Di tengah keheningan, pikirannya mulai melayang. Mengapa Maximus ada di sini? Apakah dia terlibat dalam sesuatu yang berbahaya?
Dan mengapa ada perasaan aneh di dadanya, seolah-olah dia baru saja terlibat dalam sesuatu yang jauh lebih besar daripada yang dia bayangkan?
Namun, Zoe menepis semua pertanyaan itu untuk sementara. Yang terpenting sekarang adalah memastikan Maximus tetap hidup hingga pagi tiba.
Apa pun misteri yang menyelimuti pria ini, Zoe tahu bahwa jawabannya akan datang pada waktunya.
Hujan masih turun deras di luar, tapi di dalam ruangan bawah tanah itu, Zoe merasa sedikit lebih tenang dan hangat.
Meski dia berada di tempat asing bersama pria yang tidak dikenalnya, ada sesuatu yang membuatnya yakin bahwa dia telah melakukan hal yang benar.
Dan malam itu, di balik perapian yang menyala, Zoe berjanji pada dirinya sendiri bahwa dia akan terus membantu siapa pun yang membutuhkan — tak peduli siapa mereka atau apa yang telah mereka lakukan.
*
Tak berapa lama, Zoe duduk di sofa tua di ruang kecil itu, memeriksa kembali keadaan Maximus.
Maximus mulai menatapnya meskipun wajah Zoe terlihat samar, karena penerangan yang minim, hanya dari perapian saja.
Wajah Maximus masih pucat dan keringat masih mengalir di pelipisnya. Dalam cahaya redup perapian di ujung ruangan, ekspresi Maximus tampak lelah tetapi serius.
Pria yang terluka itu bukan hanya seseorang yang tersesat atau terluka akibat perampokan biasa—melainkan seorang mafia.
“Aku seorang mafia.” Kata-kata itu menbuat Zoe mengangkat kepalanya dan menatap netra tajam Maximus.
Maximus berkata dengan nada berat. “Aku tidak bisa pergi ke rumah sakit, Zoe. Mereka akan tahu aku masih hidup, dan itu akan mengundang lebih banyak bahaya. Begitu pun denganmu yang menolongku, kau akan terkena imbasnya juga. Jadi, jangan sampai ada yang tahu bahwa kau menolongku di sini.”
Zoe merasa jantungnya berdegup keras. Kata-kata Maximus menggantung di udara, berat dan penuh risiko.
Selama ini dia hidup dalam dunia yang biasa saja—belajar, pekerjaan rumah sakit, rutinitas yang hanya rumit dengan bidang kedokteran, dan kehidupan yang sederhana.
Tetapi kini, tanpa diduga, dia terjebak dalam situasi yang lebih besar dari dirinya.
“Jadi ... kau seorang mafia?” Zoe berbisik, masih mencoba menerima kenyataan itu. “Kau tidak sedang bercanda, kan?”
Maximus mengangguk pelan, menatap lurus ke arahnya dengan sorot mata serius. “Aku bagian dari organisasi besar di negara yang berbeda, tapi aku dan anak buahku sedang diserang. Beberapa musuh dalam selimut berusaha membunuhku ketika aku tak bersenjata, karena aku membuat posisi mereka terancam dalam organisasi. Aku berhasil melarikan diri, tapi luka-luka ini terlalu parah untuk kusingkirkan sendiri.”
Zoe terdiam, pikirannya kacau. Ia ingin lari, ingin berteriak bahwa ini semua terlalu gila untuknya.
Tapi tatapan Maximus, penuh harap dan ketulusan, membuatnya ragu. Pria itu sudah mempertaruhkan nyawanya hanya untuk tetap hidup.
Zoe tahu, jika dia meninggalkan Maximus sekarang, tidak ada jaminan pria itu akan selamat esok hari.
“Kenapa kau memberitahuku? Kau tak takut jika aku melaporkanmu ke polisi?” Zoe bertanya akhirnya.
Maximus tersenyum tipis, meski wajahnya terlihat kesakitan. “Entahlah, aku merasa percaya padamu. Kau dokter yang baik dan kurasa kau tak akan melakukan itu padaku. Kau harus tahu apa yang kau hadapi.”
Zoe menarik napas panjang dan memejamkan mata sejenak. Ia tahu ini adalah keputusan besar—membantu seorang mafia bersembunyi dari musuh-musuhnya.
Namun, ada sesuatu tentang Maximus yang membuatnya merasa dia tidak bisa pergi begitu saja.
Pria itu terlihat seperti seseorang yang sedang berada di tepi jurang, putus asa tapi tidak ingin menyerah.
“Aku akan membantumu,” kata Zoe akhirnya. Suaranya terdengar mantap, meskipun hatinya masih dilanda keraguan. “Aku akan datang setiap hari untuk memastikan kondisimu membaik. Tapi aku tidak mau terlibat lebih jauh, Max. Ini hanya soal memastikan kamu bertahan hidup, bukan yang lain.”
Mata Maximus menatap Zoe dengan rasa terima kasih yang dalam. “Terima kasih, Zoe. Aku berjanji tidak akan melibatkanmu dalam urusan lain. Aku hanya butuh waktu untuk pulih dan kemudian menghilang.”
*
*
Malam semakin larut dan dingin. Api mulai meredup di perapian. Zoe yang tertidur di ujung sofa, terbangun ketika mendengar suara Maximus yang menggigil.
Zoe segera beranjak dan mendekat pada Maximus. Cuaca memang sangat dingin, ditambah kondisi Maximus yang luka parah, membuat Maximus menggigil.
“Hei, tetaplah sadar. Lihat aku!” Zoe menepuk-nepuk pipi Maximus.
Pria itu mengerjap seakan dunianya sudah di ambang batas. Zoe memegang tubuh Maximus yang benar-benar dingin.
Lalu Zoe berlari ke atas untuk menceri selimut penghangat. Namun beberapa menit mencari, dia tak menemukan kain apa pun di atas karena sudah kosong dan tak ada perabot lagi di sana.
Dengan cepat, Zoe kembali ke bawah dan mencari kayu untuk memperbesar perapian lagi. Zoe bahkan menghancurkan kursi dan meja tua lalu memasukkannya ke perapian.
Tak lama Zoe kembali melihat kondisi Maximus yang masih menggigil. “Kau harus tetap sadar, Max. Jika tidak, aku terpaksa memanggil ambulans.”
“Jangan. Aku baik-baik saja,” ucapnya terbata dan lemah.
Zoe kemudian membuka celana Maximus yang lembab dan basah, karena itu menambah rasa dingin pada pria itu.
Pekerjaan Zoe sebagai dokter, membuatnya harus bergerak cepat agar pasiennya terselamatkan.
Namun, keterbatasan ini membuat Zoe harus berpikir lebih cermat lagi dalam mengatasi kondisi Maximus.
Kemudian dengan nekatnya, Zoe membuka jas putihnya dan juga blouse nya. Wanita itu naik ke atas tubuh Maximus dengan hati-hati agar tak mengenai lukanya di sisi pinggang.
Dada mereka saling bersentuhan meskipun ada batas pakaian dalam yang masih dipakai oleh Zoe.
“Kenapa kau melakukan ini?” bisik Maximus lemah.
“Aku tak mau kau mati. Hanya ini yang bisa kulakukan dalam keadaan darurat seperti ini?” sahut Zoe yang juga berbisik. “Dan kuharap ini hal pertama dan terakhir yang pernah kulakukan pada orang asing.”
Zoe mengambil bajunya tadi dan menutup tubuh mereka berdua agar panasnya tak keluar dari lingkup tubuh mereka.
“Kau cukup gila, Zoe,” bisik Maximus.
*
*
KOMEEEEEEN YANG BANYAAAAKK…