Mobil Mogok Di Tengah Jalan Bukit
Hujan deras menghantam atap mobil Zoe, dokter muda yang baru saja menyelesaikan pemeriksaan seorang kakek di mansion tua di atas bukit.
Tugas itu datang tiba-tiba dari dokter seniornya, yang tak bisa menolak permintaan keluarga pasien untuk memeriksa sang kakek di tengah cuaca buruk.
Meski Zoe sempat enggan, dia akhirnya memutuskan untuk berangkat sendiri tanpa pendamping karena tak ada rekan kerjanya yang mau ikut bersamanya.
Malam semakin pekat saat Zoe menyusuri jalan perbukitan yang terjal.
Angin dingin menerobos melalui celah kaca mobil, membuat tubuhnya menggigil meskipun pemanas sudah dihidupkan.
Ketika Zoe baru saja menuruni separuh bukit, mesin mobilnya tiba-tiba mengeluarkan bunyi aneh sebelum mendadak mati di tengah jalan berkelok itu.
Zoe menghela napas, jantungnya berdetak lebih cepat. Dia mencoba menyalakan mesin beberapa kali, tapi mobilnya tetap tak mau menyala.
“Ah, sial,” gumam Zoe sambil memukul setir dengan frustrasi.
Cuaca buruk di luar semakin mengkhawatirkan. Hujan deras bercampur angin membuat jarak pandang hampir nol, dan tidak ada satu pun kendaraan lewat di jalan sunyi itu.
Dia tahu, berdiam di dalam mobil bisa jadi lebih berisiko jika terjadi tanah longsor atau pohon tumbang.
Zoe mengambil jaket tebalnya dan memutuskan keluar mencari rumah penduduk terdekat untuk berteduh.
Dia menyandangkan tas dokter di bahunya dan menyalakan senter dari ponselnya, berharap bisa menemukan tempat berlindung sebelum malam makin larut.
Setelah berjalan sekitar sepuluh menit di jalan licin dan curam, Zoe melihat sebuah bangunan besar yang tersembunyi di antara rimbunan pohon di sisi jalan.
Dari luar, bangunan itu tampak seperti rumah tua, dengan dinding berlumut dan jendela-jendela besar yang tertutup papan kayu.
Zoe mengira itu mungkin rumah warga yang tak terlalu peduli dengan kondisi rumahnya.
Namun, saat dia melangkah lebih dekat, sesuatu terasa aneh.
Tidak ada tanda-tanda kehidupan di sana — tidak ada cahaya lampu, suara, atau aktivitas apa pun.
Hanya angin malam yang berembus melalui celah-celah pintu kayu yang hampir lapuk.
Zoe berhenti sejenak, mempertimbangkan langkahnya. Tapi rasa dingin yang menusuk tulang membuatnya lebih takut pada cuaca daripada pada rumah kosong ini.
Dia menarik napas dalam, lalu dengan hati-hati membuka pintu kayu besar itu.
KRIIIEEEEKKKK
Pintu berderit pelan saat terbuka. Di dalamnya, Zoe mendapati kegelapan pekat yang hanya sedikit diterangi oleh senter di tangannya.
Debu tebal menutupi lantai kayu, menunjukkan bahwa tak ada seorang pun yang menginjakkan kaki di sana selama bertahun-tahun.
Zoe melangkah masuk, lampu senter di tangannya menyapu ruangan.
Bau kayu tua dan sesuatu yang seperti jelaga tercium samar di udara.
Lalu, di sudut ruangan, dia melihat sebuah pintu kecil yang tampak menuju ke bawah tanah — pintu itu sedikit terbuka, dan di dalamnya tampak cahaya oranye kemerahan, seolah berasal dari api.
Merasa penasaran, Zoe melangkah mendekati pintu tersebut.
Dia tahu itu bisa saja berbahaya, tapi rasa ingin tahunya lebih kuat. Pintu tua itu berderit saat Zoe mendorongnya hingga terbuka lebar.
Sebuah tangga kayu curam memimpin ke ruang bawah tanah, dan dari sana Zoe melihat jelas bahwa ada perapian yang menyala di dalamnya.
Zoe menelan ludah. "Siapa yang menyalakan api di sini?" gumamnya berbisik.
Dia menuruni tangga dengan hati-hati, langkahnya nyaris tanpa suara. Begitu mencapai dasar, dia tertegun.
Di sana, di atas sofa tua berwarna coklat, terbaring seorang pria dengan tubuh berlumuran darah.
Pria itu bertelanjang d**a, memperlihatkan tubuhnya yang penuh tato misterius.
Jantung Zoe berdetak kencang. Pria itu tampak sekarat, dengan luka besar di bagian samping perutnya.
Darah merembes melalui celah kain yang terikat longgar di sekeliling lukanya, pertanda dia mencoba menghentikan pendarahan sendiri tapi gagal.
Zoe merasakan insting dokternya bekerja. Tak peduli siapa pria itu atau bagaimana dia sampai di sini, yang paling penting sekarang adalah menyelamatkan nyawanya.
Tanpa ragu, Zoe melepaskan tasnya dan berlutut di samping pria itu.
“Hey, kau dengar aku?” Zoe mengguncang bahu pria itu perlahan, tapi dia hanya mengerang lemah dan wajahnya sangat pucat.
Zoe segera mengambil peralatan medis dari tasnya. Dia memeriksa napas dan denyut nadi pria itu.
Denyutnya lemah, dan darah terus mengalir dari lukanya. Zoe membersihkan luka itu dengan cepat dan mencari peralatan jahit di dalam tasnya.
“Kita harus hentikan pendarahan ini, atau kau tidak akan bertahan. Aku hanya membawa obat bius biasa, maaf jika ini terasa sakit,” bisiknya sambil mulai menjahit luka pria tersebut.
Selama beberapa menit, hanya terdengar bunyi jarum yang menusuk kulit dan desis halus napas pria itu tanpa mengerang kesakitan—seolah sudah biasa dengan situasi menyakitkan itu.
Zoe bekerja dengan cepat dan fokus, tangannya bergerak cekatan meski pikirannya penuh tanda tanya.
Siapa pria ini? Apa yang terjadi padanya? Dan mengapa dia ada di sini, di rumah kosong ini, sendirian dan terluka?
Setelah selesai menjahit luka dan memastikan pendarahan berhenti, Zoe membalut luka dengan kain kasa bersih.
Zoe selalu membawa peralatan dokternya ke mana pun karena dia tahu—selalu ada situasi darurat yang mungkin membutuhkan bantuannya.
Pria itu tampak sedikit lebih tenang, meski wajahnya masih pucat dan tubuhnya gemetar karena kedinginan.
Zoe menyalakan kembali perapian dengan memasukkan beberapa kayu tak terpakai di sekitar ruangan itu.
Lalu Zoe mencari selimut atau apa pun yang bisa dipakai untuk menghangatkan pria itu.
Setelah beberapa saat mencari di sekitar ruangan bawah tanah, dia menemukan mantel tua dan segera menyelimuti pria tersebut.
Pria itu membuka matanya sedikit, cukup untuk melihat Zoe di sampingnya. "Kau ... siapa?" gumamnya dengan suara serak.
“Aku Zoe. Aku seorang dokter dan kebetulan mobilku mogok di depan. Kau terluka parah, tapi aku sudah menjahit lukamu. Kau akan baik-baik saja,” jawab Zoe, suaranya lembut namun tegas. “Setelah hujan mereda, aku akan mencari bantuan untuk membawamu ke rumah sakit.”
Pria itu memandang tajam, meski tampak kesakitan. "Jangan membawaku keluar dari sini. Aku masih lemah.”
“Karena kau lemah, maka kau harus dibawa ke rumah sakit.”
“Tidak, jika aku lemah, akan ada yang dengan mudah menyerangku,” jawab pria itu. “Kenapa kau menolongku? Kau tak takut padaku?”
Zoe mengangkat bahu. "Aku seorang dokter. Itu adalah tugasku siapa pun dirimu."
Pria itu terdiam sejenak, lalu berkata dengan lemah, "Kau tidak tahu siapa aku, kan?"
Zoe menggeleng. "Dan sejujurnya, aku tidak peduli. Yang penting sekarang adalah memastikan kau bertahan hidup."
Pria itu tertawa pelan, meski tawanya segera berubah menjadi batuk parah. Zoe mengusap dadanya dengan lembut, memastikan dia tidak tersedak.
“Aku Zoe Zildane, kau?”
“Aku ... Max,” kata pria itu setelah batuknya mereda.
Zoe menatapnya sejenak. Dan banyak pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
Namun, dia tahu ini bukan saatnya untuk bertanya. Yang penting sekarang adalah membawa Maximus ke tempat aman begitu cuaca membaik.
“Kau harus banyak istirahat,” kata Zoe sambil membetulkan letak mantel yang menyelimuti tubuh Maximus.
Maximus mengangguk lemah. "Terima kasih ... Dokter Zoe."
Zoe hanya tersenyum tipis, lalu duduk bersandar di dinding, memandangi api yang berkobar di perapian.