TKOW 05

1721 Words
Jasmine Pov. aku "JASMINE ROSE DEVANYA" entah kenapa ibu memberiku nama yang terdengar aneh itu. Anna selalu bilang namaku menggelikan. Di antara banyaknya nama yang trend. Ibuku malah memberiku nama yang berkaitan dengan bunga-bunga. "Jasmine kenapa ibumu tidak cari di Google saja, bukankah di sana sangat banyak nama-nama yang trend dan ibumu bisa memilih salah satunya?" ledek Anna dan aku hanya bisa mengetuk keningnya dengan tanganku karena Anna yang tak berhenti tertawa. JASMINE yang artinya melati, dan ROSE yang berarti bunga mawar. Mawar dan Melati bukannya sangat tidak identik? Warnanya saja, sangat berbeda. Tapi, aku tidak mau memusingkannya. itu nama terindah di dunia, karena ibuku yang memberikannya. Ibu juga pernah bilang, jika Rose adalah nama seorang wanita yang sudah menolong ibu dan secara tak langsung juga menolongku. Memberiku kesempatan untuk melihat indahnya dunia ini. Untuk nama DEVANYA, kalian juga tahu jika itu nama belakang ibuku. Jika biasanya seorang anak akan menyandang nama ayahnya dibelakangnya, justru aku anak teristimewa, karena namaku menyandang nama ibu. Ya, ku beri tahu kalian. Aku hanya memiliki ibu. Ayahku? entah aku juga tidak tahu. Sejak kecil, ibu selalu bilang jika ayahku sedang bekerja di tempat yang jauh. Tapi beranjak dewasa, aku tahu. Jika mungkin saja, ayahku masih hidup tapi tak menginginkanku atau bisa saja ayahku sudah mati. Ahh ... aku tak perduli. Aku punya ibu, dan ibu adalah segalanya bagiku. Kami bekerja di peternakan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Ibuku bekerja sebagai pemerah s**u dan aku sebagai pengantar s**u dan juga koran di kawasan rumahku. Bekerja sebagai pengantar s**u bukanlah hal yang mudah, setiap hari aku harus mengemas s**u ke dalam botol steril dan jam 4 pagi aku harus bangun untuk mengantar s**u itu ke rumah-rumah langgananku. Hanya berbekal sepeda kayuhku yang sudah tua, membuat pagiku berkeringat dan kakiku pegal-pegal. Tapi, itu semua sudah tak berlaku buatku. Aku sudah terbiasa, ku anggap itu sebagai olahraga menyehatkan. Aku kuliah di salah satu universitas bergengsi di Paris. jangan heran kenapa aku bisa masuk di universitas orang-orang kaya itu. Meskipun aku hanya pengantar s**u. otakku tidak harus otak sapi, bukan? Ya. Aku salah satu mahasiswi terbaik dan mendapatkan beasiswa selama ini, dan sebentar lagi aku akan lulus dan menjadi sarjana sesuai cita-cita ku selama ini. Setelahnya aku akan mencari pekerjaan layak di sebuah perusahaan, agar ibu tak perlu banting tulang lagi bekerja memerah s**u untuk memenuhi kehidupan sehari-hari kami. Ingin tahu apa yang aku lakukan saat ini. Dengan berbekal kotak musik pemberian Anna di ulang tahunku yang ke 20, aku sedang menggerakkan tubuhku dengan penuh gemulai dan berirama. Selain otakku yang selalu Anna puji, aku juga sangat suka menari. Hingga aku masuk dalam grup teater kampus dan menjadi salah satu penari terbaik yang sering memerankan tokoh utama, meskipun tersembunyi. Ahh ... kalian pasti sudah mengerti maksudku. Tapi, aku tidak mempermasalahkan hal itu. Bagiku, menari adalah sebuah hobi dan keindahan. Bukan sesuatu yang harus ada karena unsur pujian dan penghargaan. Dengan menari, aku bisa mencurahkan semua perasaanku. Entah itu senang, sedih, amarah bahkan ketenangan. Musik selalu bisa menghipnotisku. Aku akan lupa dengan apapun yang ada di sekitarku. Fokusku hanya musik, irama dan alunan indahnya yang selalu bisa menggerakkan tubuhku sesuai melodinya. Kring. Kring! Dering ponselku membuatku berhenti dan mengangkat panggilan itu. "Ya Anna?” ucapku dengan kesal, karena selalu saja Anna menggangguku, saat jam yang ku privat kan untuk menari dan musik. "Kau tahu Jasmine? Aku bertemu pangeran!" Perkataan Anna yang sama sekali tidak penting itu, membuatku semakin kesal. "Anna kau hanya ingin mengatakan hal tidak penting di jam yang kau tahu sendiri adalah jam di mana aku tidak bisa di ganggu, huh!?" balasku dengan nada keras. Dan apa yang Anna respons? Dia malah tertawa terbahak-bahak dan sudah menjadi kebiasaannya, dia akan tertawa keras untuk membuatku semakin jengkel. "Anna, jika saja kau ada di sini. Sudah kututup mulutmu itu dengan lakban!" sungutku dan Anna semakin tertawa keras. "Anna, Besok tidak ada contekan lagi, titik.” Tut! Aku mematikan sambungan teleponnya dan itulah cara terampuh untuk membungkam mulut bocor Anna yang selalu tertawa keras menjengkelkan itu sampai-sampai gendang telingaku akan pecah. Ponselku berbunyi lagi, putri tuan AXELENDRA THOMAS itu pasti tidak akan berhenti menggangguku. "Please, Jasmine my lovely girls. Jangan lakukan itu, okay? Aku janji, aku tidak akan mengganggumu lagi dengan jam 9 malam yang sudah menjadi kekasihmu itu,” ucapnya dengan memelas dan aku sudah jengah mendengar kata yang entah sudah berapa ribu kali Anna ucapkan. "Baiklah. My naughty girls. Sekarang berhenti menggangguku!" ucapku menyerah dan mematikan sambungan telepon. Jika aku tidak mengiakan keinginannya. Anna akan selalu menggangguku dengan terus menghubungiku atau bahkan nekat datang ke rumah dan menginap. Dan tentu, keusilannya akan semakin membuatku tak bisa berkonsentrasi menari. Seringkali Anna juga akan jingkrak-jingkrak tak jelas di dekatku, seperti tariannya di bar yang selalu dia datangi itu. Anna punya kehidupan bebas, dan aku selalu mengomelinya jika dia sudah mabuk. Sedangkan aku, warna alkohol saja aku tidak tahu, bagaimana mau meminumnya? Ibu juga selalu memperingatkanku, untuk menghindari minuman itu dan aku menurut saja. Lagi pula segelas cokelat panas adalah minuman ternikmat di dunia. 15 hari lagi, akan ada pementasan teater terbesar dalam hidupku dan aku harus fokus latihan. Tentu saja juga harus menghindari Anna si biang rusuh. Meskipun Anna selalu membantuku. Anna tak segan ikut me’make over dan menjadi suporter setiaku. Ya, kebocorannya selalu membuat Anna hilang kendali dengan berteriak-teriak tak jelas, meskipun dalam gedung. Astaga ya Tuhan. Tapi, aku sangat menyayanginya. Dia sahabat terbaik yang aku miliki. Omong-omong, usiaku lebih tua 7 bulan dari Anna. Sangat sering, aku mengejeknya dengan memanggilnya adik dan Anna akan mendelik tak suka. **** Author Pov. Peter sudah sampai di rumahnya setelah mengantar pria yang ditolongnya tadi. Di temani segelas cokelat panas, Peter fokus memperhatikan layar laptopnya. Pria yang ditolongnya tadi sangat baik dan kecocokan langsung terjadi di antara mereka. Bahkan pria itu memberinya sebuah pekerjaan dengan menyerahkan salah satu perusahaan untuk Peter pimpin langsung. Awalnya Peter menolak, tapi pria itu juga keras kepala sepertinya. Jadi, Peter menerimanya dan itu akan menjadi hal baik untuk dia kedepannya. Mengingat insiden di perusahaan tadi pagi. Membuat Peter semakin bertekad untuk menghancurkan Luke dan mengalahkannya telak hingga Luke akan jatuh di bawah kakinya. "Baiklah Luke. Kau yang melibatkan dirimu dalam duniaku. Dan takdir membuatku bisa mengimbangimu. Kita lihat, seberapa pintar kau melawanku," gumam Peter sambil terus mengutak-atik laptopnya. Senyuman misteriusnya muncul dan pasti sesuatu sudah direncanakan oleh otak geniusnya itu. Dan besok adalah hari pertama dia bekerja di perusahaan yang akan dipimpinnya. **** Jasmine Pov. Jam 04:22 pagi, aku kembali menjalankan aktivitasku. Meskipun keraguan masih menyelimuti ku, takut jika pria itu masih berniat ingin menangkap ku. Tapi, aku tidak punya pilihan lain atau bonusku akan dikurangi jika aku tidak bekerja dan itu akan merugikanku. Aku mengayuh sepeda ku dengan semangat. Aku ingin cepat sampai di rumah pria gila yang aku beri pelajaran 2 hari yang lalu. Dan segera menyelesaikan tugasku agar bisa bernapas dengan lega. "Sebentar lagi Jasmine. Tenang, okay, kau hanya perlu memukul hidungnya jika dia melakukan sesuatu padamu,” ucapku meyakinkan diri sendiri, sambil melangkah pelan membawa s**u dan koran menuju meja di samping pintu rumah itu. Aku mengendap-endap sambil sesekali melirik ke belakang. "Ya ampun Jasmine. Kenapa kau menjadi penakut begini? Bisa-bisa nanti kau dikira maling," cicitku sambil memukul kepala ku pelan. "Tenang Jasmine. It's okay. Tarik napas, embuskan. Huftt! Tarik napas, embuskan. Hufft...." Aku melakukannya berkali-kali untuk menetralkan detak jantungku dan mengurangi ketakutanku. Lalu kembali melangkah dan bernapas lega saat sudah menaruh s**u itu pada tempatnya. Aku mendekatkan wajah ku ke jendela kaca rumah untuk menjaga keamanan. Siapa tahu pria itu sudah bangun. Aku menatap isi dalam rumah dan semuanya masih aman terkendali. Nampaknya pria gila itu masih tidur. Syukurlah, aku selamat. Aku melangkah ke belakang, dan kembali mengendap-endap layaknya maling kesiangan. Kali ini aku tidak mau mengerjai pria itu. Entah kenapa aku merasa sangat takut untuk berhadapan dengannya. "Ahh ... leganya. Kau bebas Jasmine. Kau bebas!" ucapku dan mengembuskan napas pelan sambil menatap rumah di depanku. "terimakasih banyak, Tuhan. Kau menyelamatkanku ..." aku terkikik geli sambil mengusap wajahku yang berkeringat dingin. Kemudian aku berbalik dan ... Bughh! Deg. Deg. Deg. Aku menggigit bibir bawahku, menyadari kepala ku menabrak sesuatu yang keras dan bidang. Dan aku yakin itu adalah d**a seorang pria, meskipun aku tidak pernah merasakan bagaimana kerasnya d**a seorang pria. Jantung ku berdetak dua kali lebih cepat. Tubuh ku kaku. Aku sudah merasa hidupku berada di ujung tanduk. Kali ini, bukannya bebas, aku tertangkap dan entah ke mana perginya keberanian ku untuk memukul hidung pria yang membuatku kesal itu. Perlahan kudongakkan kepalaku. Pandanganku, bersibobrok dengan netra tajam di atasku yang membuatku mendadak kikuk. Kuremas ujung jaket yang kupakai. Entah kenapa, mataku tak bisa lepas dari manik mata indah dan tajam itu. "Kau takut, huh?" suaranya yang dingin juga tajam membuatku ingin rasanya menenggelamkan diriku kelautan. Aku tidak pernah mendengar suara yang menakutkan seperti itu. Aku mencoba mengendalikan diriku, membuang rasa gugup dan ketakutanku. Entah aura apa yang dimiliki pria di depanku ini, hingga membuat urat syarafku seakan mati. "A-apa maksudmu!?" kata-kata yang ku niatkan akan tegas dan menunjukkan jika aku tidak gugup. Nyatanya tidak sesuai dengan keinginanku. Suaraku terbata-bata dan jelas menunjukkan berapa besar ketakutanku. "Ketakutanmu membuktikan jika kau tersangkanya!" ucap pria itu dengan menyeringai. Yang entah apa maksudnya seringaian itu. "Jangan menuduh orang sembarangan!" aku mendongak menantangnya. Meskipun melihat manik matanya saja, sudah membuat nyaliku ciut. "Jangan mengelak. Aku punya buktinya!" dan tanpa babibu lagi, pria gila itu menarikku ke dalam rumahnya. Aku mencoba berontak tapi cekalan tangannya sangat erat hingga aku meringis kesakitan. "Lepaskan aku, pria gila! Aku akan berteriak jika kau tidak melepaskanku, dan kau akan digebuki warga sampai pingsan!" ancamku dengan berteriak dan terus berontak. Tapi tindakannya malah membuatku bungkam 1000 bahasa. Dengan lancangnya dia mengunci tubuhku ke tembok dengan kedua tangan besarnya dan menatap ku dari jarak yang sangat dekat, hingga membuatku panas dingin. Jarak wajahnya sangat dekat dengan wajahku, sampai-sampai hidungku saja nyaris menempel dengan hidung mancungnya itu. Napasku memburu, belum pernah aku sedekat ini dengan seorang pria. Pria gila itu masih terus menatapku dengan pandangan matanya yang tajam menusuk, embusan napasnya pun menerpa wajahku. Membuatku semakin membatu. "Sebelum kau lakukan itu, aku akan membuatmu berteriak lebih dulu ..." ucapnya dengan dingin dan terdengar sangat menakutkan. Aku menelan salivaku kasar, aku salah memilih lawan dan entah apa yang akan dilakukan pria gila di depanku ini dan terjadi padaku selanjutnya. "Akkhhhhh ... apa yang kau lakukan!?" teriakku
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD