya kau belajar lebih giat lagi."
Usai mengatakannya, Zayn meraih tengkuk Irene kemudian membenamkan bibirnya.
Irene yang mulai terbawa suasana pun hanya diam menikmati perlakuan lembut suaminya. Tangannya mulai merangkak menuju kepala Zayn dan mulai memilin rambutnya, sementara tangan kirinya dia gunakan untuk menahan d**a Zayn yang makin lama terasa makin menghimpitnya. Dapat merasakan debaran jantung Zayn yang mengalun merdu melalui sentuhannya, adalah kebahagiaan yang selalu dapat mendamaikan hati Irene.
"No! Big no!" seru Irene saat tangan Zayn mulai melucuti kancing piyamanya.
"Kenapa?"
"Tidak boleh sekarang!" tegas Irene.
"Ya, tapi kenapa?" netra kebiruan itu menatap penuh tanya.
"Karena tamuku masih belum pergi," jawab Irene terus terang, takut menimbulkan kesalahpahaman dalam diri suaminya.
"Astaga! Maafkan aku." reflek Zayn mengangkat kedua tangannya, persis seperti orang yang akan digelandang oleh petugas keamanan karena kedapatan sedang mencuri.
"Tidak apa-apa."
"Ini semua karena kau terus menggodaku."
"Siapa yang menggodamu," tampik Irene.
"Tadi siapa yang lebih dulu menciumku sampai aku hilang kendali?"
"Ya maaf."
"Akan aku pertimbangan nanti," balas Zayn.
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku akan melihat permintaan maafmu terlebih dulu, apakah tulus atau tidak."
"Sekarang saja aku sudah minta maaf." Irene menatap suaminya, masih tak mengerti dengan jalan pikiran pria itu.
"Bukan dengan seperti ini, melainkan melalui tindakan dan itu hanya akan terjadi setelah beberapa hari kemudian, setelah tamumu per ...,"
Dengan cepat Irene membungkam mulut Zayn. Jika tidak dihentikan, perkataan pria itu masih akan berlanjut dan menjurus pada hal yang malah akan membuatnya uring-uringan.
"Tidak perlu diteruskan! Aku sudah tahu tanpa perlu kau menjelaskan," kata Irene.
"Nah, itu tahu."
"Tentu saja, usiaku sudah dua puluh dua tahun dan aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa maksudmu."
"Syukurlah kalau begitu, aku jadi tidak perlu repot-repot mengajarimu." Zayn terkekeh.
"Ya, ya. Tertawalah sepuasmu. Aku mau tidur."
Irene membalikkan badannya memunggungi Zayn.
"Istri yang baik tidak akan memunggungi suaminya saat tidur," sindir Zayn.
"Aku terpaksa melakukannya karena takut memantik sesuatu dalam diri suamiku. Aku akan jadi istri yang baik setelah dua hari ini," sahut Irene tanpa merubah posisinya.
Zayn terus mengembangkan senyum dibibirnya. Entahlah, mendengar Irene berkata begitu saja sudah sangat menggembirakan baginya.
Malam ini memang Zayn masih harus menahannya, tapi tidak setelah dua hari ke depan. Pria itu pun bersiap menyusul Irene yang telah lebih dulu singgah di pulau mimpi.
Hamparan langit yang menghitam telah berganti menjadi gumpalan awan putih seiring dengan semburat cahaya jingga di ufuk timur. Malam tempat jiwa-jiwa berpulang demi memenuhi haknya mengistirahatkan raga, telah berakhir.
Irene tetap melakukan rutinitasnya seperti biasa pagi itu. Melayani dan menyiapkan segala keperluan suaminya, hanya saja pagi ini sedikit berbeda. Bukan setelan kemeja dengan celana kain formal yang biasa ia taruh di atas kasur saat Zayn sedang mandi, melainkan kaos polo berwarna maroon yang dia padukan dengan celana pendek warna mocca.
Irene baru saja memasuki kamarnya bersamaan dengan Zayn yang baru selesai membersihkan diri.
"Sudah selesai?"
"Ya," jawab Zayn singkat.
"Mau sarapan di bawah atau di balkon?"
"Kakek bagiamana?"
"Kakek baru saja selesai sarapan dan sekarang sedang membaca koran paginya di taman belakang," terang Irene.
"Ya sudah kalau begitu minta pelayan untuk mengantarkan sarapan kemari. Kita sarapan di balkon saja?"
"Baiklah."
Tak berselang lama. Kedua orang itu pun sudah duduk santai di balkon.
"Hari ini aku libur," ujar Zayn sambil menyeka mulutnya dengan tisu.
"Aku sudah tahu." Irene mengerutkan keningnya. Tanpa Zayn mengatakannya pun dia sudah tahu kalau hari ini memang akhir pekan.
"Ish! Bukan itu maksudku," sergah Zayn.
"Lantas?"
"Apa kau tidak punya acara?"
"Ada," sahut Irene, cepat.
"Apa?"
"Membuat bolu pandan kesukaan Kakek dan menemaninya membaca di taman belakang."
Zayn tercengang. Pria itu lalu terbahak melihat kepolosan istrinya.
"Kenapa tertawa," sinis Irene.
"Karena kau sangat lucu."
"Aku tidak merasa ada yang lucu, dan aku bukan pelawak jadi berhentilah tertawa!"
"Yang aku maksud acara di sini adalah bepergian atau melakukan kegiatan yang menyenangkan," Zayn menimpali.
"Membuat kue juga pekerjaan yang menyenangkan," lagi-lagi Irene menyahut sekenanya.
"Oh ya?"
"Ya, aku berkata jujur. Kau bisa ikut aku ke dapur agar kau tahu kalau dapur juga merupakan salah satu tempat yang menyenangkan," ajak Irene.
***
Sasa, Lusi, Indah dan beberapa pelayan di rumah itu menahan tawanya saat melihat Zayn memakai apron. Jangankan memakai apron, masuk ke dapur saja adalah merupakan hal yang sangat jarang dilakukan pria itu. Paling-paling Zayn hanya melihat dapur sekilas ketika sedang duduk di meja makan atau mengambil sesuatu di pantry.
Sekarang, seolah ada keajaiban. Zayn yang notabene kesehariannya selalu memegang laptop dan pulpen, harus bergelut dengan tepung dan telur.
"Bi Sasa, bisa kalian pergi saja dari sini," tegur Zayn.
"Bagaimana kalau nanti Tuan dan Nona membutuhkan sesuatu," jawabnya sopan.
"Tidak apa-apa, ada istriku di sini dan dia pasti sudah hafal di mana letak barang-barang yang dia perlukan nanti."
"Tapi, Tuan ...,"
"Kalian mengganggu konsentrasiku. Ini kue pertama yang aku buat, dan kalau sampai gagal. Aku akan ...,"
"Baik, Tuan. Kami akan pergi," putus Bi Sasa.
"Begitu seharusnya sejak tadi. Setelah aku memecahkan satu kilo telur dengan percuma, kalian baru mau meninggalkan tempat ini," gerutu Zayn.
Irene menggelengkan kepalanya, tak percaya. Zayn memang membuang hampir satu kilo lebih karena telur yang dia pecahkan selalu berakhir tragis. Jika tidak jatuh ke lantai, pasti hancur bersamaan dengan cangkang yang masuk ke dalam baskom. Namun, yang membuat Irene masih bersabar menghadapinya semata karena Zayn yang tak putus asa. Pria itu bertekad untuk membuat bolu kesukaan kakeknya dari hasil karya tangannya sendiri.
'Bilang saja malu kalau dilihat para pelayan, pakai acara menganggu konsentrasi segala,' Irene terkikik.
"Begini, apa sudah benar?"
Irene melirik baskom berisi telur yang sudah dipecahkan oleh suaminya.
"Tidak buruk."
"Lalu sekarang apalagi?"
"Bisa tolong kau ayak terigunya," pinta Irene.
"Pakai apa?"
"Nah, ambillah!"
Zayn mengamati benda yang diberikan Irene padanya.
"Seperti alat tapis teh," ujar Zayn.
"Memang mirip."
Pria itu pun mulai mengerjakan tugas dari Irene.
Sepanjang Zayn berada di dapur, Irene tak henti-hentinya tertawa. Selalu ada saja kelakuannya yang mengundang tawa. Seperti saat ini misalnya, seluruh tubuh Zayn telah berubah menjadi putih karena terigu yang menempel di sana. Rambut Zayn pun tak luput dari serbuk putih tersebut.
"Kubilang berhenti tertawa! Lihatlah ini adonannya sudah benar atau masih ada yang kurang."
"Ya, baiklah. Aku akan memeriksanya." Irene mengambil alih baskom berisi cairan kental yang berhasil Zayn buat.
"Sudah benar, tinggal dimasukkan ke dalam loyang dan memanggangnya."
Irene mengambil loyang yang telah dia oles dengan taburan mentega dan tepung sebelumnya.
"Aku takut menumpahkannya," kata Zayn.
"Baiklah, biar aku bantu."
Irene menyelinap di depan tubuh suaminya. Tangannya terulur untuk meraih peralatan tempurnya sementara tangan Zayn melingkar mesra diperutnya.
"Bukan seperti ini Zayn, perhatikan dengan benar dan bukannya malah menggodaku," celetuk Irene saat suaminya mengungkung dirinya melalui sebuah pelukan hangat.
Bukan hanya itu saja, tubuh Irene yang hanya sebatas d**a Zayn membuat pria itu membungkuk saat hendak mengecup pipinya.
"Zayn, berhenti main-main," ujar Irene memperingati.
"Aku sedang tidak main-main," elak Zayn.
"Zayn!" pekiknya sambil membalikkan badannya.
Tepat pada saat itu, Irene menyadari seseorang sedang menatapnya penuh kebencian. Ternyata orang itu sudah berada cukup lama di sana untuk memperhatikan aktifitasnya dengan Zayn.
Zayn meraih tengkuk Irene dan terjadilah apa yang seharusnya terjadi. Merasakan Irene yang membalas perlakuannya membuat Zayn semakin bersemangat. Irene meremas kaos yang membalut tubuh suaminya. Gadis itu berjinjit agar memudahkan Zayn meneruskan aksinya.
Dengan mata terpejam, Irene begitu menikmati saat-saat romantis itu. Ia berusaha untuk tetap tenang meskipun dalam hati sebenarnya dia sedang bersorak gembira.
'Ini masih belum seberapa. Biar aku tunjukkan padamu kalau Zayn hanyalah milikku.'
Bersambung ....