Mengurus Kepemilikan Rumah dan Semakin Terikat

1406 Words
Siang itu, langit biru cerah seakan tak menyimpan rahasia kelam apa pun. Zoe, yang seharusnya menikmati cuti dengan menemani Maximus, justru harus pergi ke dinas terkait tentang pembelian rumah tua itu sesuai perintah Maximus. “Aku akan pergi dulu. Semua makanan sudah kusiapkan di bawah,” kata Zoe ketika melihat Maximus menatap ke arah jendela besar di ruangan utama rumah. Maximus menoleh pada Zoe dan menghampirinya lalu mengecup bibirnya. “Hmm … hati-hatilah. Aku akan menyuruh anak buahku untuk mentransfer sejumlah uang ke rekeningnya mulai hari ini untuk pembelian rumah ini.” Zoe mengangguk. “Bye.” Maximus membelai pipi Zoe dan menatapnya. Dia mengagumi keberanian dan ketenangan Zoe padahal dia sedang berhadapan dengan risiko besar. “Bye,” bisik Maximus dan kembali mengecup bibir Zoe seakan bibir itu telah menjadi magnetnya. * * Zoe tiba di kantor dinas terkait properti dan pembelian rumah. Setiap langkah di koridor gedung itu semakin membuatnya penasaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada rumah tua yang ingin dibeli oleh Maximus. Petugas di dinas sipil dengan ramah menyambut Zoe, kemudian mulai menelusuri dokumen lama terkait rumah tersebut. Setelah beberapa menit pencarian, petugas itu akhirnya menemukan informasi penting. “Rumah ini memang sudah lama terbengkalai, Nona. Menurut catatan, pemilik aslinya adalah sebuah keluarga yang mengalami tragedi cukup kelam,” ujar petugas tersebut sambil mengernyitkan alisnya. Zoe mengangguk pelan, mendengar informasi itu tanpa membiarkan ketertarikannya tampak berlebihan. "Apa yang sebenarnya terjadi di sana? Aku mendengar rumor di sekitar sana, apakah itu benar?” tanyanya dengan suara yang terdengar serius. Petugas itu menghela napas sejenak. “Dulu, rumah itu dimiliki oleh sebuah keluarga yang terdiri dari pasangan suami istri dan dua anak. Sayangnya, mereka semua ditemukan meninggal dengan cara yang tragis. Ada rumor yang menyebar bahwa seluruh keluarga itu melakukan bunuh diri, meskipun ada beberapa versi yang berbeda tentang apa yang sebenarnya terjadi. Setelah insiden itu, tidak ada yang mau membeli atau menempati rumah tersebut. Seiring berjalannya waktu, rumah itu akhirnya menjadi aset negara, tanpa ada yang tertarik memilikinya.” Zoe tertegun mendengar cerita itu. Pantas saja ada aura kelam yang menyelimuti rumah tersebut. Zoe akhirnya menanyakan kemungkinan untuk membeli rumah tersebut. “Aku ingin membeli rumah itu.” Petugas itu tampak sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum. “Tentu saja, jika Anda benar-benar tertarik, Nona. Karena rumah itu sudah menjadi aset negara dan tidak ada yang menawar dalam beberapa dekade terakhir, harganya tergolong sangat murah.” Proses administrasi berjalan lancar, dan meskipun Maximus yang membiayai pembelian tersebut, pria itu ingin agar rumah tersebut atas nama Zoe. Setelah menyelesaikan seluruh proses dalam waktu satu hari, Zoe kini resmi menjadi pemilik rumah itu dengan membayar uang muka. Petugas memberinya surat kepemilikan sementara, menjelaskan bahwa dokumen rumah asli akan menyusul setelah proses administratif dan p********n seluruhnya selesai. Zoe menggenggam surat tersebut dengan rasa bangga yang aneh. Meskipun rumah itu dipenuhi sejarah kelam, ia merasa bahwa kepemilikan rumah tersebut adalah langkah besar dalam hidupnya, sebuah awal yang baru di tengah situasi yang penuh teka-teki. Ketika dia keluar dari kantor dinas, Zoe menatap surat itu sejenak, merasakan sensasi kepemilikan yang baru pertama kali dirasakannya meskipun sebenarnya rumah itu dibeli dengan uang Maximus. “Apakah dia melakukan ini untuk berterima kasih padaku karena telah menolongnya?” gumam Zoe berbisik. Zoe kemudian pergi dan sebelum kembali ke rumah tua itu—dia membeli banyak makanan di restoran. Dia ingin Maximus segera pulih dengan sempurna dengan memberinya gizi tinggi dari makanan dan minuman yang sehat. Setelah itu, Zoe juga mampir ke sebuah apotik membeli beberapa obat dan vitamin untuk Maximus. Lalu, Zoe menuju ke sebuah supermarket serba ada untuk membeli beberapa barang seperti powerbank sepuluh buah, beberapa peralatan, dan lebih banyak pakaian untuk Maximus serta kasur angin—pesanan Maximus. * * Saat tiba di rumah tua itu, Maximus menyambutnya dengan senyum tipis. "Bagaimana? Sudah resmi jadi milikmu?" tanyanya sambil melirik berkas di tangan Zoe. Zoe mengangguk, sedikit tersenyum. "Ya, rumah itu sekarang resmi atas namaku. Meski surat kepemilikan resminya baru akan keluar dalam beberapa minggu, tapi setidaknya rumah ini sudah atas namaku. Apakah kau perlu membuat pagar di depannya agar tak ada orang yang masuk? Batas tanah rumah ini ternyata sampai ke pinggir jalan. Jadi kau bisa memasang pagar dimulai dari sana.” Maximus meraih tangan Zoe dan menatapnya. "Ya, kau bisa memulainya dengan itu. Aku ingin gerbang besi mengelilingi rumah ini dan dikerjakan hanya dalam sehari saja.” “Oke, aku punya kenalan yang mungkin bisa membantu,” jawab Zoe. “Oh ya, aku membeli semua pesananmu dan juga membeli makan malam untukmu. Kita makan di atas atau di bawah?” “Di bawah saja, itu lebih aman sampai gerbang dipasang,” sahut Maximus dan membantu membawakan semua barang yang dibawa Zoe. “Bagaimana perutmu, Max? Sudah tak terlalu sakit?” tanya Zoe sambil melangkah di samping Maximus. “Hmm, sudah sangat membaik. Oh ya, aku butuh alamat apartemenmu. Anak buahku akan mengirimkan barang pentingku ke sana.” “Oke, kita makan malam dulu,” jawab Zoe santai dan merasa senang dengan rutinitas random ini. * * “Sampai kapan kau tinggal di sini, Max?” tanya Zoe ketika mereka sudah menghabiskan makan malam. “Aku belum tahu. Anak buahku masih mengurus semua. Aku akan muncul di akhir dan membuat perhitungan dengan para musuh yang telah menyerangku kemarin.” Maximus mulai memasang pengisi angin ke lubang angin kasur barunya. “Bagaimana dengan kakakmu? Kau sudah menghubunginya?” “Belum, aku akan menemuinya setelah semua urusanku selesai,” jawab Maximus sambil menyalakan pengisi angin dengan daya baterai itu. Mereka melihat bersama bagaimana kasur angin itu mulai mengembang dan ukurannya ternyata cukup besar. Setelah mengembang sempurna, Zoe memasang kain putih di atasnya dan juga selimut tebal yang pastinya akan membuat Maximus lebih hangat nanti. “Kau pulang besok pagi, kan?” tanya Maximus. “Sepertinya tidak, aku harus pulang malam ini, karena besok aku harus pergi pagi sekali ke rumah sakit.” “Tidurlah di sini untuk malam ini,” kata Maximus dan menghampiri Zoe. “Besok malam saja, oke? Ada beberapa hal yang harus kukerjakan juga malam ini,” jawab Zoe. Kemudian Maximus merengkuh pinggang Zoe dan menggesekkan hidungnya ke hidung mancung Zoe. “Baiklah, tapi sebelum itu—berikan aku sebuah ciuman panjang,” lirih Maximus. Zoe tersenyum dan kemudian memagut bibir Maximus. Dia tahu konsekwensi berhubungan dengan Maximus seperti apa akhirnya nanti dan sejak awal mereka sepakat dengan hubungan tanpa status ini. Mereka akan menikmatinya selagi mereka masih bersama dan tak akan terlalu memikirkan bagaimana akhir dari hubungan tanpa ikatan ini. * * Di dalam ruangan yang hening dan temaram itu, hanya terdengar detak jantung yang berdebar cepat, berpacu seiring dengan keintiman yang semakin terbentuk antara Maximus dan Zoe. Awalnya, ciuman mereka lembut, penuh dengan rasa hati-hati seakan masing-masing takut untuk merusak momen tersebut. Bibir mereka saling menyentuh, memberi rasa kehangatan yang mengalir dan melumpuhkan seluruh pikiran mereka akan dunia luar. Namun, seiring waktu berlalu, ciuman itu tidak lagi hanya sekadar sentuhan yang malu-malu. Maximus menarik Zoe lebih dekat, jemarinya yang kuat melingkar di sekitar pinggangnya, menekan tubuh mereka hingga semakin bersatu. Hawa di antara mereka menghangat, dan setiap tarikan napas terasa berat. Ciuman Maximus berubah, dari kelembutan yang menyentuh hati menjadi penuh tuntutan yang mendesak, menunjukkan hasrat yang tak lagi bisa dikendalikan. Bibirnya menjelajahi bibir milik Zoe dengan intensitas yang semakin dalam, seakan ingin menegaskan perasaannya yang tak pernah dia ungkapkan dengan kata-kata. Zoe, yang awalnya sempat terkejut, kini mulai terseret dalam pusaran perasaan itu. Seluruh pertahanan dirinya luruh di hadapan Maximus. Ia merasakan bibirnya terbuka menyambut pria di hadapannya, seolah-olah tubuhnya mengisyaratkan jawaban tanpa dia sadari. Jemarinya terangkat, menyentuh wajah Maximus, merasakan ketegangan di rahangnya yang menunjukkan betapa terkontrolnya emosi pria itu, meski sekarang jelas bahwa Maximus ingin lebih dari sekadar ciuman biasa. Dia adalah seorang pria yang selalu mengendalikan setiap situasi, tapi kini, di hadapan Zoe, dia pun tak mampu menahan diri. Maximus tidak menyia-nyiakan sambutan terbuka dari Zoe. Ia merasakan respons Zoe yang semakin penuh gairah, yang memberinya izin tanpa suara untuk melangkah lebih jauh. Namun kemudian Zoe melepaskan ciumannya tiba-tiba. “Max, aku harus pulang sekarang. Maaf.” Nafasnya masih memburu. Maximus pun menenangkan nafasnya juga. Lalu pria itu menatap Zoe. “Hmm, terima kasih. Aku menunggumu besok.” Lalu senyum khas-nya menyungging dan membuat Zoe lega melihatnya karena pria itu tak tersinggung. “Ya, aku akan kembali besok. Bye,” bisik Zoe dan berbalik pergi. “Hati-hati di jalan, Zoe,” kata Maximus. Zoe menoleh dan mengangguk serta tersenyum sebelum kembali melanjutkan langkahnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD