06. Ketakutan di Ruang Ganti

1368 Words
Rheana terkesiap yang membulatkan matanya. “Ck, siapa yang mandang? Mobil ini aja udah kawahan, masa seat belt dipasang aja lola banget kayak orangnya,” sindirnya. “Apa? Anda bilang apa?” “LOLA, KAYAK ORANGNYA!” Ari pun menatap gadis itu dengan tajam. Dia pun mendekatinya kembali lalu dia mencondongkan tubuhnya kembali mendekat ke wajah gadis itu yang semakin ketakutan. Pun dengan Rheana, kedua matanya terbuka dengan lebar. Dia, bahkan sudah tidak memiliki sekat untuk mundur dari lelaki dingin itu yang semakin mendekat. “An—anda mau apa? Menyingkir.” Rheana hendak mendorongnya, akan tetapi Ari pun memegang lengan gadis itu yang terbungkus jas hitamnya. Ari pun menyunggingkan bibirnya. Dia merasa senang melihat reaksi wajah Rheana yang semakin ketakutan ketika dia lebih mendekat ke arahnya. “Kenapa?” “Anda jangan macam-macam sama saya! Atau saya teriak sekarang biar kamu dikeroyok sama karyawan saya!” Ari tertawa kecil. “Silakan. Saya akan lebih populer di perusahaan ayah Anda. Jadi, biar mereka sekalian tahu kalau saya ini calon suami Anda,” ancamnya dengan tegas. Jantung Rheana pun semakin berdetak dengan kencang dengan kulit tangannya yang semakin dingin. Dia tidak mungkin melakukan hal yang seharusnya dia simpan rapat-rapat dari siapa pun. Dia pun menunduk penuh dengan segudang rasa takut. “Segini aja, nyali Anda? Tadi aja berani banget hina saya. Jadi, siapa yang lola? Saya atau Anda?” Rheana pun mendongak, dia yang memilih sejuta ego tak mau dikalahkan begitu saja dengan dokter dingin itu. “Jangan berani mengancam saya. Ingat ya, saya memiliki kekayaan lebih banyak daripada Anda. Sangat mudah saya menggagalkan pernikahan ini.” “Oh, silakan. Saya tidak takut, atau kita buat perjanjian?” Rheana mengerutkan dahi. “Perjanjian? Perjanjian apa?” “Itu tadi Anda bilang sendiri memiliki sejuta cara untuk menggagalkan pernikahan ini? Bagaimana kalau kita membuat perjanjian, jika Anda menang dengan cara Anda menggagalkan pernikahan ini saya siap jadi kacung Anda selama hidup saya,” ungkap Ari. “Oke. Saya pasti bisa menggagalkan pernikahan ini. Dan, ingat Anda harus mau melakukan apa yang saya mau termasuk dipermalukan di depan umum? Anda setuju?” Rheana menyipitkan matanya. Ari pun menyunggingkan bibir lalu mengangguk. “Tapi, jika rencana Anda gagal, saya mau Anda melakukan hal sebaliknya setelah kita menikah!” “Sa—saya harus apa?” Rheana takut setengah mati mendengar alasan dokter itu. “Itu urusan saya, termasuk jika saya mengajukan pernikahan kontrak dengan Anda.” Rheana pun mengangguk. Dia lebih senang mendengar ‘pernikahan kontrak’ sebab dia sendiri tidak yakin menikah dengan anak dari sahabat orang tuanya. Rheana memberikan tangan seraya untuk membuat persetujuan janji. “Jadi, kita deal?” Lelaki itu pun kembali duduk dengan santai di kursi pengemudi. “Simpan saja tanganmu itu untuk saya cium setelah akad kelak.” Tangan Rheana pun kembali diturunkan. Sombong banget, aku pastikan pernikahan ini akan gagal. Ari pun melajukan mobilnya sampai di sebuah tempat yang Anissa berikan alamat itu sebelumnya. Mereka pun segera turun lalu masuk ke dalam. Gadis itu begitu malas melihat tempat istimewa yang seharusnya menjadi pernikahan impian, kini akan menjadi pernikahan yang tak diharapkan dengan seorang duda dingin. Dia, bahkan sangat malas melihat ibunya yang dengan sigap memilih model baju dan desain gaun pernikahannya. “Rhe, sini,” panggil Anissa. Anissa pun membawakan kedua gaun berwarna putih untuk acara akad nikahnya kelak. “Gimana, kamu mau yang kiri atau kanan?” Rheana memutar bola matanya dengan malas. “Terserah Bunda ajalah.” Anissa menggelengkan kepala. “Lho, kok terserah sih? Kan, kamu mau yang nikah.” “Kan, Bunda yang rencanain? Jadi, semuanya terserah Bunda aja,” elaknya. Anissa menaruh kedua gaun itu. Dia pun menarik anaknya itu. “Eh, Bun mau ke mana?” “Ayo, ikut!” Anissa menarik tangan anaknya menuju ke ruangan ganti. Dia yang sudah kesal menunggu anaknya datang lebih terlambat, kini malah dianggap remeh bahkan tidak peduli sama sekali. “Bun, lepas ih. Sakit tahu,” tolaknya dengan malas. “Sakit kamu kata? Enak banget ya kalau ngomong. Bunda loh sedari tadi di sini memilih gaun terbaik untuk kamu. Sekarang, kamu datang-datang disuruh milih dari dua gaun aja jawab terserah. Lebih sakit mana, Bunda atau kamu?” tanya Anissa dengan tegas. Dia sudah kesal yang selalu memanjakan putri sulungnya itu, sehingga lupa cara menghargai orang tua. Rheana pun memandang kedua bola ibunya yang penuh dengan rasa ketegasan. Sedari kecil, dia tidak pernah dibentak oleh Anissa, hanya Refal yang selalu mengajarkan rasa tegas dan menjadi orang pemberani. “Bunda, marahin aku?” “Bunda gak marahin kamu, Rheana. Kamu itu sudah besar, sudah dewasa. Umur kamu itu sudah dekat dengan kepala tiga. Tolong, Bunda mohon hargai orang tua kamu yang sudah membantu persiapan pernikahan ini. Kalau saja kamu tidak menggebu-gebu nikah dengan pacar kamu itu, kita gak bakalan kita bertindak sejauh ini,” ungkap Anissa. Rheana pun menunduk. Dia sangat ketakutan melihat Anissa dengan ekspresi yang baru gadis itu dapati selama hidupnya. “Rhe—rheana minta maaf, Bun. Habis Rheana gak mau nikah sama dia. Bunda kan tahu, dia itu sudah pernah beristri dan umur pernikahan dia itu hanya satu minggu habis itu cerai kan? Dari situ aku tidak yakin, pasti dia itu lelaki nggak beres.” Anissa mengangkat dagu anaknya itu. “Sejak kapan, kamu menilai orang dari usia pernikahannya? Kamu lupa Bunda ini siapa yang dinikahi ayah kamu?” Rheana membisu. Sebab dia pun sudah mengetahui seluk-beluk pernikahan orang tuanya yang sebelum dilamar oleh Vito. “Bunda kamu ini janda yang dulunya memiliki kisah pilu lebih dari kamu yang dinikahi oleh ayah kamu. Dan, bagaimana kamu bisa lihat sendiri dengan pernikahan kami apakah ada keraguan ketika ayah kamu menikah dengan seorang janda?” “Ta—tapi kan, ini beda cerita Bunda. Dulu kan, ayah nikah karena per—” “Justru karena beda cerita, Bunda mau menyamakan agar kamu bisa mencontoh pernikahan kami yang dari sisi baiknya saja. Itu semua kodrat dari Tuhan, kamu gak bisa menyalahkan dari sisi buruknya. Satu lagi kalau kamu menilai dokter Ari karena duda, berarti kamu telah menghina ibumu sendiri, Rheana!” DEG! Gadis itu pun memejamkan matanya dengan segudang lara hati yang menyelimutinya. “Bunda pikir kamu sudah paham dengan contoh pernikahan orang tuamu sendiri yang tidak memandang status. Umur kamu lebih tua dari dokter Ari, tapi otak dan ego kamu gak ada bedanya sama anak kecil! Sekarang, ikut Bunda ke depan.” Anissa pun menarik tangan anaknya kembali. Akhirnya, Rheana pun terpaksa menuruti kemauan ibunya itu yang tiba-tiba menjadi semakin tegas dengannya. Dia pun tak mungkin melawan sebab mereka berada di tempat umum. Rheana pun sudah memilih gaun akad nikahnya dari salah satu yang diajukan oleh ibunya. “Sekarang gaun yang kedua. Kalian kira-kira mau pakai adat mana?” “Internasional!” ucap Rheana. “Jawa!” ucap Ari yang bersamaan dengan Rheana. Gadis itu pun mengerutkan kening. “Kok Jawa sih? Aku mau adat luar negeri ya bukan adat daerah. Lagian, aku gak suka warna kebaya hitam gak level tahu,” elak Rheana. “Saya tidak mau pakai adat luar dari daerah saya sendiri. Bagi saya adat daerah itu harus dikembangkan bukan dimusnahkan,” tolak Ari. Anissa pun memberikan kebaya hitam dan beskap untuk Ari. “Nih, sekarang kalian coba dulu ke dalam. Nanti, model yang paling cocok Bunda yang pilih,” sahut Anissa. “Tapi, Bun ak—” “Udah, gak usah pakai tapi-tapian. Dok, ayo buruan masuk ke ruang ganti. Ingat ruang gantinya jangan jadi satu, tapi sebelah-sebelahan ya.” Rheana pun menerima kebaya potongan itu dengan mencebikkan bibirnya. Gadis itu pun masuk ke dalam ruang ganti yang di sampingnya sudah pasti ada dokter Ari. Dia pun memiliki ide licik untuk menyembunyikan jas putih milik Ari yang berada di atas temboknya. “Dodol banget tuh orang, kan ada kapstok buat naruh nih baju. Ah, tapi gak apalah mendingan aku umpetin. Biar dia tahu rasa malu,” gumam Rheana. Mereka pun keluar secara bersamaan. Sementara Ari yang melihat pintu ruang ganti Rheana terbuka, dia segera masuk lalu menguncinya. “Hai, kamu mau apa!” Ari melangkah semakin mendekat sementara Rheana bergerak semakin mundur. Kakinya sampai kebas melihat wajah Ari yang begitu dingin dan mengerikan. Lelaki itu semakin mencondongkan tubuhnya. Gadis itu pun tak kuasa memejamkan matanya karena rasa takutnya membara.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD