Dengan kantong-kantong belanjaan di jok belakang mobilnya, Zoe mengendarai mobilnya menuju bukit, ke arah rumah tua tempat Maximus berada.
Perjalanan menuju bukit itu gelap dan sepi. Hanya suara mesin mobil dan desiran angin yang menemani Zoe selama perjalanan.
Di kejauhan, cahaya lampu-lampu kota terlihat samar-samar, seolah dunia modern terasa sangat jauh dari tempat di mana ia akan pergi.
Pikirannya terus kembali ke Maximus—pria misterius yang ditemuinya dalam kondisi terluka parah di rumah yang nyaris tak berpenghuni itu.
Zoe belum tahu banyak tentang latar belakang pria itu , dan hanya tahu bahwa Maximus adalah seorang mafia.
Tapi ada sesuatu dalam dirinya yang membuat Zoe merasa bahwa Maximus adalah seseorang yang perlu dia tolong, meskipun itu berarti melibatkan dirinya dalam situasi yang berbahaya.
Ketika Zoe tiba di kaki bukit, malam sudah sepenuhnya turun.
Jalan menuju rumah tua itu semakin terjal dan berbatu. Ia melajukan mobilnya dengan hati-hati, berusaha menghindari lubang dan rintangan di jalan.
Setelah beberapa menit, akhirnya rumah tua itu mulai terlihat di kejauhan, siluetnya terlihat samar di bawah sinar rembulan.
Zoe menghentikan mobilnya di depan rumah dan keluar, membawa kantong-kantong belanjaan di tangannya.
Suara derik angin malam terdengar menakutkan, tapi Zoe tidak memedulikannya. Ia berjalan menuju pintu rumah dengan langkah cepat.
Begitu memasuki rumah, Zoe merasakan suasana dingin dan sunyi yang sama seperti sebelumnya. Dengan hati-hati dia menyalakan senter yang dia beli tadi lalu jalan menuju pintu bawah tanah.
Ruang bawah tanah itu benar-benar gelap karena perapian sudah mati. Zoe sedikit panik suasana begitu hening.
“Max!” panggilnya sambil menuruni tangga.
“Hmm? Aku di sini.” Suara Maximus membuat Zoe lega.
“Syukurlah, maaf aku terlambat kemari karena UGD sangat ramai hari ini.” Zoe menurunkan beberapa kantong belanjaannya lalu kembali lagi ke atas mengambil barang yang tersisa.
“Tunggu, aku kembali ambil barang sebentar,” ucap Zoe.
Maximus tak menjawab dan hanya bersuara pelan saja. Tak lama, Zoe sudah tiba kembali di ruang bawah tanah.
Zoe menyalakan sebuah penerangan tradisional dari sumbu minyak. Tadinya Zoe ingin membeli lampu portable, hanya saja tak ada listrik di rumah itu jika dayanya habis.
Sedangkan jika menggunakan lampu minyak, ruangan itu akan lumayan terlihat meskipun samar.
Zoe menyalakan perapian kembali dan kemudian ruangan seketika menjadi lumayan terang dan tak gelap gulita lagi.
Maximus masih terbaring di tempat yang sama, tubuhnya diam tak bergerak, hanya napas pelan yang terdengar.
Pria itu tampak lebih lemah dibandingkan saat Zoe meninggalkannya, tapi matanya sedikit terbuka ketika Zoe mendekat.
"Zoe, kau pasti lelah," suara Maximus terdengar serak, hampir seperti bisikan.
"Hanya sedikit. Kau terlihat pucat. Aku akan mengganti perbanmu," jawab Zoe sambil meletakkan kantong belanjaannya di atas meja kayu yang reyot.
Kemudian wanita itu memeriksa suhu tubuh Maximus yang ternyata demam.
“Kau demam. Aku kembali dengan beberapa obat, makanan, dan pakaian untukmu. Semoga kau segera membaik.”
Maximus berusaha tersenyum, meskipun ekspresinya terlihat lemah. "Terima kasih.”
Zoe hanya mengangguk. Dengan sigap, Zoe mulai mengeluarkan isi kantong belanjaannya.
Ia membuka perban dan antiseptik, kemudian duduk di samping Maximus untuk memeriksa lukanya.
Luka itu masih tampak buruk, tapi setidaknya tidak ada tanda-tanda infeksi serius.
Zoe membersihkan luka tersebut dengan hati-hati menggunakan cairan saline, lalu membalutnya dengan perban yang baru setelah memberinya obat.
Maximus terlihat tak merasa kesakitan, seolah itu hal yang biasa baginya. Setelah itu, Zoe membersihkan tubuh Maximus dengan handuk basah yang dicelupkan pada air yang dia bawa tadi.
“Aku juga membawa pakaian baru dan selimut," kata Zoe sambil menunjuk kantong berisi pakaian di sudut ruangan. "Aku akan membantumu untuk memakainya nanti."
Maximus mengangguk lemah, lalu berusaha duduk lebih tegak dengan bantuan Zoe. "Terima kasih.”
Zoe mengangkat alisnya. "Bisakah kau tak selalu mengatakan itu?”
Maximus terdiam sejenak, tatapannya terarah ke netra indah Zoe yang cukup dekat dengannya. “Apakah keluargamu tak masalah jika kau di sini?”
“Aku tinggal sendirian. Tak ada yang menungguku pulang,” sahut Zoe melanjutkan pekerjaannya.
“Di mana keluargamu?” tanya Maximus.
“Ayah dan ibuku bercerai dan memiliki keluarga baru. Aku hanya sendirian selama ini dan aku sudah biasa dengan hal itu. Aku lelah bergantian tinggal dengan mereka. Jadi, aku memutuskan untuk pergi dari mereka ketika remaja. Dan suatu saat, nenekku memberikan warisannya padaku. Setidaknya aku bisa hidup sampai sekarang.” Zoe memaparkannya dengan santai, namun ada kesan sedih dalam ekspresinya.
Zoe kemudian membuka kompor portabel yang dibelinya dan mulai menyiapkan sup hangat.
Aroma sup perlahan-lahan mengisi ruangan yang dingin itu, membawa sedikit kehangatan.
Maximus berusaha meneguk beberapa sendok, meskipun nafsu makannya masih tampak kurang.
"Kau butuh banyak energi untuk sembuh," kata Zoe sambil menyodorkan sendok berisi sup ke arahnya.
Maximus tersenyum kecil. "Kau hidup sendirian? Tanpa teman atau mungkin pacar?”
Zoe hanya tertawa kecil dan menggelengkan kepalanya. "Aku fokus pada pekerjaanku dan kuliah lanjutanku nanti.”
“Terkadang hidup sendiri lebih nyaman dan bebas, ya kan?” lanjut Zoe.
“Hmm, kau benar.” Maximus mengangguk setuju.
Setelah memastikan Maximus cukup makan dan merasa lebih nyaman, Zoe akhirnya duduk di sudut ruangan, mengamati pria itu yang kini memandang ke langit-langit lembab itu.
Rumah tua itu kembali sunyi, hanya suara angin di luar yang terdengar samar.