6. Shirtless

1048 Words
“Permisi, Nona, maafkan gue lupa ngasih tahu lo tadi. Ternyata penghuni kamar ini sudah pergi.” Mendengar hal tersebut Parveen memiringkan kepalanya bingung, lalu mengernyit tidak percaya sekaligus curiga. Akan tetapi, ia sendiri tidak mempunyai hubungan apa pun untuk mengetahui permasalahan lebih lanjut membuat dirinya lebih memilih diam. “Uhm ... gaun ini gimana? Tadi sepertinya Pak Fairel meminta bawakan gaun ini,” tanya Parveen memperlihatkan paper bag putih polos di tangannya. “Tenang saja, Nona. Gaun ini bisa dititipkan sama gue. Soalnya tadi Fairel bilang kalau ada sekretarisnya ke sini untuk segera ke kantor,” jawab Bara menatap serius dan berusaha meyakinkan gadis yang ada di depannya. “Pak Fairel di kantor!?” seru Parveen terkejut, lalu menatap arloji kecil berwarna cokelat di tangannya. “Astaga, jam berapa ini! Kalau begitu, saya meminta bantuannya untuk memberikan gaun ini sesuai dengan penasanan Pak Fairel.” “Lo bisa percayakan sama gue,” pungkas Bara mengangguk mantap. Setelah itu, Parveen pun terburu-buru turun membuat lelaki yang baru saja membohonginya langsung meringis pelan. Akan tetapi, ia memiliki prasangka bahwa tindakannya tadi sudah benar daripada gadis polos itu menyaksikan bosnya sendiri baru saja bermain dengan wanita sepanjang malam. Sepeninggalnya Parveen yang turun ke bawah, Bara pun hendak menyusul gadis itu, tetapi langkahnya terhenti ketika mendengar suara seseorang memanggilnya dari belakang. “Bar, tadi Parveen yang datang?” tanya Fairel dengan wajah lesunya, lalu mencari-cari seseorang. Bara mengernyit bingung. “Maksud lo gadis polos tadi bernama Parveen? Gue pikir dia sekretaris lo. Soalnya penampilan rapi begitu.” “Astaga, dia sekretaris gue sekaligus mantan sejak SMA. Tapi, sayangnya gue sama dia putus gara-gara lost contact,” keluh Fairel mengacak rambutnya frustasi, lalu tatapannya terpaku pada paper bag. “Apa ini gaun yang gue pesan?” “Iya. Dia datang ke sini ngasih langsung gaun yang lo minta,” jawab Bara memberikan benda tersebut membuat Fairel mengembuskan napasnya kasar. “Dia enggak tanya gue di sini ngapain, ‘kan?” tebak Fairel mendadak cemas. “Sepertinya enggak mempertanyakan pun ketika dia udah tahu, Rel. Tempat ini bukanlah di mana Parveen biasa kunjungi. Jelas gadis itu akan paham, meskipun lo enggak menjelaskan sama sekali,” balas Bara menepuk pundak pelanggang sekaligus teman yang selama ini sering datang mengunjungi dirinya. Mendadak pundak Fairel menjadi berat membuat lelaki itu menyandarkan telapak tangannya ke arah tembok di samping pintu. Kepala Fairel menunduk sembari memandangi sepasang kakinya yang sudah terbaluti sepatu formal. Setelah dirasa cukup tenang, lelaki itu kembali menatap Bara yang masih setia memandangi dirinya. “Terus, lo bilang apa sampai Parveen mau pergi begitu aja?” “Gue cuma bilang lo ada di kantor dan minta bawain sarapan. Untungnya dia langsung percaya, jadi mudah aja,” jawab Bara santai. “Thanks, Bar. Gue pergi dulu,” pamit Fairel memberikan paper bag tersebut kepada Bara lagi, lalu melenggang pergi meninggalkan tempat terkutut yang baru saja mengajarkan Parveen untuk datang. Sejujurnya, Fairel sama sekali tidak menyangka bahwa Parveen akan datang mengunjungi dalam keadaan seperti ini. Untung saja dirinya memiliki beberapa setelan pakaian formal kantor di dalam mobil. Sehingga tidak perlu kembali ke rumah hanya untuk mengangganti pakaiannya. Mengingat Parveen sibuk membeli sarapan, jelas berkendara Fairel jauh lebih cepat dibandingkan gadis itu. Selain Fairel mempercepat laju mobil, lelaki itu tidak akan mampir ke manapun. Sehingga dapat dengan mudah langsung ke kantor. Sesampainya di gedung mewah bergaya modern, Fairel berlari kecil memasuki pintu otomatis tersebut sembari membawa beberapa setelan kantornya. Kedatangan lelaki itu membuat beberapa pekerja pembersih kantor mengalihkan pekerjaan mereka dan menyapa Fairel dengan penuh hormat sekaligus bingung. Namun, lelaki itu sudah tidak memedulikan apa pun, ia memprioritaskan diri untuk segera ke ruangan membersihkan tubuhnya dari aroma campuran sisa semalam. Kalau dirinya tidak segera mandi, mungkin Parveen akan mempertanyakan aroma cukup mengalihkan dunia tersebut. Saking terburu-burunya ingin membersihkan diri, Fairel sampai lupa bahwa dirinya belum mengunci pintu ruangan membuat siapa pun bisa masuk ke dalam. Sementara itu, Parveen yang baru saja turun dari mobil pun langsung terpaku pada sebuah kendaraan mewah terparkir sempurna. Tentu saja ia mengenali sang pemilik kendaraan tersebut, mengingat dirinya baru saja mengendarai mobil yang ternyata bukanlah milik kantor. Melainkan pribadi seorang Fairel Khaizuran Danadyaksa. Dengan membawa dua buah kotak sarapan, Parveen pun menaiki elevator yang sangat cepat datang. Karena kantor ini masih sepi sehingga jarang karyawan menggunakan benda tersebut, keculi para pembersih ruangan yang mulai menjalankan aktivitasnya. Parveen mengembuskan napasnya lega menatap ruangan Fairel sudah menyala terang membuat gadis itu meletakkan tas berisikan laptop dan beberapa berkas lainnya. Tentu saja ia mengerjakan benda tersebut ketika berada di rumah agar cepat selesai. Dan benar saja, tidak sampai sehari, semua berkas tumpukan milik Fairel habis tak tersisa. Sejenak gadis cantik itu menatap dirinya dari cermin yang tersedia tepat di depan ruangan. Sebelum akhirnya Parveen mengetuk pelan, tetapi tidak ada sahutan apa pun membuat gadis itu membuka pintu ruangan. “Ke mana Pak Fairel?” gumam Parveen pada dirinya sendiri, lalu masuk ke dalam meletakkan satu kotak sarapan tersebut di atas meja. Akan tetapi, telinganya mendengar sesuatu terbuka dari dalam membuat gadis itu mengalihkan perhatiannya, lalu melebarkan matanya terkejut. Sedangkan Fairel yang baru saja keluar dari kamar mandi itu pun spontan membalikkan tubuhnya diikuti Parveen melakukan hal yang sama. “Maafkan saya, Pak. Tadi saya sudah ketuk pintu, tetapi tidak ada sahutan dari dalam. Jadinya saya masuk untuk memberikan sarapan itu,” sesal Parveen buru-buru menjelaskan agar bosnya tidak salah paham. Karena bisa panjang urusannya, jika Fairel menganggap hal yang tidak-tidak. Lelaki bertelanjang da*da itu pun tidak mengatakan banyak hal, selain memusatkan perhatiannya pada semua perkataan yang terlontar dari Parveen. Memang terlihat sarapan dan jarak gadis itu antara sofa kecil di ruangannya tidak terlalu jauh. “Tidak apa-apa. Kalau begitu, kamu boleh keluar dan jangan masuk sampai saya memanggil nanti,” balas Fairel terdengar berat. “Baik, Pak!” pungkas Parveen melenggang pergi begitu saja tanpa menoleh sama sekali. Tentu saja kejadian tadi benar-benar memalukan sampai rasanya ia ingin tenggelam begitu saja. Sedangkan Fairel yang mendengar pintu ruangannya telah berbunyi dua kali itu pun mengembuskan napas lega. Kemudian, ia menggeleng tidak percaya bahwa Parveen benar-benar polos mengatakan hal yang tidak seharusnya gadis itu katakan. Lagi pula Fairel pun mengetahui bahwa Parveen akan segera masuk membawa sarapan, tetapi ia hanya tidak menyangka gadis itu datang lebih cepat daripada perkiraannya. Membuat Parveen melihat sesuatu yang memanjakan mata.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD