Hari terus berjalan, dan Zoe tenggelam dalam ritme kerja UGD yang tanpa henti. Pikirannya fokus pada setiap pasien yang dia tangani, meski lelah dan emosi mengintai di bawah permukaan.
Saat matahari mulai terbenam, Zoe merasa seperti sedang berlari maraton tanpa akhir.
Namun, dia berhasil melewati setiap tantangan yang datang. Seorang pasien dengan serangan epilepsi berhasil distabilkan, seorang ibu hamil yang mengalami kontraksi dini sudah dipindahkan ke ruang bersalin, dan semua pasien yang datang sudah mendapatkan perawatan awal yang tepat.
Ketika akhirnya giliran jaga Zoe berakhir, dia merasa seluruh tubuhnya lemas.
Ia melepas sarung tangan dan masker, lalu berjalan menuju ruang ganti dengan langkah gontai. Clara menyusulnya dan tersenyum kecil.
"Hei, kau mau ke mana? Terlihat terburu-buru?” Tanya Clara.
Zoe mengangguk. "Aku akan pergi setelah ini. Aku lega hari ini cepat berakhir."
“Hei, mau pergi ke mana? Berkencan? Besok kau libur, kan? Kau menyembunyikan kencanmu dariku?” tanya Clara penasaran.
Zoe tertawa. “Ya, sebut saja begitu. Aku pergi dulu, dia sudah menungguku terlalu lama di sana.” Zoe tersenyum penuh misteri dan menbuat Clara semakin penasaran.
“Hei, ceritakan besok, awas jika tidak!” Clara berteriak dan Zoe hanya melambaikan tangannya.
Zoe menghela napas panjang, merasa lega akhirnya hari yang melelahkan ini berakhir.
Meski emosinya diuji sepanjang hari, dia berhasil menahan diri dan tetap profesional.
Ia tahu, menjadi dokter bukan hanya tentang menyelamatkan nyawa, tapi juga belajar menghadapi tekanan dengan kepala dingin, termasuk ketika harus membantu Maximus, seorang mafia yang sama sekali belum dikenalnya.
*
*
Matahari mulai meredup di ufuk barat ketika Zoe melangkah keluar dari rumah sakit, tubuhnya lelah setelah berjam-jam berjaga di UGD.
Ia menarik napas dalam-dalam, menghirup udara senja yang dingin dan segar.
Meskipun rasa lelah melingkupinya, pikirannya masih terfokus pada satu hal yaitu Maximus.
Pria itu masih terbaring lemah di rumah tua yang terletak di bukit terpencil, menanti bantuan darinya.
Zoe tahu bahwa kondisinya belum stabil. Ia tidak bisa meninggalkan Maximus begitu saja tanpa memastikan bahwa dia punya persediaan obat, makanan, dan pakaian yang layak.
Karena itulah, setelah seharian bekerja, Zoe belum akan pulang ke apartemen. Ada misi lain yang harus dia selesaikan sebelum hari berakhir.
Ia memasuki mobilnya dan menghidupkan mesin, pikirannya berputar tentang daftar kebutuhan yang harus dia beli.
Maximus tidak bisa bertahan lama di tempat seperti itu tanpa bantuan lebih. Zoe memutuskan untuk menuju apotek dan supermarket terdekat terlebih dahulu sebelum kembali ke rumah tua itu.
*
*
Setelah mengemudi selama beberapa menit, Zoe tiba di sebuah apotek yang buka dua puluh empat jam.
Ia keluar dari mobil, berjalan cepat menuju pintu masuk, dan langsung menuju rak obat-obatan yang ia butuhkan.
Zoe mengambil antiseptik, perban, dan beberapa obat penghilang rasa sakit yang lebih kuat.
Tidak lupa, dia membeli antibiotik yang bisa membantu mencegah infeksi jika luka Maximus mulai memburuk.
Meskipun Maximus masih memerlukan perawatan medis yang lebih serius, Zoe tahu bahwa setidaknya, untuk sementara, dia bisa merawat pria itu dengan alat-alat medis dasar yang dibelinya.
Setelah membayar obat-obatan, Zoe melangkah keluar dari apotek dan kembali ke mobil. Tadi, di rumah sakit dia juga sempat meminta bantuan teman dokterny untuk mengambil beberapa suntikan dan beserta obatnya.
Langit sudah semakin gelap, dan perutnya mulai menggerutu. Namun, Zoe mengabaikan rasa lapar itu. Ada hal yang lebih penting daripada makan sekarang.
*
Perjalanan berikutnya adalah ke sebuah toko serba ada yang tidak jauh dari apotek. Zoe tahu bahwa Maximus membutuhkan lebih dari sekadar obat-obatan.
Pakaian dan selimut yang layak akan membantu pria itu merasa lebih nyaman di tengah dinginnya malam di bukit tersebut.
Zoe memasuki toko, langsung menuju bagian pakaian. Ia memilih beberapa set pakaian yang sederhana tapi nyaman, kaos lengan panjang, celana panjang berbahan tebal, dan beberapa pasang kaus kaki.
Ia juga memilih dua selimut hangat yang cukup tebal untuk menghadapi udara dingin di rumah tua itu. Zoe juga membeli kasur lipat yang mungkin nanti akan berguna.
Zoe tahu bahwa Maximus tidak memiliki banyak pilihan di tempat tersebut, jadi dia berusaha mempersiapkan semuanya dengan baik.
Setelah memilih pakaian dan beberapa barang lainnya, Zoe menuju bagian peralatan rumah tangga.
Ia melihat kompor portabel yang akan sangat membantu Maximus memasak makanan sendiri di sana.
Zoe meraih kompor itu dan memasukkannya ke dalam trolley belanjanya.
Selanjutnya, Zoe menuju bagian bahan makanan. Ia membeli makanan yang praktis dan tahan lama, beberapa kaleng sup, roti, sereal, dan bahan-bahan lain yang bisa disimpan untuk beberapa hari ke depan.
Ia juga memasukkan satu dus botol air mineral ke dalam troli belanjanya.
Setelah semuanya lengkap, Zoe menuju kasir dan membayar belanjaannya.
Zoe cukup terkejut dengan total belanjaannya, namun entah mengapa dia berusaha ikhlas membantu Maximus meskipun sebenarnya dia harus menghemat uangnya untuk persiapan kuliah lanjutannya.
Saat keluar dari toko, Zoe melihat kantong-kantong belanjaan yang penuh sesak.
Ia sedikit khawatir apakah semuanya akan cukup untuk Maximus, tapi ini adalah langkah pertama yang bisa dia ambil untuk membantu pria itu.
“Kurasa ini sudah cukup. Mungkin nanti jika ada yang kurang, aku bisa membelinya lagi,” gumam Zoe sambil tersenyum.
Entah mengapa dia merasa senang dengan misinya kali ini padahal tubuhnya begitu lelah.
Dia ingin merawat Maximus sampai sembuh dan itu akan menjadi sebuah kepuasan baginya jika bisa merawat pasiennya sampai sembuh dan kembali baik-baik saja.
Ataukah sebenarnya ada hal lain yang membuat dirinya begitu excited merawat Maximus?
*
*
JANGAN LUPA KOMEEEEN YAAAAKKK…