Azzam sudah mempersiapkan apa saja yang akan dibawa ke rumah Naura. Mahar berupa alat salat, dan cincin kawin juga sudah dipersiapkan. Azzam membeli yang murah saja, yang cocok dengan penghasilan sebagai supir di kantor. Azzam masih merasa penasaran, tentang niat Naura menjadikannya suami bayaran. Karena rasa penasaran yang tinggi itulah, Azzam mau menerima. Azzam merasa bukan sekadar ingin mempertahankan perusahaan. Tapi tampaknya ada konflik keluarga yang sulit untuk diselesaikan. Azzam melihat Naura tinggal sendirian tanpa keluarga. Hal ini mungkin ada hubungannya dengan pernikahan mereka.
Azzam mendengar kabar, bahwa Naura sebenarnya memiliki kekasih, yang masih kuliah di luar negeri. Kekasihnya itu tidak bisa pulang, kalau tidak membawa ijazah sarjana. Itu syarat yang ditetapkan oleh orang tua kekasih Naura. Karena itu, Naura terpaksa membayarnya untuk menjadi suami. Melihat Naura, Azzam merasa melihat Zahra, anaknya sendiri. Zahra memang menikah muda, tapi Zahra bisa lulus menjadi sarjana ekonomi. Dukungan dari suaminya, yang membuat Zahra bersemangat menyelesaikan kuliahnya. Zakir juga seorang sarjana. Setelah jadi sarjana baru menikah. Karena itu anak-anaknya masih kecil, lebih kecil dari anak Zahra.
Memikirkan jika ia sudah menikah, Azzam lupa bagaimana ia minta izin untuk pulang kampung nantinya. Sedang sebelumnya, setiap bulan ia selalu meluangkan waktu pulang kampung untuk melihat anak cucunya. Kalau menikah, bagaimana caranya. Azzam tidak terpikir sampai ke sana. Azzam segera mengambil ponsel. Ia harus bicara dengan anak dan cucunya.
"Assalamualaikum, Kai." Terdengar suara cucunya, Azzahwa.
"Wa'alaikum salam, Sayang. Bagaimana keadaan kalian." Azzam menanyakan kabar anak dan cucunya.
"Alhamdulillah. Semua sehat, Kai. Kai sendiri bagaimana keadaannya?" Gadis kecil yang biasa dipanggil Zahwa itu balik bertanya kepada Kai nya.
"Alhamdulillah sehat juga. Mama mana? Kai ada yang ingin dibicarakan dengan Mama." Azzam minta dipanggilkan putrinya.
"Ma! Kai cari Mama!" Suara Zahwa terdengar nyaring memanggil mananya.
"Sebentar." Zahra menjawab dengan cukup nyaring.
Azzam harus menunggu beberapa saat sampai Zahra menerima teleponnya.
"Assalamualaikum, Abah." Suara riang putrinya terdengar jelas.
"Wa'alaikum salam. Kamu sedang apa?" Azzam bertanya apa yang sedang dilakukan putrinya.
"Masak makan malam. Abah sudah makan?" Tanya Zahra.
"Belum. Ada yang ingin Abah bicarakan dengan kamu. Nanti tolong kamu sampaikan kepada Bang Zakir apa yang Abah katakan ini." Azzam mulai ingin menceritakan tentang pernikahannya dengan Naura.
"Jadi deg-degan deh. Ada apa sih Abah? Penting sekali ya." Zahra terdengar sangat penasaran akan apa yang ingin dikatakan oleh abahnya.
"Abah mau menikah." Azzam langsung saja menceritakan apa yang ingin ia lakukan.
"Apa!?" Suara Zahra bertanya dengan sangat nyaring. Jelas sekali Zahra terkejut mendengar abahnya ingin menikah. Karena kabar ini begitu tiba-tiba.
"Kalian sudah lama minta Abah menikah." Azzam mengingatkan kalau kedua anaknya seringkali memintanya untuk menikah lagi.
"Menikah dengan siapa?" Zahra merasa tidak percaya dengan kabar pernikahan abahnya.
"Bos Abah di perusahaan."
Jawaban Azzam mengajukan Zahra.
"Kok bisa? Apa Abah membuka jati diri Abah sebagai bos dari perusahaan batubara kita?" Zahra belum mengerti, bagaimana bisa ayahnya yang menyamar sebagai supir, akan menikah dengan bos di perusahaannya.
"Tidak."
"Lalu kenapa dia mau menikah dengan supir?" Zahra sungguh bingung.
"Hanya pernikahan sandiwara selama enam bulan saja. Abah dibayar 200 juta, dan dapat gaji sebagai asisten pribadi dia." Azzam menjelaskan secara singkat.
"Orangnya setua apa, Abah?"
"Kamu tebak setua apa dia."
"Empat puluh tahun?"
"Tidak. Lebih muda."
"Tiga puluh lima tahun?"
"Abah pernah mengatakan kepada kamu berapa usia bos Abah. Apa kamu lupa?"
"Zahra lupa. Berapa Abah?"
"Dua puluh dua tahun."
"Apa!?"
Zahta sangat kaget mendengar usia calon ibu tirinya
"Kamu jangan berpikir terlalu jauh. Karena ini hanya pernikahan sandiwara selama enam bulan saja. Abah hanya membantunya. Tidak perlu kamu ceritakan kepada siapapun selain kepada abang dan suamimu."
"Kirim foto dia dong, Abah. Ingin tahu secantik apa istri Abah."
"Dia bule."
"Orang Jawa."
"Bukan bule Jawa. Tapi bule Amerika. Rambutnya pirang, matanya biru, kulitnya putih."
"Sama dong dengan mata suami dan anakku. Bola mata mereka kan seperti Daddy nya."
"Ya begitulah."
"Kenapa jadi dia mengontrak Abah untuk menikah selama enam bulan?'
"Abah juga belum tahu dengan jelas. Yang pasti urusan keluarga. Ada yang ingin dia gapai dengan pernikahan kami."
"Kalau menikah sandiwara, gitu-gitu nggak, Bsh?'
"Gitu-gitu apa maksudmu?'
"Tidur berdua tidak?"
"Ya tidaklah. Namanya juga pernikahan sandiwara. Masa mau begitu-begitu. Mana ada gadis muda mau begitu-begitu dengan orang tua seperti Abah."
"Abah itu usia empat puluh empat tahun, tapi penampilan seperti masih tiga puluh tahun."
"Dia sudah punya pacar. Itu masih kuliah di luar negeri. Belum bisa pulang sebelum meraih gelar sarjana."
"Oh."
"Nggak mau dijadikan istri beneran, Bah?"
"Gadis cantik begitu. Mana mau jadi istri beneran Abah."
"Pelet saja, Bah. Biar jadi mamaku beneran. Happy dong punya ibu yang lebih muda dari diri sendiri."
"Sembarangan kalau ngomong. Sudahlah. Intinya kamu kasih tahu abangmu dan suamimu, itu saja. Abah belum tahu bisa pulang atau tidak. Nanti video call saja kalau kangen. Titip salam buat abangmu, suamimu, ipar, dan keponakanmu. Assalamualaikum."
"Wa'alaikum salam."
Bicara dengan putrinya memang tidak bisa sebentar. Putrinya termasuk wanita yang cerewet. Untungnya memiliki suami yang super sabar. Seorang pria keturunan Australia Indonesia, yang bekerja sebagai dokter, di daerah mereka.
Azzam nanti pergi sendiri ke rumah Nauta. Dengan dijemput oleh supir Nauta. Tentang bagaimana proses akad nikah, Azzam serahkan kepada pihak Naura saja. Ia hanya menyiapkan mahar dan mas kawin. Urusan lainnya terserah pihak Naura.
Azzam menerima panggilan telepon. Dari putranya, Zakir.
"Assalamualaikum, Abah."
"Wa'alaikum salam. Ada apa?'
"Zahra baru saja memberitahu aku. Katanya Abah akan menikah dengan bos Abah. Pernikahan sandiwara, kawin kontrak 200 juta. Kenapa Abah mau kawin seperti itu?"
"Niat Abah hanya membantu saja. Hanya untuk enam bulan. Setelah enam bulan kami bercerai, Abah akan pulang ke Banua. Cukup sudah petualangan Abah Jakarta."
"Abah yakin pernikahan ini akan berjalan lancar. Tidak ada masalah yang datang. Biasanya kalau orang meminta suami bayaran itu pasti karena ada sesuatu, Abah. Aku tidak ingin Abah terlibat masalah."
"Kamu jangan khawatir. Abah tahu pernikahan ini untuk menyelesaikan sebuah masalah. Abah yakin dia sudah memperhitungkan baik dan buruknya. Jadi kamu tidak usah terlalu memikirkan. Percaya saja semua akan baik-baik saja."
"Setelah selesai enam bulan. Abah benar harus pulang. Sudah waktunya kita kembali berkumpul. Sudah saatnya Abah menikmati hidup. Cari istri lagi yang bisa mengurus Abah."
"Iya, Abah mengerti."
"Jaga diri ya, Abah. Hati-hati. Selalu waspada, Jakarta itu bukan Banua."
"Iya, Abah mengerti."
"Assalamualaikum."
"Wa',Alaikum salam."
*