Pagi itu, Zoe melangkah dengan semangat baru ke rumah sakit, kembali ke rutinitasnya sebagai dokter.
Namun, kali ini, ada sesuatu yang berbeda dalam dirinya. Setelah malam yang begitu menggetarkan bersama Maximus, pikirannya terasa sedikit melayang.
Setiap kali dia mendengar dering monitor atau melihat rekan sejawatnya berlalu-lalang, bayangan pria itu kembali muncul di pikirannya, membawa setitik senyum pada wajahnya yang biasanya tenang.
Di tengah kesibukan yang sedikit lebih ringan hari ini, Zoe sempat mengambil jeda untuk makan siang bersama Clara, seorang dokter yang sudah cukup lama dia kenal dan cukup dekat dengannya.
Clara adalah sosok yang ceria dan penuh perhatian, selalu punya cara untuk membuat Zoe merasa nyaman berbicara.
Saat mereka berdua duduk di kantin, Clara, yang selalu pandai membaca suasana hati orang, segera menangkap ada sesuatu yang berbeda dari Zoe. "Sepertinya ada sesuatu yang ingin kau ceritakan. Biasanya kau tak pernah senyum-senyum sendiri seperti itu, Zoe," goda Clara sambil mengangkat alis.
Zoe menghela napas, lalu tertawa kecil. "Aku sedang dekat dengan seseorang." Zoe berhenti sejenak, ragu melanjutkan kata-katanya, namun akhirnya dia merasa perlu mengungkapkan apa yang ada di hatinya. "Hanya saja, aku tak ingin hubungan ini jadi sesuatu yang serius. Dan dia sepakat dengan hal ini. Kami sangat cocok.”
Clara menatapnya dengan perhatian yang penuh, lalu bertanya, "Kenapa? Maksudku, kenapa tak ingin serius? Kalau kau sudah merasa nyaman, kenapa menahan diri?"
Zoe terdiam sejenak, menyusun kata-katanya. "Sebenarnya, ini pertama kalinya aku dekat dengan pria dengan cara seperti ini. Tapi ... aku tak mau merusak hubungan baik kami atau melibatkan perasaan yang bisa membuat semuanya jadi rumit. Dia ... berbeda, Clara. Aku merasa nyaman, tapi juga ingin menjaga privasi masing-masing dari kami."
Clara mengangguk pelan, memahami apa yang Zoe coba jelaskan. "Aku mengerti. Tapi kau juga harus hati-hati. Hubungan tanpa status bisa jadi lebih rumit daripada yang terlihat, apalagi kalau perasaan mulai terlibat. Biasanya, salah satu dari kalian akan terjebak dalam perasaan itu, dan mungkin itu yang membuat semuanya menjadi tidak sehat."
Zoe tersenyum, lalu mengangkat bahu. "Aku tahu, Clara. Tapi untuk saat ini, aku merasa ini cukup. Aku tidak ingin apa pun berubah, atau merasa terikat."
Mereka berdua mengakhiri obrolan dengan canda ringan, namun dalam hati Zoe tetap menyimpan rasa ragu yang samar.
Ia tidak ingin terlalu banyak berpikir tentang risiko yang mungkin ada. Hubungannya dengan Maximus adalah sesuatu yang dia nikmati apa adanya, tanpa perlu memasukkan masa berlebihan.
*
*
Setelah menyelesaikan pekerjaannya di rumah sakit, Zoe memutuskan untuk mampir ke minimarket.
Ia mengambil beberapa camilan dan minuman, berpikir bahwa dia bisa menikmatinya bersama Maximus di rumah tua itu.
Perjalanan ke sana terasa sedikit lebih ringan, meskipun rumah itu punya suasana yang agak suram, tapi kehadiran Maximus membuatnya menjadi tempat yang berbeda bagi Zoe.
Ketika Zoe tiba di rumah tua itu, dia memperhatikan bahwa banyak hal sudah berubah.
Ruang utama yang dulunya berdebu dan berantakan, kini terlihat lebih rapi.
Barang-barang yang berserakan sudah tidak ada, dan lantai bahkan tampak sedikit lebih bersih.
Ia tersenyum kecil, menyadari bahwa pasti Maximus yang membersihkan tempat itu seharian.
Dengan langkah ringan, Zoe berjalan menuju ruang bawah tanah, tempat Maximus berada.
Begitu dia membuka pintu, dia melihat Maximus sedang duduk, fokus pada layar ponselnya.
Raut wajahnya serius, seolah sedang memikirkan sesuatu yang penting. Rambutnya tampak basah dan hanya mengenakan celana saja tanpa mengenakan baju atasan.
Siluet tubuhnya terlihat indah di mata Zoe ketika cahaya diperapian menyinari tubuhnya yang sedang duduk di tepi kasurnya.
Zoe masuk tanpa mengucapkan sepatah kata pun, mencoba untuk tidak mengganggu konsentrasi pria itu.
Ia meletakkan kantong belanjaannya di atas meja kecil di dekat mereka, dan duduk diam.
Namun, Maximus ternyata menyadari kehadirannya. Tanpa melepaskan tatapan dari ponselnya, dia mengulurkan tangannya, menarik Zoe ke dalam pelukannya dengan lembut. “Kau datang,” gumamnya dengan suara rendah, penuh kehangatan.
Zoe membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu, merasakan rengkuhan tubuh Maximus yang hangat dan kuat.
Meski ini terasa aneh, ada sisi lain dalam dirinya yang merasa nyaman dan terlindungi karena Zoe adalah wanita mandiri yang tak butuh dilindungi.
Seolah dunia di luar sana tak lagi penting, dan yang ada hanya mereka berdua dalam keheningan yang mendamaikan.
Setelah beberapa saat, Maximus akhirnya menurunkan ponselnya, menatap Zoe dengan senyum tipis. “Aku membersihkan sedikit, agar bisa tinggal di sini dengan lebih nyaman.”
Zoe mengangguk, tersenyum, lalu berkata, “Aku lihat tadi. Kau sudah melakukan pekerjaan yang lumayan banyak pastinya. Hati-hati, jangan terlalu lelah karena kau masih dalam masa penyembuhan.” Ia mengambil satu bungkus camilan dari kantong belanjaannya, membuka kemasannya, dan menyodorkannya pada Maximus. “Sebagai imbalan atas kerja kerasmu.”
Maximus menepis camilan itu dan tertawa kecil, nada suaranya lebih lembut dari yang biasanya Zoe dengar. “Terima kasih. Tapi bukan ini yang kubutuhkan sekarang.”
Maximus menatap Zoe dengan tatapan yang dalam. Zoe merasakan debaran jantungnya meningkat, namun dia menahan diri untuk tidak berpikir terlalu jauh.
Lalu Maximus memagut kembali bibir Zoe yang telah menjadi candu baginya. Zoe membalas pagutan yang sudah begitu dia rindukan sejak tadi.
Bagi Zoe, Maximus adalah misteri yang menarik, sebuah tantangan yang menyenangkan.
Ia tahu bahwa ada risiko yang harus dihadapi nanti, namun untuk saat ini, dia memilih untuk menikmati setiap momen bersama pria itu tanpa perlu berpikir terlalu jauh.
Mungkin inilah kebahagiaan kecil yang selama ini dia cari — sesuatu yang tidak bisa dia temukan dalam kehidupan yang biasa dia jalani.
Maximus menaikkan tubuh Zoe ke atas pangkuannya dan masih tak melepas pagutan mereka. Namun kemudian Zoe melepasnya dan melihat perut Maximus.
“Perutmu sudah tak sakit?” bisik Zoe khawatir.
“Tidak, aku sudah kembali seperti semula sekarang,” jawab Maximus yang kemudian menyesapi leher Zoe.
Jemari nakalnya mulai merambat lembut di sepanjang punggung Zoe, menelusuri garis tubuhnya dengan penuh keinginan.
Ia mendekatkan wajahnya lagi, kali ini dengan ciuman yang lebih dalam, liar, seolah setiap sentuhan bibirnya memiliki tujuan yang lebih dari sekadar ketertarikan.
Ini adalah luapan perasaan yang tertahan, membara, dan kini tak lagi mampu dikekang oleh Maximus sendiri.
Di bawah cengkeraman keinginan Maximus, Zoe merasakan sesuatu dalam dirinya bangkit.
Dia tak lagi memikirkan batas atau segala alasan mengapa ini tak seharusnya terjadi.
Kini, yang dia rasakan hanyalah ingin bersama Maximus—setiap sentuhan, ciuman, dan kehangatan yang pria itu berikan padanya begitu candu di tubuhnya.
Detak jantung mereka semakin berpacu, bersatu dalam ritme yang tak perlu dijelaskan.
Mereka tak perlu kata-kata karena momen ini terlalu intens untuk dihancurkan oleh suara. Hanya ada mereka berdua, dalam keheningan yang penuh makna.
Maximus akhirnya menarik wajahnya sedikit, menatap Zoe dengan pandangan yang dalam, seolah bertanya apakah ini benar-benar yang dia inginkan.
Matanya penuh emosi, antara hasrat yang tak tertahankan dan kelembutan yang dia perlihatkan hanya untuk Zoe.
Ia ingin memastikan bahwa Zoe nyaman, bahwa apa yang mereka lakukan adalah hal yang mereka berdua inginkan, bukan sekadar dorongan sesaat.
Zoe, dengan pipi yang memerah dan napas yang tersengal, mengangguk pelan sebagai jawabannya.
Di balik rasa gugup, dia tahu bahwa dirinya juga menginginkan pria ini, lebih dari yang pernah dia bayangkan sebelumnya.