Part 19

2116 Words
Luna dan kedua sahabatnya kembali bersama. Setelahnya mereka betul - betul berjalan secara beriringan dengan Luna yang berada di tengah - tengah antara Ana dan Clarissa. Dengan alasan mereka tak ingin kejadian tadi terulang kembali. Jadi sebagai antisipasi, meski ketiganya tidak saling bergandengan tangan sesuai dengan syarat yang Luna ajukan, tapi setidaknya Luna berada dalam pengawasan keduanya karena posisinya yang berada di tengah, diapit oleh Ana dan Clarissa yang sesekali menoleh untuk memastikan keberadaan Luna. Sebenarnya mendapat perlakuan seperti itu, Luna ingin menolak. Memangnya ia seorang penjahat yang mesti dikawal? Seorang tawanan yang harus selalu dicek keberadaannya? Tidakkah itu terlalu berlebihan? Namun apalah daya, rasanya terlalu membuang - buang tenaga jika resikonya ia harus berdebat dengan dua orang super cerewet di sebelahnya itu. “Ini kapan nyampenya sih? Kok lama banget,” dumel Luna saat dirasa rasa lelah sudah mulai menghampirinya. “Bentar lagi, Lun. Sabar ya!” “Bentar lagi, bentar lagi mulu deh perasaan. Kapan nyampenya coba? Kenapa sih? Janjiannya nggak yang deket halte aja. Orang kepercayaan kamu nggak pengertian sama perempuan, Na! Capek tau!” ucap Luna kembali, dengan raut wajah kesal yang sangat terlihat jelas. “Ya ampun, Lun. Baru juga jalan sepuluh menit masa udah capek sih?! Anggep aja sekarang lagi pemanasan. Nanti mungkin aja kita bisa jalan lebih jauh dari pada ini. Kan kita bertiga ngikut kegiatan Rayhan.” “Bisa jalan lebih jauh dari pada ini gimana? Nggak, nggak. Aku nggak setuju. Rayhan kan laki - laki. Tenanganya udah pasti lebih besar dari pada kita. Kalau dia niatnya pengen jalan terus, atau bahkan lari - lari santai sampai satu jam lebih gimana? Kita ikut juga? Kamu aja! Aku mah nggak mau.” “Sejam itu bentar kok. Nggak kerasa, apalagi kalau bareng dia. Lagian kamu itu kerjaannya makan tidur doang. Harusnya banyak gerak biar sehat! Jangan maunya rebahan mulu!” Luna mencemberutkan kedua daun bibirnya setelah mendengar perkataan Ana yang terakhir itu. Memang ia akui kalau pola hidupnya tidak sehat. Kegiatannya makan dan tidur, tapi tidak diimbangi dengan olahraga. Tapi untuk perkataan yang pertama, tentu saja ia tak setuju. “Iya, iya. Tapi untuk soal berasa nggak berasa, itu hanya berlaku untuk kamu ya. Kamu jalan sama Rayhan mau sejauh dan selama apa pun ya pasti mau - mau aja. Nggak akan ada penolakan. Tapi kalau aku jelas nggak ya. Nggak tau Clarissa. Pokoknya awas aja kalau si Rayhan nggak peka. Pokoknya ritme dan lamanya kita jalan nanti, harus nyesuain kesanggupan yang cewek - cewek. Enak aja kita yang ngalah, mereka dong yang cowok yang harusnya ngalah,” ucap kesal Luna yang diakhiri dengan tatapan mengancamnya. “Tenang aja. Rayhan anaknya baik dan pengertian kok. Dia pasti selalu mikirin kita,” ucap Ana membela sang pujaan hati, kemudian menatap penuh binar ke arah depan saat dilihatnya seseorang yang sejak tadi ia cari keberadaannya ternyata sudah ada di depan matanya. Beberapa meter tak jauh dari keberadaannya saat ini. “Itu dia! Sesuai dengan informasi yang orang kepercayaanku bilang. Di deket pohon besar, nggak terlalu jauh dari pintu keluar halte, yang depannya ada toko roti. Tapi orang kepercayaanku mana ya? Kok nggak kedeteksi sih keberadaannya? Masa bodo lah. Yang penting Rayhannya ada. Yuk girl, kita samperin Rayhan. Tapi pura - puranya kita nggak sengaja ketemu dia ya? Biar dia nganggepnya pertemuan kita ini kebetulan bukan kesengajaan,” ucap Ana memberi pengarahan kepada kedua sahabatnya. “Beres! Udah ah. Ayo samperin dia ke sana! Kayaknya tempat Rayhan sekarang teduh banget. Deket pohon - pohon.” Luna berucap dengan gerak langkah bersemangat untuk menghampiri Rayhan. Tidak, tidak. Lebih tepatnya bersemangat untuk meneduh di dekat pohon, yang tempatnya berada tepat di belakang Rayhan saat ini. “Luna jangan lupa lho ya!” teriak Ana mengingatkan rencananya. “Beres!” Luna bahkan sampai berlari - lari kecil agar segera sampai di tempat tujuannya. “Lho? Rayhan!” Luna mulai menjalankan rencana mereka. Dikarenakan Ana masih tertinggal dengan Clarissa di belakang, maka jadilah ia yang menyapa Rayhan terlebih dahulu. Rayhan yang pada saat itu sedang fokus dengan ponselnya, langsung mendongakan wajahnya untuk mencari tahu siapa yang baru saja menyapannya. Dan juga memastikan, kalau ternyata memang ia yang sedang disapa. Karena siapa tahu saja yang dimaksud adalah Rayhan yang lain, bukan dirinya. Mengingat orang yang bernama Rayhan, di lokasi tersebut, bisa saja lebih dari satu. “Hai.. Assalamu’alakum, Luna.” “Eh iya lupa. Wa’alaikumussalam. Kamu udah balik ternyata. Apa kabarnya nih? Udah lama di Jakarta?” tanya Luna berbasa basi. Fakta bahwa Rayhan baru saja pulang dari Bandung, dari tempat Kakaknya, menjadi bahan obrolan sembari menunggu kedatangan Ana dan Clarissa. “Iya alhamdulillah udah balik. Kabar saya alhamdulillah baik. Nggak lama sih. Saya datang baru kemarin, hehe. Aslinya acara di sana cuma sebentar, cuma mumpung ke sana, jadi sekalian liburan. Kamu ke sini sendiri?” “Bener sih. Kalau aku jadi kamu juga udah pasti kayak gitu. Mumpung - mumpung ya kan, haha. Nggak kok. Aku nggak sendiri. Ke sini bareng Ana dan Clarissa. Itu di belakang,” ucap Luna seraya menunjukkan jari telunjuknya ke arah Ana dan Clarissa yang berada di belakangnya. Sekitar satu atau dua meter dari keberadaannya saat ini. “Assalamu’alaikum,” ucap salam Ana dan Clarissa secara kompak, yang diiringi dengan senyuman manis keduanya. “Wa’alaikumussalam,” jawab Luna dan Rayhan tak kalah kompak. “Lagi CFD-an juga?” Kini Ana mulai beraksi. Luna hanya bisa tertawa dalam hati. “Iya.” Rayhan menjawab dengan sangat singkat, dan dengan wajah yang menunduk. Menyibukkan diri dengan ponselnya. “Wah kebetulan banget ya kita ketemu di sini. Kamu datang sendiri, Ray? Atau jangan - jangan datang sama gandengan?” “Saya datang sama Leo.” Ketiga gadis itu ber-oh-ria secara kompak setelah mendengar ini. Dengan Luna yang mendumel tak jelas di dalam hatinya. “oh, jadi orang kepercayaan, dan laki - laki spesial yang Ana maksud itu si ikan lele? Spesial apanya? Kayaknya lebih spesial martabak dan nasi goreng yang karetnya dua deh di banding dia. Dan bisa - bisanya mereka berdua berniat mendekatkan kita. Ya meskipun aku udah komitmen untuk nggak mikirin laki - laki dan cinta, kalau mereka punya niatan buat ngedeketin aku sama laki - laki, ya nggak dia juga orangnya! Kayak nggak ada laki – laki lain aja,” ucap Luna kesal dalam hati. “Hello every body!” Pas sekali. Beberapa detik setelah mereka membicarakan Leo, laki - laki itu tiba - tiba datang, yang entah muncul dari mana. “Panjang umur ini anak!” ucap Luna dalam hati, seraya memalingkan wajah agar tatapannya dan tatapan Leo tidak bertemu. “Kamu abis dari mana sih? Untung aku bisa nemuin keberadaannya si Rayhan. Kalau nggak percuma kita ikutan datang ke sini. Nyesel rasanya udah gembar - gembor sama mereka kalau kamu adalah orang kepercayaan aku,” ucap Ana kesal, dan dengan volume suara yang amat sangat pelan namun masih bisa dijangkau oleh orang yang posisinya dekat dengannya, saat dirasa Leo berada di sebelahnya. “Jangan berprasangka buruk dulu dong! Kalau aku nggak izin sama dia mau ke kamar mandi, mana mau dia nungguin di sini. Orang dari tadi dia udah ngajak lari sampe monas. Dan rencana kamu bisa gagal total! Aku pergi dari deket Rayhan ya supaya kalian bisa ketemu lho. Bukannya terima kasih malah nyalahin!” ucap Leo tak terima. Merasa usaha dan pengorbanannya tadi tak dianggap. Padahal ia sampai harus bersembunyi lama selagi Ana dan kedua sahabatnya itu belum juga muncul. “Kamu lama banget, Leo, di kamar mandinya. Saya sampe pegel lho nunggunya. Bahkan niatnya saya mau duluan aja ke sana. Tapi kasian sama kamu, makanya nggak jadi dan memilih untuk tetep nunggu di sini,” ucap Rayhan menceritakan apa yang sebenarnya akan ia lakukan tadi. Mendengar itu, sontak saja Leo dan Ana saling pandang, dengan Leo yang menatap Ana dengan tatapan seolah - oleh berkata. “See? Apa gue bilang?! Kalau bukan karena gue, dia nggak bakal mau nunggu lama - lama di sini.” Yang tentu hanya mampu Ana balas dengan menampilkan cengiran khasnya. “Iya. Tadi aku sakit perut, Bro. Makanya lama. Oh ya, tumben bidadari - bidadarinya Abang Leo pada ada di sini. Kalian kesambet apaan sampe bisa kepikiran buat olahraga di sini? Apalagi kamu si tomboy! Kirain bakal mendem diri di kamer buat tidur seharian,” ucap Leo yang diakhiri dengan mengangkat dagunya ke arah Luna, saat memaksudkan perkataannya tadi untuk Luna. “Pertama, sebegitu anehnya kah kalau kita bertiga olahraga ke sini, terlebih aku, sampai kamu tadi bilang kita kesambet apaan? Kedua, aku bukan bidadarinya kamu! Kamu harus dengerin ini baik - baik ya! Kalau pun di dunia ini hanya ada kita berlima. Aku, Ana, Clarissa, Rayhan, dan juga kamu. Nggak akan ada yang mau jadi bidadarinya kamu! Lebih baik Rayhan ke mana - mana dari pada kamu!” ucap Luna penuh penekanan. “Ooo. Berarti kalian bertiga nggak masalah kalau jadi istri pertama, istri kedua, dan istri ketiganya Rayhan dong! Emangnya aku kurang apa? Ganteng, dan yang lainnya masih sebelas dua belas kok sama Rayhan!” “Aku nggak peduli mau kamu sebelas dua belas kek. Atau kembar kek sama Rayhan. Simpelnya kalau pun Rayhan nggak masuk pilihan. Kalau di dunia ini hanya ada kita berempat. Aku, Ana, Clarissa, dan juga kamu. Kita lebih baik menjomblo dari pada harus sama kamu!” Mendengar Luna beberapa kali memberikan penekanan di setiap ucapannya, yang pada intinya tidak ada yang ingin bersamanya, membuat Leo menatap kesal ke arahnya. “Lah? Kamu mau ngomong apa kek. Aku juga emangnya peduli? Hati - hati lho. Nggak ada yang tau kalau ujung - ujungnya kamu yang justru tergila - gila sama aku. Bilangnya nggak mau, taunya nanti cinta setengah mati sama aku!” Luna memelototkan kedua matanya mendengar itu. “Ini orang percaya diri banget ya?! Nggak bakalan hal itu terjadi. Orang aku nggak ada niatan buat pacaran, apalagi menikah. Jadi jangan harap omong kosong kamu itu akan jadi kenyataan. Gila - gilaan apanya? Cinta setengah mati apanya? Jangan mimpi deh, hey ikan lele!” ucapnya dalam hati, dengan pandangan yang berapi - api. “Jangan mimpi! Bangun woy! Kalau jatoh, sakit tau!” “Tuh, kan! Bilangnya nggak mau tapi ternyata perhatian juga sama aku. Luna, Luna. Kalau suka tuh bilang aja kali. Nggak usah justru menutupi dengan berucap yang sebaliknya! Lucu banget sih kamu! Abang Leo jadi makin gemes deh. Pengen rasanya buat nyubit pipi kamu.” “Idih! Na**s! Awas aja kalau kamu berani ngelakuin itu ke aku. Aku bejek - bejek kamu sampai remuk!” “Bejek - bejeknya pake perasaan?” “Iya dong! Biar hancur remuk sampai nggak ada sisa!” “Nggak papa deh kalau gitu. Abang rela kalau kamu ngelakuinnya sepenuh hati dan perasaan kayak gitu. Mau kita mulai kapan?” Mendengar ucapan Leo barusan, Luna rasanya ingin mengangkat kedua tangan sebagai tanda ingin menyerah. Bisa - bisanya dia ngomong kayak gitu! Berbeda dengan Ana, Rayhan, dan juga Clarissa yang kini sedang tersenyum kecil melihat tingkah Luna dan Leo yang seperti tom and jerry itu. “Dasar nggak waras!” “Nggak papa nggak waras, asal penyebabnya karena kamu!” “Dasar gila!” “Nggak papa gila, karena aku memang sedang tergila - gila sama kamu!” Sedari tadi Leo berucap dengan seulas senyum manis. Entah ke mana rasa takutnya saat mendapati ancaman dari Luna tersebut. Padahal Luna terkadang nggak main - main dengan ucapannya. Bisa - bisa ia mewujudkan ancamannya barusan. Namun entah kenapa, bukannya takut seperti biasanya, Leo justru terlihat seperti kesenangan bisa beradu mulut dengan Luna seperti saat ini. “Leo! Sini kamu! Aku betulan lho. Serius bakal jadiin kamu seperti perkedel! Bejek - bejek kamu sampai hancur dan remuk! ” cukup sudah Luna menahan amarahnya sejak tadi. Semakin ke sini, yang ia lihat Leo justru semakin berani terhadapnya. Maka Luna berencana untuk mewujudkan ucapannya barusan. Ia bahkan kini sudah hendak mendekat ke arah Leo, dan melancarkan aksinya, jika Leo tak segera berlari menjauhinya. “Malah lari lagi itu anak. Hah! Katanya nggak takut. Taunya baru juga mau maju satu langkah, dia udah ngacir duluan. Bener - bener ya itu anak!” ucap Luna kesal, seraya mulai berlari untuk mengejar Leo dengan sepenuh tenaga. “Hahaha. Itu dua orang kalau ketemu ada aja yang bikin ribut. Pasti ujung - ujungnya berantem,” ucap Ana gemas seraya menatap Luna dan Leo dari tempatnya berdiri saat ini. “Iya. Luna juga. Katanya datang ke sini pun nggak mau olahraga. Taunya sekarang yang paling semangat lari - larian bareng Leo, hehe,” ucap Clarissa setuju. “Mmm, kita susul mereka yuk! Sekalian olahraga. Tujuannya datang ke sini kan memang untuk olahraga,” ajak Rayhan, yang kemudian Ana dan Clarissa setujui dengan anggukkan kompak mereka. Ketiganya pun mulai berlari, meski tak sekencang Leo dan Luna di depan sana.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD