Namun, siapa sangka kalau kejadian pagi tadi benar-benar membuat Parveen kehilangan fokus. Entah kenapa ia malah menjadi memikirkan bagaimana menggodanya tubuh Fairel yang basah dengan otot perut serta d**a bidang begitu kekar.
Gadis itu bisa membayangkan betapa kerasnya tubuh Fairel saat disentuh. Seiring dengan kotak-kotak berbentuk roti sobek tersebut menghiasi dengan sangat pas. Bahkan bisa dikatakan dambaan siapa saja, termasuk dirinya sendiri.
Parveen jelas tidak munafik bahwa dirinya cukup tergoda dengan penampakan tadi. Akan tetapi, bos dan sekretaris mempunyai batasan agar tidak terlalu saling mengikuti hati. Apalagi Fairel bisa dikatakan lelaki kaya dan mapan, mustahil jika lelaki itu tidak memiliki kekasih.
Hal tersebut membuat Parveen mengubur semua perasaannya agar tetap bekerja di sini dengan tenang. Karena ia masih memilih dua tanggungan lagi. Mengingat ibu dan adiknya berada di kampung menunggu dirinya kembali.
Tanpa sadar Parveen menggeleng keras sembari memegangi kepalanya frustasi. Hal tersebut membuat Shanika yang iseng melintas pun langsung mendekat ketika melihat teman barunya tampak berpikir keras.
“Veen, apa yang lo pikirkan? Kok geleng-geleng terus dari tadi,” tanya Shanika mempraktekkan bagaimana gelengan yang baru saja dilakukan oleh gadis cantik nan polos di hadapannya.
“A-ah enggak apa-apa, Sha. Cuma tadi kerasa pusing aja karena bangun terlalu pagi,” jawab Parveen setengah berbohong, tetapi ia jujur dengan kepalanya yang memang masih sedikit mengantuk.
Shanika mengangguk beberapa kali. “Ya udah, sarapan dulu. Gue lihat kotak sarapan lo masih ada di atas dari tadi. Oh ya, nanti makan siang bersama, yuk! Tenang aja pacar gue lagi penyisiran sama timnya di perusahaan property. Jadi, dia enggak akan ada di sini sampai sore.”
“Oke, tapi enggak janji, ya. Takutnya jadwal Pak Fairel ada yang mendadak dimajukan atau rapat tiba-tiba,” jawab Parveen meringis pelan.
“Enggak masalah!” pungkas Shanika melenggang pergi dengan melompat-lompat kecil, lalu menyapa ramah beberapa karyawan yang tengah melintas.
Baru saja Parveen hendak merebahkan kepalanya di lipatan tangan tiba-tiba suara dari intercom mengejutkan. Membuat gadis itu menegakkan tubuhnya seketika, lalu mendengarkan semua yang dikatakan oleh sang bos dari dalam.
“Parveen, cepat ke sini!” titah Fairel dengan nada otoriternya.
“Baik, Pak!” balas gadis itu bangkit dari tempat duduk, lalu mendorong pelan pintu ruangan sang bos yang mendadak jauh lebih berat daripada biasanya.
Tak lama kemudian, Parveen pun masuk ke dalam untuk menghadap ke arah seorang lelaki tampan yang kini terlihat kesusahan mengenakan dasi di depan cermin besar memperlihatkan setelan tubuh kekar tersebut.
“Parveen, bisakah kamu menolong saya mengenakan dasi ini. Entah kenapa Mamah saya membawakan dasi yang model seperti ini. Padahal jelas-jelas selama ini saya menggunakan dasi instan,” keluh Fairel mengerucutkan bibirnya kesal membuat Parveen tanpa sadar tersenyum geli melihat tingkah bosnya yang sama seperti anak kecil.
“Baiklah. Saya bantu, Pak!” jawab gadis itu melangkah mendekati Fairel, lalu mulai mengambil alih selembar dasi panjang berbahan satin yang begitu halus. Pantas saja lelaki itu tidak bisa mengenakannya sendiri.
Dengan serius Parveen mengukur kepanjangan dasi yang akan dikenakan oleh bosnya. Ketika sudah cukup, ia pun mulai menyimpulkan satu sama lain membentuk segitiga terbalik dengan mengembung padat.
Secara perlahan menarik simpul tersebut dengan mengeratkannya sesuai dengan lingkaran leher yang dimiliki oleh bosnya sendiri. Tanpa sadar jarak antara wajah mereka berdua semakin menipis membuat Fairel menatap secara menyeluruh wajah mulus nan polos yang berjarak beberapa senti saja.
Bahkan dalam jarak sedekat ini ia bisa melihat bagaimana wajah bayi tersebut begitu mulus tanpa sentuhan apa pun. Bahkan bisa dikatakan sangat natural membuat Fairel tanpa sadar tersenyum lembut.
Sampai tiba-tiba pandangannya terpaku pada bibir berwarna merah natural yang dibaluti lip tint ceri segar. Aroma manis pun bisa tercium di hidung Fairel membuat wajah lelaki itu mendekat. Akan tetapi, Parveen langsung menarik wajahnya kembali dengan tersenyum senang melihat dasi tersebut sudah tersimpul rapi.
“Sudah selesai, Pak,” ucap Parveen menatap berbinar.
Sedangkan Fairel mengembuskan napasnya kecewa, lalu membalas, “Setelah itu, temani saya sarapan.”
“Hah? Saya juga belum sarapan, Pak,” imbuh Parveen mendadak bingung mendengar ajakan sang bos barunya.
“Pas sekali! Kita bisa sarapan bersama, lagi pula masih ada beberapa menit lagi sebelum kegiatan kantor dimulai. Tenang saja tidak akan ada yang mengira kita memiliki hubungan sesuatu. Karena saya juga tidak berminat denganmu,” ungkap Fairel begitu menyakitkan membuat senyuman kecut terbit di bibir Parveen.
Entah kenapa gadis itu mengharapkan sesuatu yang kasat mata. Akan tetapi, ia sendiri tidak bisa mengetahuinya dengan jelas. Apalagi selama ini kepalanya sering merasa sakit yang cukup hebat. Walaupun beberapa hari belakangan sudah perlahan memudar seiring dengan potongan kecil kenangan tersusun rapi.
Kini di hadapan mereka berdua sudah terdapat dua kotak sarapan yang sama, tetapi dengan isian berbeda. Karena Parveen yang memesan makanan itu sendiri. Sehingga ia bisa menebak beberapa lauk yang disukai oleh bosnya.
“Parveen, bagaimana berkas yang kamu kerjakan kemarin? Apakah sudah ada beberapa yang terselesaikan?” tanya Fairel di sela-sela sarapannya menatap seorang gadis yang terlihat asyik. Padahal tepat di hadapannya terlihat seorang lelaki tampan yang bisa saja menjaga sikap agar tampak menggemaskan.
Nyatanya hal tersebut sama sekali tidak membuat Parveen merasa terganggu. Gadis itu malah terlihat lebih santai daripada biasanya. Karena ia jarang sekali bisa sarapan bersama seperti ini.
“Sudah semuanya, Pak. Nanti akan saya bawakan ke sini. Tapi, ada beberapa kontrak kerja yang kelihatan aneh, mungkin bisa Pak Fairel cek kembali. Karena itu terjadi ketika saya belum berada di sini. Jadi, bisa dikatakan saya memiliki kelalaian tersendiri untuk mempelajari banyak hal,” jawab Parveen mengangguk singkat, lalu menatap salah satu lauknya yang masih tersisa.
“Pak Fairel mau ini? Sepertinya yang dimiliki sudah habis?” sambung gadis itu menatap bosnya dengan kerlipan mata seperti boneka.
Sejenak Fairel tampak membeku akan tatapan tersebut, tetapi ia langsung sadar bahwa gadis yang ada di depannya sudah berbeda daripada ia kenal dulu. Tentu saja hal tersebut membuat lelaki itu merasa belum yakin, atau lebih tepatnya belum pantas mendapatkan gadis sebaik Parveen kembali.
“Tidak. Kamu habiskan saja sendiri,” tolak lelaki itu menggeleng pelan, lalu kembali memasukkan sendok per sendok sarapan nasi uduk yang dicampur tempe orek kering, tahu sayur, dengan potongan telur dadar sekaligus kerupuk renyah menambah suasana sarapan yang sempat hening tanpa suara.