Part 18

1388 Words
Tepat pukul tujuh lewat tiga puluh menit, Luna dan kedua sahabatnya sampai di halte busway tujuan. Luna yang selama dalam perjalanan memilih untuk tidur pun untungnya bisa dibangunkan sebelum mereka sampai. Kejadian di dalam taxi tadi bisa tak terulang, dikarenakan Ana dan Clarissa yang berhasil menjadikan kejadian itu sebagai pengalaman berharga yang dapat dijadikan pelajaran. Mereka berusaha membangunkan Luna sejak dua halte sebelum halte tujuan. Tentunya dengan berbagai cara yang syukurnya dapat berhasil sebelum perjalanan mereka akhirnya sampai. “Yuk turun. Kita turun di halte ini,” ajak Ana seraya mulai memimpin langkah. Diikuti oleh Clarissa dan Luna yang berjalan di belakangnya, meski dengan Luna yang berjalan sedikit sempoyongan karena masih dikuasai oleh ngantuk. Setelah sampai di halte tujuan, mereka dengan segera melakukan tap out kartu e-money mereka di barrier gate agar bisa keluar dari area dalam halte, dan segera melucur ke tempat pertemuan mereka. Mengetahui jarak halte dan tempat pertemuan mereka yang tak terlalu jauh, membuat Ana dan Clarissa berjalan penuh semangat setelah berhasil keluar area dalam halte. Namun ternyata, di tengah - tengah suasana penuh semangat Ana dan Clarissa, mereka tak menyadari bahwa salah satu di antara mereka masih tertinggal di dalam. Mereka baru sadar setelah akhirnya mereka berhasil berjalan melewati belasan meter dan menuruni belasab tangga. Setelah mereka berhasil keluar dari area halte dan mulai akan berbaur dengan banyaknya orang yang sedang berolahraga dengan berjalan - jalan santai. Ketika berniat untuk saling berpegangan tangan, agar ketiganya tidak terpisah, ternyata mereka hanya terdiri dari dua orang. “Yuk guys, kita saling berpegangan tangan. Atau paling nggak kita jalannya sejajaran. Jangan sendiri - sendiri dan depan belakang gini. Keliatan jomblonya tau kalau kita kayak gini. Tuh coba liat orang - orang. Datengnya bareng pasangan. Ada yang suami istri, ada yang pacaran, bahkan ada juga yang udah bawa anak, ” saran Ana dan mulai memelankan langkahnya untuk menyamai langkah orang yang berada dibelakangnya. “Hehe. Iya juga ya?! Setidaknya walaupun beneran emang jomblo, kalau jalan bertiga gini kan keliatannya jomblo tapi bahagia karena banyak temennya,” ucap Clarissa menyetujui apa yang baru saja Ana sarankan. “Nah, betul. Walaupun ketauan banget kalau kita jomblo, tapi setidaknya kita masih punya gandengan lain yaitu sobat - sobat sesama jomlo. Hehe.” “Ngomong - ngomong kok si Luna nggak nyamain langkah kita ya, Na? Apa ajakan kamu tadi nggak kedengaran? Sampai - sampai dia masih jalan santai di belakang?” “Ah iya. Dari tadi nggak kedengeran juga suaranya. Bentar aku cek dulu ke belakang,” ucap Ana seraya mulai membalikkan tubuhnya ke arah belakang. Namun ternyata, “Loh, Sa. Si Luna ke mana? Kok nggak ada sih di belakang,” tanya Ana heran setelah dilihatnya Luna tidak ada di belakangnya. Bahkan dari arah pandangnya pun nggak ada. “Apa ketinggalan kali ya? Kita jalannya kecepetan kali.” “Masa sih? Perasaan kita jalannya nggak cepet - cepet banget deh. Masih santai itu.” “Terus kita nyarinya gimana ini? Mana sekarang lagi banyak orang lagi. Seriusan deh, bakalan susah.” Mereka pun sudah terlihat kebingungan. Pasalnya kini mereka berada di keramaian yang cukup menbingungkan. Ditambahnya minimnya pengalaman mereka melakukan CFD. Berbeda dengan mall, mereka bisa menghubungi pusat informasi untuk disiarkan, sedangkan di tempai ini bagaimana caranya mereka mencari tahu orang hilang? “Si Luna nih bener - bener ya. Apa susahnya buat nyamain langkah kita? Kalau udah kepisah gini kan jadinya berabe. Rencana awal kita ke sini juga bisa gagal total,” ucap kesal Ana, seraya terus mengedarkan pandangan matanya ke segala arah. “Sebenernya kalau menurut aku ada tiga kemungkinan sih. Pertama kita kepisah karena kitanya yang mungkin jalan terlalu cepat. Kedua, bisa jadi Luna menghilang karena diculik orang. Ketiga, bisa jadi dia masih ketinggalan di halte. Soalnya sejak awal kita keluar dari area dalam halte kita udah nggak denger suaranya kan?” ucap Clarissa mengutarakan semua spekulasinya. “Kalau yang pertama sama yang terakhir tadi nggak papalah. Tapi kalo yang terakhir jangan sampai deh. Masa sih dia diculik? Emang dia nguntungin ya? Orang kerjaannya tidur mulu, terus makannya banyak. Yang ada malah bikin si penculiknya bangkrut,” ucap Ana yang entah ia sedang serius atau sedang bercanda. “Kamu ini, Na! Kirain bilang jangan sampai karena khawatir. Taunya lebih kasian sama penculiknya. Wkwk. Nih, zaman sekarang ya. Motif penculikan itu beragam banget. Ada yang diculik buat dipekerjakan, ada yang dijual buat jadi wanita bayaran, ada yang dijual organ dalemnya. Banyak macem, Na. Duh, jangan sampai deh dia diculik. Gitu - gitu dia sahabat baik aku.” “Iyaa. Gitu - gitu dia sahabat baik kita.” “Gitu - gitu apanya nih maksudnya? Wkwk. Konotasinya baik atau buruk?” “Ehh? Iya juga ya. Ya kalau Luna sih bisa dua - duanya. Luna kan multi talent. Dia aja bener dia mau, dia ajak iseng juga dia mau. Emangnya kamu, Sa? Kalau diajak buat iseng sukanya nolak pake dalil?” “Wkwkwk. Udah ah! Coba aku telepon dia dulu. Bisa jadi dia lagi ke kamar mandi karena buru - buru jadi nggak sempet buat ngabarin kita.” “Bisa juga sih. Ya udah coba telepon!” ucap setuju Ana, yang kemudian langsung Clarissa laksanakan. Mencoba menghubungi Luna, namun ternyata nihil. Setelah tiga kali ia mencoba menghubungi, tak ada balasan dari Luna. “Nggak diangkat - angkat dari tadi. Padahal nomornya aktif.” “Duh, itu anak ke mana sih. Kok aku jadi khawatir ya. Coba dihubungi lagi, Sa! Kalau udah tujuh kali kamu nelepon tetep nggak ada jawaban, kita cari cara lain.” Dan syukurlah, untung saja Clarissa dengan sabar mau mengikuti saran dari Ana. Karena alhamdulillah, dipanggilan ketujuh tersebut, orang di seberang telepon mengangkat panggilan teleponnya. (“Halo? Siapa ini? Ganggu banget sih. Kalau nelepon nggak diangkat - angkat, jangan dipaksain! Itu tandanya dia lagi sibuk. Lagi nggak mau diganggu. Ngeyel banget sih! Tidurku jadi keganggu nih!”) Orang yang ditelepon terdengar marah - marah. Dengan suara khas orang bangun tidur, yang diselingi dengan suaranya yang sedang menguap. “Luna! Kamu lagi di mana sih, Ya Allah... ini aku sama Ana lagi kelimpungan nyariin kamu, kamunya malah lagi enak tidur. Melek woy! Luna, Luna. Ada - ada aja sih kamu!” “Kenapa?” tanya Ana heran saat didengarnya Clarissa sedang marah - marah nggak jelas dengan orang di seberang telepon, yang Ana tebak itu merupakan Luna. “Ini si Luna kayaknya baru bangun tidur. Tapi nggak tau di mana. Tadi malah marah - marah lagi sama aku, yang katanya udah ganggu kegiatan tidur dia. Ya aku marahin balik lah. Orang kita di sini lagi kelimpuangan nyari tau keberadaan dia di mana, eh dianya malah keasyikan tidur.” (“Ini siapa sih? Kok jadi ikut - ikutan marah?!” “Ini Clarissa, Luna! Kamu melek dong! Kumpulin kesadaran kamu! Minum dulu atau ngapain gitu biar sadar! Kamu kan bawa minum. Biar nyambung kita ngomongnya.” (“ Oh iya bentar - bentar. Aku minum dulu.”) beberapa detik berselang, dengan suara tegukan air yang mengiringi, orang di seberang telepon kembali membunyikan suaranya. (“Oh, Clarissa.. iya, Sa? Ada apa?”) “Ada apa, ada apa? Kamu di mana?” (“Aku?.. Aku.. hm.. aku di mana ya? Ohh.. aku di halte, Sa. Ada apa?”) “Ayo sini. Kamu keluar dari halte, terus jalan terus sampe nemu tangga, abis itu turun dari tangga. Kita ketemuan di sana. Cepetan!” (“Ngapain aku harus ke sana? Enak di sini, adem. Bisa senderan lagi!”) “Kamu ini. Itu minumnya coba diabisin dulu deh. Kayaknya kesadaran kamu belum ngumpul semua. Masih setengah.” Clarissa menarik napas panjang, kemudian mengembuskannya perlahan. “Kita kan lagi mau CFD an di sini, Luna. Ayo cepetan ke sini. Kita tunggu.” (“Wkwkwk. Iya, iya. Aku ke sana. Sensi banget sih. Sabar, sabar. Ini aku mau jalan ke sana. Aku matiin ya?”) “Nggak usah deh. Yang ada nanti kamu nggak jadi ke sini lagi. Kalau tiba - tiba tiduran lagi gimana? Makin lama nanti.” (“Nggak percayaan banget deh jadi orang. Seriusan nggak bakal tidur lagi. Ini udah otw. Bye!”) Dan panggilan telepon pun langsung terputus berkat Luna yang memutus sambungan. Membuat Clarissa langsung berkata dengan nada gemasnya, “awas aja kalau ini anak bohong dan nyatanya ketiduran lagi! Aku ruqiyah nanti kalau ketemu!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD