Mengantar Zoe Ke Rumah Sakit

1256 Words
Malam itu, hujan turun rintik-rintik, membasahi bukit dan membuat udara di sekitarnya semakin dingin. Zoe mengenakan coat-nya saat bersiap untuk kembali bekerja di rumah sakit. Matanya masih terasa berat karena kemarin kurang tidur setelah bekerja 24 jam penuh tanpa jeda meskipun tadi dia sempat tidur sebentar di dalam pelukan Maximus. Namun, seperti biasanya, Zoe mencoba menguatkan diri. Bagi Zoe, menjadi seorang dokter berarti siap menghadapi segala situasi, bahkan ketika tubuhnya sudah terasa lelah. Di ruangan temaram itu, Maximus menatap Zoe dengan ekspresi tak senang. “Kau sudah bekerja selama 24 jam penuh tanpa istirahat, dan sekarang kau harus kembali lagi? Apa mereka tidak tahu batas kemampuan manusia?” keluhnya, suaranya terdengar penuh keprihatinan. Maximus tak bisa menyembunyikan kekesalannya. Zoe hanya tersenyum kecil, mencoba menenangkan Maximus. “Ini bagian dari tugasku, Max. Aku sudah biasa, dan tak perlu terlalu khawatir.” Zoe menjawab dengan tenang, meski dia sebenarnya juga merasa lelah. “Lagipula, situasi di rumah sakit sedang sibuk. Banyak pasien yang datang sejak kemarin. Mereka butuh bantuan, dan aku tak bisa menolak panggilan.” Maximus menghela napas, menatap Zoe dengan penuh rasa cemas. Bukan hanya karena Zoe harus kembali bekerja dalam kondisi lelah, tapi juga karena malam ini jalan menuju rumah sakit akan licin akibat hujan yang baru saja mengguyur bukit. “Baiklah, kalau begitu, aku yang akan mengantarmu,” ujar Maximus dengan nada tegas, tanpa memberi Zoe kesempatan untuk menolak. Zoe terkejut mendengar hal itu. “Tidak, Max. Aku bisa pergi sendiri. Lagipula, bukankah ini berbahaya untukmu? Bagaimana jika ada musuhmu yang mengenalimu?” Zoe mencoba meyakinkan Maximus untuk tetap tinggal, mengingat status Maximus yang terpaksa hidup dalam persembunyian untuk sementara. Namun Maximus menggeleng. “Aku tak bisa membiarkanmu pergi sendiri dalam kondisi seperti ini. Hujan sedang turun, jalanan licin, dan kau terlalu lelah untuk menyetir. Aku tidak peduli meski aku harus mengambil risiko. Keselamatanmu jauh lebih penting.” Zoe memandangi Maximus, terdiam sejenak. Ada rasa hangat yang merayap di hatinya saat menyadari betapa Maximus benar-benar peduli padanya. Meskipun dia tahu bahwa Maximus adalah seorang yang saat ini sedang menghindari interaksi dengan dunia luar, Maximus rela mengambil risiko demi dirinya. Akhirnya, dengan hati yang masih bimbang, Zoe mengangguk. “Baiklah, tapi kita harus berhati-hati. Jangan sampai ada musuhmu yang melihatmu.” “Hmm, jangan khawatir. Aku tak semudah itu dijatuhkan,” sahut Maximus dan mengecup bibir Zoe. * * Mereka berdua berjalan menuju mobil Zoe, yang terparkir di halaman depan rumah. Setelah memastikan bahwa mereka sudah siap, Maximus duduk di kursi pengemudi, sementara Zoe duduk di sampingnya. Mobil mulai melaju perlahan menembus kegelapan malam, melewati jalanan berliku di bukit yang kini tampak lebih berbahaya karena licin oleh hujan. Selama perjalanan, suasana hening menyelimuti mereka. Zoe sesekali melirik ke arah Maximus, yang tampak serius mengendalikan kemudi. Hatinya terasa tenang, meski tubuhnya lelah. Perasaan aman selalu muncul saat Maximus berada di dekatnya. Di tengah perjalanan, Maximus akhirnya memecah keheningan. “Kenapa kau tak meminta istirahat? Pihak rumah sakit seharusnya mengerti batas kemampuan para stafnya. Itu sudah kelewatan,” ujarnya dengan nada lirih namun penuh ketegasan. Zoe hanya tersenyum tipis, mencoba menenangkan pria itu. “Aku tahu mereka menuntut banyak. Tapi ini bukan hal baru bagi para dokter muda. Lagipula, aku memilih jalur ini karena ingin membantu orang lain, bukan? Pekerjaan ini memang berat, dan aku sudah siap dengan segala konsekuensinya.” Maximus menatap Zoe sejenak, ada kilat kekaguman di matanya. “Kau memang keras kepala,” gumamnya dengan nada lembut. Meskipun dia mengkhawatirkan Zoe, dia juga tak bisa menutupi rasa hormatnya terhadap wanita itu yang begitu berkomitmen pada pekerjaannya. “Apakah dokter senior itu yang tak mengizinkanmu libur?” tanya Maximus. Zoe hanya mengangguk. “Awas saja dia nanti,” gumam Maximus dengan wajah geramnya. “Max, jangan melakukan apa pun padanya, oke?” Lalu Zoe mencium pipi Maximus untuk meredakan emosinya. * * Ketika mereka akhirnya tiba di dekat rumah sakit, Maximus menghentikan mobil di sebuah jalan yang tidak terlalu ramai, tidak jauh dari pintu masuk. Ia ingin kehadirannya tak menarik perhatian. “Terima kasih sudah mengantarku, Max,” ujar Zoe tulus, menatap pria itu dengan mata yang mulai terasa berat. “Kau bisa pulang sekarang. Aku akan baik-baik saja di sini. Besok aku akan naik taksi saja.” “Aku akan menjemputmu. Jam berapa kau pulang?” “Jam 8 pagi.” Maximus mengangguk dan menatap Zoe dalam-dalam, seolah ingin memastikan bahwa dia akan benar-benar aman. “Baiklah. Jangan biarkan dirimu terlalu lelah.” Zoe mengangguk, tersenyum. “Hmm, aku tak akan lelah jika itu menyangkut adegan ranjang,” bisik Zoe menggoda. Maximus tertawa lirih lalu memagut bibir Zoe dengan gemas. “Jangan genit pada siapa pun kecuali aku, oke?” Zoe ikut tertawa dan mencium bibirnta sebelum akhirnya keluar dari mobil. “Bye.” “Bye,” sahut Maximus dan sekali lagi mencium bibir Zoe. Kemudian Zoe turun dari mobil. Setelah menatap Zoe sejenak, Maximus akhirnya melajukan mobilnya, meninggalkan rumah sakit. Zoe menatapnya hingga sosok mobil itu menghilang di kejauhan, lalu berbalik dan memasuki rumah sakit untuk memulai shift malamnya. * * Begitu masuk, Zoe langsung merasakan suasana yang penuh kesibukan di koridor rumah sakit. Pasien-pasien terus berdatangan, dan para dokter serta perawat tampak berlarian dari satu ruang ke ruang lain. Zoe menyapa rekan-rekannya dan segera bergabung dalam tugasnya, meski tubuhnya sebenarnya sudah sangat lelah namun kini sudah mulai semangat karena ciuman dari Maximus. Sepanjang malam, Zoe sibuk menangani berbagai pasien. Sesekali pikirannya kembali pada Maximus. Rasa hangat di hatinya semakin menguat, membuatnya merasa sedikit lebih bertenaga. Namun, ketika malam semakin larut, tubuh Zoe mulai terasa lebih berat. Setiap langkah yang diambilnya terasa semakin lemah, dan matanya mulai sulit untuk tetap terbuka. Tapi Zoe tetap bertahan, menyalurkan semua sisa tenaganya untuk para pasien yang membutuhkan bantuannya. Ketika akhirnya Zoe memiliki waktu sejenak untuk istirahat di ruang staf, dia langsung duduk di kursi dan memejamkan mata. * * Setelah memarkir mobil cukup jauh dari rumah sakit, Maximus berjalan dan memasuki sebuah toko pakaian. Dia membeli satu stel pakaian dan juga topi untuk menyamarkan wajahnya. Setelah itu, Maximus mengganti pakaiannya dengan pakaian mahal itu. Tak berapa lama, Maximus berjalan kembali dan kini menuju ke rumah sakit tempat Zoe bekerja. Dia melangkahkan kakinya dan berdiri di depan ruang UGD. Setelah beberap menit berdiri di sana, dia melihat seorang dokter laki-laki yang keluar dari ruangan UGD dan beberapa perawat memanggilnya Dr. Alerd. ‘Jadi dia?’ Gumamnya dalam hati. Alerd tampak berjalan keluar setelah berbincang dengan beberapa perawat di depan pintu. Tampaknya dokter itu akan pulang karena masa shift nya telah selesai. Maximus mengikutinya dan di ujung parkiran, Maximus menarik kerah bajunya lalu menahannya di dinding. “Siapa kau?” Alerd tampak terkejut, marah sekaligus takut. “Kuperingatkan kau. Jika kau masih selalu mencari gara-gara dengan Zoe, kau akan berurusan denganku hingga kau bisa menjadi pasien di rumah sakit ini,” ucap Maximus dengan mata tajamnya. “K-kau siapa? Pacar Zoe? Aku tak takut padamu!” Suara Alerd bergetar. BUG Maximus memukul perut Alerd dan mengambil sebilah pisau lipat di kantong celananya lalu mengarahkannya ke tangan Alerd yang dia tahan di dinding. “Kau mau salah satu jarimu kupotong hingga membuatmu pensiun dini menjadi dokter?” Nada Maximus penuh ancaman. Nafas Alerd tak beraturan. “J-jangan. A-aku tak akan mengganggu Zoe lagi.” “Aku selalu mengawasimu. Jika hal ini sampai keluar, kau akan kucari dan akan kulenyapkan hingga semua orang tak akan sadar bahwa kau sudah menghilang dari dunia ini, mengerti?” Alerd mengangguk cepat dan kemudian Maximus melepaskannya. Alerd berlari kencang dan begitu takut dengan ancaman Maximus yang memiliki kemampuan untuk mengintimidasi seseorang hingga menjadi se-takut itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD