07. Adu Membalas

1461 Words
Deru napas Rheana sangat terlihat dari leher dan bagian dadanya. Dari segi wajahnya benar-benar orang yang sedang merasa ketakutan berlebihan. Terlebih ruangan ganti yang gadis itu memasuki cukup sempit membuat ruang gerak Rheana tidak bisa bebas. Ari pun melihat wajah itu dari dekat. Tangannya pun segera merogoh ke bagian belakang tubuh gadis itu lalu mengambil jas miliknya secara paksa dari tangannya. “Hai, Anda jangan macam-macam dengan saya!” Rheana pun memberanikan diri untuk membuka kedua matanya lalu kedua tangannya hendak mendorong tubuh Ari, akan tetapi lelaki itu sudah menjauh darinya. Lelaki itu pun tersenyum licik, dia sangat senang melihat rasa malu dari gadis itu yang tiba-tiba mulutnya ternganga lalu ditutup dengan salah satu tangannya. “Macam-macam? Otak Anda itu yang gak bener! Pantas saja, tunangan kamu itu berani mengajak one night stand di hotel. Ternyata, spek wanitanya aja begini,” sindir Ari. Kedua tangan gadis itu pun mengepal dengan geram. Ingin sekali, Rheana mengacak-acak wajah dokter dingin itu yang sudah mempermalukan dirinya. “Anda bisa jaga omongan recehan itu ya! Saya sudah bilang kan kalau saya wanita baik-baik!” “Kalau baik-baik pikiran juga harus lebih baik, artinya tidak menuduh orang sembarangan. Apalagi, sampai menyembunyikan barang yang bukan milik Anda!” Ari pun keluar dari ruang ganti dengan meninggalkan gadis itu yang sudah memakai beskap hitam. Gadis itu pun mengangkat tangannya yang mengepal. “Argh …!” “Kurang ajar itu dokter! Berani-beraninya dia menghina aku dengan mulutnya yang super pedes! Belum aja nikah, apalagi kalau aku sudah nikah sama dia? Seberapa kuat aku bisa hidup di neraka sama dia?” keluah Rheana. Suara ketukan pintu ruang ganti itu pun membuyarkan amarahnya. Rheana pun membuka pintu itu lalu menghujami hinaan kembali, “Hai, bisa gak sih nunggu di luar aja!” pekiknya. Perempuan paruh baya itu pun sampai menggelengkan kepala. “Rheana, kamu itu sudah terlalu lama di dalam. Justru dokter Ari yang sudah nungguin kamu dari tadi,” sahut Anissa. Rheana terkesiap. Dia pun menggigit bibirnya dengan malu di depan ibunya sendiri. “Oh … i—iya, Bun. Aku kira tadi dia lagi.” “Rhe, kamu itu akan menjadi istri dari dokter Ari. Bersikaplah yang manis dan sopan dengannya. Bunda tahu umur kamu sama dia itu punya selisih. Apa, tadi kamu berantem sama dokter di sini?” Gadis itu pun segera menggeleng. “Eng—enggak kok, Bun. Ya udah, mau dilanjut nggak fitting gaunnya?” Anissa pun menggandeng tangan anaknya untuk menuju ke luar. Anissa teringat di mana dia pernah menjadi Rheana saat fitting gaun dengan suaminya yang penuh dengan berantem, tidak setuju yang dipilih dan masih banyak lainnya. “Nah, sudah sangat cocok kok. Berarti selain baju akad juga pakai adat Jawa ya. Oh iya, tinggal satu lagi gaun internasionalnya,” ucap perias itu. Perias itu pun memperlihatkan gaun yang sangat best seller dari tangan customer-nya. “Nah, silakan kalian bisa pilih salah satu dari ini.” “Pink,” pinta Rheana dengan memaksa. “Biru,” tolak Ari yang tak menginginkan warna identik dengan khas perempuan. Rheana membulat, dia pun langsung mengambil gaun berwarna kesukaannya itu. “Bunda, pokoknya aku mau warna pink titik!” “Maaf, saya kurang setuju warna pink sebab acaranya itu kan pagi. Bagi saya warna itu sangat mencolok dibanding biru ice yang pasti akan lebih nyaman dilihat,” elak Ari yang tak mau mengalah dari gadis itu. Rheana memegang tangan Anissa. “Bun, gantian dong dia suruh ngalah. Aku tadi aja udah ngalah. Yang warna pink aja Bun, please,” gadis itu pun memohon dengan tatapan nanar. Anissa menggeleng. Dia pun mengambil gaun yang berwarna biru itu. “Bunda lebih suka yang biru, Rhe. Apa yang dikatakan dokter Ari itu benar sebab dulu Bunda sudah memakai warna pink. Kamu lihat kan foto Bunda di bagian depan? Nanti, orang-orang bingung bedainnya mana Bunda mana anaknya,” sahut Anissa. Sial! Dokter duda dingin! Semua yang aku pilih gak ada satu pun yang disetujui sama, Bunda! Awas kamu ya, aku bakalan usahakan untuk menggagalkan pernikahan yang tak aku harapkan ini, gerutu Rheana yang menatap Ari dengan tatapan tajam. Mereka berdua pun berjalan kembali ke ruang ganti untuk mencoba gaun dan jas itu. Gadis itu pun menarik jas Ari dari belakang sebelum masuk ke dalam ruangan itu sampai terhimpit ke pintu. “Hai, Anda seneng kan semua usulan saya ditolak? Saya sudah terpaksa menikah, tapi berikan saya satu kesempatan untuk memilih gaun tanpa keterpaksaan juga!” “Apa hubungannya dengan saya? Pilihan Anda itu recehan, jadi terima saja apa yang menjadi ibu Anda setujui.” “Pokoknya aku mau ganti warna pink titik!” Ari pun mengeluarkan ponsel pintarnya. Dia pun menyetel video saat Rheana dikejar oleh Vito yang menuju ke arah mobilnya. “Nih.” Rheana mengerutkan dahi. “Apaan nih?” “Mata Anda buta, itu hp! Dilihat lah videonya.” Rheana mengambil dengan cepat. Kedua bola matanya ternganga melihat video dirinya. Segeralah jemarinya memencet ikon sampah. “Percuma dihapus kalau saya sudah memindahkan video itu untuk diviralkan,” ucap Ari yang membuang wajahnya. “Anda kenapa selicik ini dengan saya? Sebenarnya, Anda ingin mengharapkan apa dari saya sampai menyiksaku begini?” “Saya ingin semua yang saya inginkan terkabulkan. Jadi, mau tetap pakai gaun pink dengan saya viralkan video itu?” tawar Ari dengan santai. Gadis itu berdecak, dia pun mengembalikan ponsel itu. “Gaun biru aja.” Ari pun mengambilnya kembali. “Ya udah tunggu apalagi? Masuk.” Rheana pun masuk lebih dahulu untuk mencoba gaun itu. Sementara Ari dia lebih menang banyak untuk menghukum gadis itu yang telah lancang menghinanya. Padahal, dia belum sempat menggandakan video yang ada di ponselnya. Dia hanya memasang jebakan batman, agar Rheana lebih nurut dengannya yang ternyata tidak sia-sia. Dasar, katanya CEO pintar. Diancam video aja udah ketakutan setengah mati. Apalagi, aku viralkan beneran? Sepertinya, menikah dengan dia akan menjadi hiburan besar untukku. Sementara Rheana di ruang ganti sampai tidak nyaman memakai gaun biru yang jelas bukan dari warna kesukaannya. Dia pun sampai membogem tangannya ke tembok. “Argh, sialan!” “Dokter b******k emang! Aku udah dipaksa nikah. dipaksa juga pakai gaun yang tidak aku sukai! Kenapa sih, hidupku itu banyak sial kalau dekat-dekat sama dia! Bahkan, satu orang di rumah pun tidak ada yang peduli dengan aku justru lebih berpihak sama dokter sialan itu!” Mereka pun kini sudah keluar lalu menuju ke depan untuk diberikan penilaian dari beberapa tim rias yang sudah berdatangan itu. “Wah, cocok banget kok buat kalian berdua. Jadi, warna ini sudah oke ya.” Mereka berdua pun mengangguk. “Oh iya, Mbak. Bunda saya di mana ya? Kok nggak ada sih?” tanya Rheana. “Oh, Bu Anissa? Tadi dia sudah pulang lebih dulu, katanya sih ada urusan mendadak. Jadi, semuanya sudah disetujui oleh Bu Anissa,” sahutnya. Rheana menghela napas. “Bunda kenapa sih gak nungguin anaknya dulu.” Setelah ketiga gaun sudah disetujui, mereka pun kembali ke ruang ganti. Namun, tiba-tiba gaun yang dipakai Rheana itu tidak bisa dibuka yang pasti menyusahkan dirinya. “Ya ampun, cobaan apalagi ini? Kenapa, resletingnya susah sih?” keluhnya. Dia pun akhirnya keluar untuk meminta bantuan. Melihat dokter Ari yang sudah ada di depan pintu, dia pun sampai mengabaikannya. Mana mungkin, Rheana meminta bantuan dari lelaki yang menyebalkan baginya. “Saya bisa bantu,” celetuk Ari. “Nggak usah! Yang ada dipikiran Anda semakin kotor!” Rheana pun melanjutkan langkahnya. Namun, Ari yang kekeh untuk menolongnya pun menarik tangan gadis itu sampai giliran menghimpit di bagian pintu. Kedua mata Rheana pun dapat melihat wajah dingin itu dari jarak berdekatan kembali. Sementara kedua tangan Ari berusaha membuka resleting dari belakang dengan mudah. Gadis itu sampai tak berkedip mata dengan napas dari perutnya naik turun. “Mau lihat wajah saya berapa lama lagi? Kamu bisa kok menyentuhnya kalau sudah halal,” celetuk Ari yang membuat wajah gadis itu memerah. Dengan refleks Rheana pun mendorong tubuh Ari hingga terjengkang ke bawah. “Dasar, dokter piktor! Anda pasti mau macam-macam kan sama saya!” tampik Rheana. “Anda itu yang piktor! Saya hanya membantu tanpa melihatnya. Secuil terima kasih pun sangat pelit dari mulut CEO yang katanya pintar, tapi nyatanya nol etika!” Rheana pun mengabaikan Ari, dia masuk kembali untuk segera berganti pakaian. Dia sudah naik darah melihat calon suaminya yang sering membuat malu. Setelah itu, Ari pun menuju ke mobil untuk segera pulang. Bukannya apa, tubuh Ari setelah di dorong Rheana sampai refleks nyeri yang harus segera disembuhkan. Gadis itu pun masuk ke dalam mobil Ari tanpa disuruh oleh sang pemiliknya. “Ngapain Anda duduk di situ? Keluar nggak sekarang! Saya mau pulang,” usir Ari. Rheana pun menggeleng. “Antarkan saya pulang dulu, kalau Anda memang calon suami saya. Baru saya dorong begitu aja udah mewek, dasar dokter lemah!” ejek Rheana sampai membuat Ari geram dengannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD