05. Fitting Gaun Pengantin

1097 Words
Rheana pun akhirnya duduk di meja makan untuk sarapan sebelum dirinya berangkat ke kantor. Pagi hari itu wajahnya sangat tidak bersahabat, apalagi di kursi di sampingnya itu diduduki oleh lelaki dingin itu. “Rhe, nanti siang ikut Bunda ya,” ucap Anissa. Gadis memakai pasmina hitam itu pun mengernyitkan dahinya. “Ke mana, Bun?” “Fitting gaun pengantin kalian,” sahut Anissa yang berhasil membuat putri sulungnya itu tersedak. Rheana pun segera mengambil segelas air minum itu yang ada di depannya lalu meneguknya dengan cepat. “Bun, sebulan itu lama loh. Ngapain juga harus fitting sekarang?” tanya Rheana dengan bibirnya yang mengerucut. “Sebulan itu akan terasa cepat, jika kita tidak segera mengeksekusi. Jadi, siang nanti Bunda harap kamu datang ke alamat salonnya. Nanti, Bunda kasih alamat lengkapnya.” Anissa pun melirik calon menantunya itu yang masih fokus dengan sendoknya. “Oh iya Dok, nanti saya minta tolong untuk jemput Rheana ya di kantornya biar kalian bareng.” Gadis itu pun terkesiap dengan membunyikan sendok di piringnya. “Bun, apa-apaan sih. Aku bukan anak TK ya yang harus dijemput sama dia!” “Rheana, ikuti kata-kata bundamu! Kamu bisa nurut gak sih? Ini kan juga salah kamu, mau-maunya nikah sama orang gak benar. Ketulah sendiri kan sama kemauanmu? Jadi, jangan buat keluargamu malu di hadapan yang lain,” tegas Refal. “Yah, tap—” “Iya, Om, Tante. Saya siap kok antar jemput Rheana ke mana pun juga,” potong Ari yang melirik gadis itu dengan tajam. “Nah kan, dokter Ari aja mau yang direpotin. Kamu tinggal duduk doang segala ngelak. Harusnya kamu berterima kasih sama dokter karena sudah menyelamatkan pernikahanmu dari lelaki sialan itu,” tutur Refal. Siang harinya sesuai dengan kemauan calon mertuanya itu, Ari pun sudah meminta izin kepada Hartanu untuk menjemput cucunya yang masih sibuk bekerja. Lelaki bergelar dokter itu pun segera mengendarai mobilnya menuju ke Perusahaan Anggara. Hanya membutuhkan waktu dua puluh menit, Ari sudah sampai di tempat parkir khusus. Seorang gadis mengendap-endap dari balik lorong untuk melihat agar tidak ada orang lain yang melihatnya. Dia pun berjalan sampai tak melihat area sekitar sampai akhirnya saat berbelok arah tak sengaja menyenggol lelaki itu sehingga mereka tak sengaja jatuh di tanah. “Aduh, eh punya mata gak sih!” Gadis itu berusaha bangun lalu menepuk pantatnya. “Hai, Anda itu yang jalan mengendap-endap gitu. Segala nyalahin saya, kalau mau belok itu lihat-lihat,” elak Ari yang tak mau disalahkan. Gadis itu yang memakai pasmina hitam itu pun sampai berkacak pinggang lalu memutar bola matanya dengan malas. “Ck, terserah saya lah mau ngendap-ngendap kaya apa juga. Kantor-kantor milik bokap saya.” “Kantor warisan aja bangga,” celetuk Ari. Kedua bola mata Rheana pun membulat, ingin sekali rasanya menghajar lelaki itu yang sudah lancang menghujatnya secara tidak langsung. Dia pun baru ingat sebab tak ingin dilihat oleh karyawan, apalagi client kerjanya yang sudah mengetahui pernikahannya dengan Vito. “Gak usah banyak omong. Mau berangkat sekarang atau saya sendiri aja?” Ari pun menggandeng tangan gadis itu, akan tetapi segera Rheana tepis. “Jangan pegang-pegang! Saya bukan cewek murah ya.” “Bukan cewek murahan, tapi pacaran yang mau ngajak one night stand. Apa bedanya?” Ari pun melanjutkan langkahnya. Kedua tangan Rheana mengepal ke atas dengan giginya saling menggigit. “Dasar, duda dingin! Kok bisa ya melencengnya jadi dokter? Harusnya, dia cocoknya jadi psikopat!” Rheana melihat area sekitar yang masih masuk jam kerja, dia pun segera menyusul Ari menuju ke mobilnya kemudian segera menutup pintunya. Tangannya mengelus d**a sambil menghela napas. Ya ampun, hampir aja ketahuan sama si Hilda. Rheana pun seketika menunduk saat asisten pribadinya lewat di depan mobil milik Ari itu. “Kenapa? Nunduk begitu mau maling di mobil saya?” “Sembarangan banget ya, Anda! Mobil kayak gini berapa sih? Saya bisa beli sendiri,” gerutu Rheana. “Buruan itu seat belt-nya dipakai. Saya bukan orang tipe yang ditunggu, jadi jangan buat saya terlambat,” ucap Ari yang sama sekali tak melirik gadis itu. “Iya, sabar dong! Baru aja masuk.” Tangan Rheana pun mengambil seat belt dari samping tempat duduknya. Seketika tangannya pun tiba-tiba kesusahan saat menancap benda yang sangat ringan ke tempatnya. Lho, kok susah sih ditancap? Gadis itu pun melirik dari samping, dia pun menggunakan kekuatan ekstra untuk sekadar menancapkan ujung seat belt. Namun, caranya itu gagal untuk mengambilnya sampai membuat Ari bosan menunggunya. “Lama amat sih, saya gak bakalan jalan kalau Anda belum pakai pengaman.” “Ih, i—ini kok susah sih? Anda sengaja ya buat saya biar lama-lama di mobil?” “Dih, pede banget, Anda? Saya kan tadi bilang bukan tipe orang yang ditunggu. Jadi cepat pakai gak usah banyak drama. Sudah untung saya menyelamatkan pernikahan kamu.” “Hai, yang mau diselamatkan itu siapa? Saya itu gak mau nikah sama duda dingin seperti Anda? Lupa ya sedari kecil kita itu tidak sefrekuensi. Kalau masalah suami pengganti saya bisa kok cari tanpa bantuan Anda. Sekarang saya tanya, apa tujuan Anda mau menikah dengan saya? Pasti karena harta ayah dan kakek saya yang menggunung kan?” tuduh Rheana. “Jaga omongan Anda baik-baik ya. Saya hanya meringankan beban orang tua kamu sebab mereka itu sudah berjasa kepada orang tua saya dulu. Jadi, hal itu yang bisa saya balas. Anda tidak perlu bertinggi hati saya mau menikah dengan Anda,” ungkap Ari. “Oh bagus, kalau begitu kita batalkan saja pernikahan ini. Toh, dari masing-masing kita gak ada yang saling cinta. Dan, saya ma—” Tiba-tiba ponsel gadis itu berdering sampai memotong pembicaraannya. Tangannya merogoh saku di jas miliknya. Bunda? “Ha—halo, Bunda?” “Rhe, kamu sudah sampai mana sama dokter Ari? Bunda udah nunggu dari tadi loh, buruan ya,” sahut Anissa di seberang. “I—iya, ini bentar lagi nyampe kok.” “Ya sudah, hati-hati ya. Bunda tunggu ya.” “I—iya, Bunda.” Rheana pun segera memutuskan panggilan itu. Dia pun segera mengambil seat belt itu kembali, akan tetapi usahanya tidak membuahkan hasil yang akhirnya Ari pun sampai turun tangan untuk membantunya. Tubuh lelaki itu pun sedikit mencondong ke depan tubuh gadis itu yang tiba-tiba segera menyingkir. Ari pun segera mengambil ujung seat belt itu dari jemari gadis itu lalu segera menancapkan ke tempatnya. Tanpa sadar, Rheana pun sampai tidak berkedip melihat wajah lelaki dingin itu di hadapannya yang dengan santai membantunya. “Gak usah mandang saya sampai segitunya. Kalau grogi belajar lagi pasang seat belt. Jadi siapa yang kayak anak TK?” sindir Ari sampai membuat kedua mata Rheana terbelalak dengan wajahnya yang memerah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD