Malam telah larut. Angin dingin mendesir di luar, menyapu atap rumah kayu yang masih tegap berdiri di pinggir hutan.
Zoe menggigil sedikit, tapi tidak ada yang lebih mendesaknya saat ini selain mempertahankan hidup pria asing di hadapannya—Maximus.
Pria itu baru saja terluka parah dan kondisinya masih belum stabil meskipun Zoe sudah mengobati lukanya.
Namun kini yang lebih mengkhawatirkan adalah suhu tubuhnya yang terus turun.
Zoe bisa merasakan betapa dinginnya kulit Maximus, dan setiap napas yang keluar dari mulutnya semakin lemah.
Pria itu berada di ambang bahaya.
Sambil masih menatap Maximus yang setengah menutup matanya dan terbaring, Zoe memeriksa denyut nadinya lagi.
Pelan, nyaris tak terasa. "Lihat aku, Max. Jangan tertidur." Zoe pernah menghadapi situasi seperti ini di rumah sakit, tetapi keterbatasan peralatan di rumah tua itu membuatnya hampir putus asa.
Tidak ada infus, tidak ada monitor detak jantung, hanya peralatan dokter miliknya yang seadanya.
Pria ini menolak keras untuk dibawa ke rumah sakit, memaksanya mencari cara lain untuk menyelamatkannya.
“Bertahanlah, kumohon,” bisik Zoe sambil menggigit bibirnya. Maximus mulai membuka matanya lagi.
"Aku pasti bertahan dan aku sudah biasa menghadapi hal seperti ini," sahut Maximus dengan berbisik.
Zoe tahu bahwa cara satu-satunya untuk menjaga agar Maximus tidak mengalami hipotermia lebih parah adalah dengan memberikan panas tubuhnya sendiri seperti yang dilakukannya sekarang.
Ini bukan hal yang mudah, apalagi bagi seseorang yang baru saja dikenalnya. Tapi pilihan ini adalah satu-satunya harapan mereka.
Ini adalah soal hidup dan mati, bukan soal kenyamanan atau harga diri.
Dengan hati-hati, Zoe kembali mengambil mantel usang tebal tadi, lalu dia letakkan di atas punggungnya.
Tubuh pria itu masih menggigil dan membuat Zoe mengeratkan pelukannya ke tubuh Maximus.
'Ini hanya sementara,' gumam Zoe dalam pikirannya, mencoba menepis rasa gugup yang merayap di benaknya. 'Hanya untuk menyelamatkan nyawanya.'
Dada mereka semakin dekat bersentuhan, dan Zoe bisa merasakan detak jantung Maximus yang lemah tapi masih ada.
Itu cukup memberinya sedikit harapan. Zoe mengatur napasnya, memastikan dia tidak ikut menggigil.
Panas tubuhnya harus stabil agar bisa merambat ke tubuh pria ini.
Waktu terasa berjalan begitu lambat. Zoe menatap wajah Maximus yang kembali terpejam, alis tebalnya berkerut tipis seakan tengah melawan rasa sakit yang menggerogotinya.
Luka di perutnya sudah dia balut sebaik mungkin, tapi Zoe tahu, tanpa perawatan lebih lanjut, infeksi atau komplikasi bisa datang kapan saja.
"Aku akan memantaumu," bisik Zoe pelan. "Aku tidak akan biarkan kamu mati."
Napas Maximus masih terdengar berat. Terkadang, tubuhnya tersentak seperti sedang mengalami mimpi buruk, membuat Zoe makin cemas.
Ia mengeratkan pelukannya, mencoba menenangkan lelaki itu.
Di jarak yang sangat dekat itu, Zoe bisa melihat garis tegas wajah tampan Maximus.
Ya, pria itu sangat tampan menurut Zoe, meskipun tubuh dan lehernya dipenuhi oleh gambar tato yang terlihat mengerikan bagi sebagian orang.
Namun sulit menyangkal bahwa perasaan aneh mulai muncul dalam benaknya. Meskipun Maximus hanyalah orang asing, Zoe merasa ada koneksi yang tidak bisa dia jelaskan di antara mereka.
Mungkin itu hanyalah naluri seorang dokter, rasa tanggung jawab yang mendesaknya untuk melindungi setiap jiwa yang berada dalam jangkauannya.
Atau mungkin ada sesuatu tentang Maximus yang memikat—misteri yang dia sembunyikan di balik luka dan tatapan dinginnya.
Hawa dingin malam makin menusuk, tapi Zoe bertahan. Tubuhnya masih menempel erat di tubuh Maximus, dan perlahan, dia merasa kehangatan mulai mengalir dari kulitnya ke tubuh pria itu.
Zoe mendekatkan kepalanya ke d**a Maximus, mendengarkan denyut jantung pria itu yang pelan tapi stabil.
Napasnya kini lebih teratur, meski masih lemah.
"Syukurlah, kau mulai stabil," Zoe menghela napas lega.
Setidaknya Maximus masih bertahan. Namun, perjalanan mereka masih panjang. Ini baru awal.
*
*
Jam demi jam berlalu. Zoe tak berani memejamkan mata terlalu lama. Ia terus memantau pernapasan Maximus, memastikan suhu tubuh pria itu tetap hangat.
Sesekali, Maximus menggeliat, mengeluarkan suara rendah yang nyaris seperti rintihan. "Bisakah kau membuka matamu, Max? Kau harus tetap sadar. Atau bicaralah agar aku tahu kau masih sadar."
"Mataku terlalu berat untuk terbuka," bisik Maximus.
"Bicaralah, apa saja." Zoe kembali mengangkat kepalanya dan melihat wajah Maximus. "Kau dari negara mana?"
"Italia."
"Ceritakan tentang dirimu. Aku takkan mengatakannya pada siapa pun. Aku akan menyimpannya di dalam otakku sendiri," ucap Zoe dengan suara pelan.
Maximus terdiam sejenak sebelum menjawab, "Aku terlahir dari keluarga mafia namun terpisah dari ayahku karena Ibuku hanya salah satu gundiknya ketika dia berlibur ke Italia. Aku punya banyak saudara yang bahkan aku tak tahu di mana saja mereka karena ayahku sangat suka wanita."
Zoe hanya bisa menatapnya dengan rasa iba. Apa pun yang telah dilalui pria ini, jelas itu bukan sesuatu yang biasa. Luka yang dirasakannya tak sesakit dengan luka di dalam mentalnya.
"Kau menikmati hidupmu ini?" tanya Zoe penasaran.
"Hmm ... Dengan uang banyak dan kekuasaan yang besar, siapa pun pasti akan menikmati hidup, termasuk aku." Ada sebuah senyum tipis di pinggir bibir Maximus.
"Hidupmu penuh bahaya, aku yakin kau tak pernah menikmatinya." Zoe memberikan tanggapannya.
"Aku sudah hidup keras sejak kecil. Bahkan aku sudah belajar menembak di usia tujuh tahun. Bahaya sudah menjadi ritual kehidupanku sehari-hari dan anehnya—aku menikmatinya." Suara Maximus semakin pelan.
Suasana hening kembali, namun Zoe tetap melihat ke arah wajah Maximus yang entah mengapa dia betah menatapnya.
"Kau ... punya keluarga?" tanya Zoe.
"Aku tak mau punya keluarga karena nyawa taruhannya. Mereka akan terluka karena aku." Maximus kembali membuka matanya dan menatap netra biru Zoe meskipun ruangan itu minim cahaya.
"Bagaimana denganmu? Sejak kapan kau menjadi dokter?"
Zoe tersenyum tipis. "Aku baru dokter muda dan akan melanjutkan pendidikan dokterku tahun depan. Aku masih menabung untuk mewujudkan itu."
"Aku akan membantumu nanti. Kau pantas mendapatkan balasan yang setimpal. Tak ada yang gratis di dunia ini," jawab Maximus.
"Tidak, bantuanku ini gratis untukmu. Tak semua harus dibayar dengan uang. Aku dokter yang sangat baik, percayalah." Zoe tertawa kecil.
Maximus ikut tertawa pelan dan sedikit membuat perutnya sakit. "Terima kasih, Dokter yang baik hati. Aku akan selalu mengingat ini."
"Bahkan jika kau melupakannya, aku tak masalah. Itu justru akan lebih bagus," jawab Zoe serius.
"Tidak, aku tak pernah melupakan bantuan orang lain. Aku selalu mengingatnya sampai mati. Itulah sisi baik seorang mafia, meskipun aku bukanlah orang yang baik."
"Kau baik di mataku, semua orang pasti punya alasan melakukan hal-hal yang sebenarnya tidak mereka inginkan," balas Zoe.
Mata mereka saling menatap dan suasana menjadi hening kembali. Namun, kemudian mata Maximus semakin berat akibat mengantuk dan kelelahan.
*
*