Bab 2 Istri yang Baik

1752 Words
Anna tidak pernah menyesal menikah dengan Dewa yang usianya bahkan lebih tua dari ayahnya. Awalnya ia memang merasa khawatir akan sosok yang akan ia nikahi, ia pikir laki-laki tua yang dimaksud ayahnya adalah laki-laki bertubuh tambun dan berpenyakitan. Namun diluar dugaan, Dewa benar-benar lebih dari ekspektasi seorang Anna. Dewa yang masih terlihat awet muda, tubuhnya tinggi dan atletis, kerutan diwajahnya bahkan tak begitu kentara, tentu saja membuat Anna tercengang seolah tak percaya jika usia Dewa sudah menginjak lima puluh tujuh tahun. Oleh sebab itu, karena Dewa juga termasuk dalam tipe pria idamannya. Maka Anna rela menyerahkan segalanya pada suaminya itu. Lain lagi ceritanya jika Dewa tak sesuai dengan harapan Anna, Anna mungkin akan kabur, atau hanya memeras harta Dewa tanpa mau mempedulikan orangnya. "Mas kok ganteng banget sih?" Puji Anna dengan tatapan menggoda. Dipuji seperti itu membuat Dewa langsung salah tingkah, padahal sebelumnya ia tak pernah merasakan hal menggelikan seperti itu. "Sini aku betulin da-" saat Anna menyentuh dasi milik Dewa, tiba-tiba saja Dewa menepis tangan Anna dengan kasar sampai Anna terkejut menerima perlakuan kasar Dewa. "Jangan mencoba menggoda saya. Cukup kamu gunakan uang saya dan habiskan sesuka hati kamu. Jangan berlaga menjadi istri yang baik untuk saya." Kata-kata menyakitkan itu kembali muncul seakan menusuk-nusuk hati Anna dengan begitu tajamnya. Bohong jika Anna tidak akan sakit hati saat mendengarnya, cuma ia tidak mau bersikap lemah didepan Dewa. Oleh sebab itu ia malah memamerkan senyum sinisnya. "Ya udah, kalau gitu aku mau pergi dulu ke mall. Aku mau beli tas sama sepatu." Ucap Anna, lalu ia pun segera menyambar tasnya dan meninggalkan Dewa sendirian di kamar mereka. Pakaian seksi yang Anna kenakan sempat membuat Dewa merasa cemas sekaligus kesal, namun ia segera menepis perasaan itu, Dewa tak boleh terlalu mempedulikan Anna, jika ia terus mengurusi istri mudanya itu, maka tak menutup kemungkinan bila Dewa akan menelan ludahnya sendiri. Anna pergi tanpa sarapan, ia malas melakukannya karena moodnya yang tiba-tiba menjadi buruk karena ulah Dewa. Anna sebenarnya tidak bisa meninggalkan sarapannya, ia paling pantang telat makan. Namun karena suasana hatinya sedang sangat buruk, Anna jadi malas memakan makanan apapun. "Tunggu dulu! Mau kemana kamu main pergi-pergi gitu aja ha?" Astaga... Apalagi ini? Setelah Dewa, kini gantian anaknya. Anna langsung menghela nafasnya, demi Tuhan ia malas sekali meladeni mulut tajam Diora. "Aku mau belanja Diora." Balas Anna dengan jujur. Dan kejujuran Anna pun membuat Diora langsung naik pitam. "Papaku belum sarapan pagi, dia mau berangkat ke kantor. Dan sekarang istrinya malah mau pergi belanja sebelum melayani suaminya? Waw... Betapa baiknya istri muda papaku ini." Setelah mencekal tangan Anna, Diora kini langsung menghempaskannya dengan sangat kasar membuat Anna langsung tersungkur. Anna tentu saja tak terima atas perlakuan Diora. Iapun langsung mendorong tubuh Diora dengan kasar pula. "Kamu boleh mengata-ngataiku, mau menghina atau merendahkanku, terserah kamu, aku nggak peduli. Tapi kalau kamu udah main fisik, sorry aja, aku nggak akan pernah tinggal diam. Dan asal kamu tau, papa kamu sendiri yang nggak mau aku layani, dia nyuruh aku belanja ngabisin uangnya dan nggak ngebolehin aku ngurusin hidupnya, puas?" Setelah puas mengatakan itu, Anna pun segera pergi meninggalkan Diora yang sama sekali tidak percaya dengan apa yang sudah Anna katakan padanya. "Ya ampun napa hidup gue gini amat, gue pikir dengan uang gue bisa hidup bahagia, tapi ternyata..." Anna tampak sangat frustasi, ketika didalam mobil ia hanya bisa menghela nafas berkali-kali untuk menetralkan emosinya dan mengendalikan airmatanya. Karena bagi Anna, pantang sekali untuk dirinya menangis, apalagi menangisi hal yang tidak terlalu penting seperti ini. "Ama, kita mau kemana?" "ASTAGA!" Pekik Anna dengan rasa terkejut yang luar biasa. Oh Tuhan... Apa lagi ini? "Steven! Ngapain kamu disini? Sejak kapan kamu masuk ke mobil Ama?" Tanya Anna seraya memberhentikan laju mobilnya. "Aku mau ikut Ama aja. Mama jahat sama aku, aku nggak boleh deket-deket sama Ama. Padahal kan aku cuma ngobrol aja sama Ama, tapi mama malah marah-marah dan cubit tangan aku." Adu Steven dengan mata berkaca-kaca. Kalau sudah begini, Anna mana tega. Melihat wajah sedih Steven saja ia sudah tidak tega, apalagi kalau sampai mencubit bocah lucu itu. Anna mana bisa? Diora memang benar-benar sudah gila. "Tapi nanti kalau mama kamu marah-marah gimana? Nanti Ama yang jadi sasarannya Steven..." "Maafin aku Ama, tapi aku mau ikut Ama aja. Mama jahat, mama nggak sayang sama aku." Airmata Steven pun mulai jatuh, hal itu pun membuat Anna semakin tak tega. Mau tidak mau, ia harus mengajak Steven bersamanya. "Ya udah jangan nangis ya, kita ke mall, nanti Ama akan ajak kamu main disana, okay?" "Asyiiik... Makasih Ama, Ama emang baik. Aku sayang Ama." Ucapan Steven barusan membuat Anna merasa tersentuh, bagaimana mungkin anak kecil seperti Steven bisa begitu gamblang mengatakan sayang pada seseorang. Padahal mereka baru beberapa kali bertemu dan mengobrol. Namun Steven seolah sudah menganggap Anna seperti keluarganya sendiri. "Kamu nggak sekolah?" Tanya Anna. "Libur Ama. Inikan liburan tengah semester." "Oh... Untunglah kalau gitu. Kamu udah makan belum?" "Udah sedikit, tadi aku makan sendiri, padahal aku mau disuapin sama mama, tapi mama bilang aku harus makan sendiri dan nggak boleh ngerepotin mama." Entah kenapa hati Anna seakan teriris saat mendengar aduan Steven. "Ya udah nanti Ama suapin, kita cari makan dulu ya!" "Iya Ama." Dan Steven pun langsung mengangguk dengan antusias. Hal itu pun mengundang senyuman manis Anna, Anna tak mengira ia bisa dekat dengan anak kecil seperti Steven, padahal selama ini Anna tak pernah berinteraksi dengan anak kecil. Pernah sih, tapi sangat jarang sekali. Ia sendiri adalah anak tunggal dan ibunya pun sudah lama meninggal sekitar lima tahun yang lalu. *** Seperti biasa, Dewa kini sedang berada di kantornya. Pekerjaan yang cukup padat benar-benar menyita perhatiannya. Membuat Dewa fokus dan tak bisa berkutik dengan hal lain. Dewa adalah seorang CEO dari perusahaan berbasis teknologi. Hampir sama seperti perusahaan milik ayah Anna, namun milik Dewa jauh lebih besar dan menjangkau seluruh dunia. Kantor Dewa berpusat di Amerika, dan di Indonesia adalah salah satu cabangnya. Seharusnya Dewa memegang kantor pusat yang ada di Amerika, namun karena ia lebih suka tinggal di Indonesia, akhirnya kantor pusat yang ada di Amerika pun dipegang oleh putra keduanya Damian yang sudah empat tahun menetap disana bersama dengan keluarga kecilnya. "Huh, akhirnya selesai juga. Jam berapa ini?" Dewa menatap jam tangan rolex di tangan kirinya yang menunjukkan pukul dua siang. Dirinya kini merasa amat lapar karena belum makan siang, dan Dewa pun segera bergegas menuju restoran untuk makan siang bersama dengan beberapa karyawannya. Sedangkan di mansion, Diora kini sedang terserang panik karena tak menemukan keberadaan Steven sama sekali. Harusnya ia sudah sadar sejak tadi pagi, namun karena ia terlalu sibuk dengan dunianya, jadinya ia melupakan keberadaan putra bungsunya itu. Diora pun segera menghubungi Dewa, karena saking paniknya iapun sampai menangis, takut jika telah terjadi sesuatu kepada Steven. 'Ya Diora?' 'Pah Steven hilang pa! Aku harus gimana? Aku nggak nemuin dia sama sekali di rumah hiks.' 'Hilang? Hilang bagaimana maksud kamu?' 'Aku nggak tau pa, dia nggak ada sampai sekarang. Udah aku cari keseluruh rumah tapi nggak ada, pa aku mohon tolong cari dia, suruh anak buah papa buat cari anak aku pah!' 'Ya sudah papa pulang sekarang, kamu jangan panik, Steven pasti ketemu.' Setelah mematikan sambungan teleponnya, Dewa pun tampak menghela nafas berat, mau makan siang ada saja masalah yang datang dari rumah. Dewa tentu saja tidak bisa abai, apalagi ini menyangkut keselamatan cucunya. Pria paruh baya itu pun segera pergi meninggalkan restoran, menghubungi anak buahnya untuk mencari Steven dan segera pulang untuk menenangkan putri semata wayangnya itu. *** Pukul tiga sore Anna baru pulang dari mall, ia membelikan banyak sekali mainan untuk Steven. Steven pun tampak ceria dan senang sekali. Bocah kecil itu tampak semakin dekat dan lengket dengan Anna seolah tak ada jarak diantara mereka. "Bawa masuk semua belanjaannya ya pak!" Titah Anna pada salah satu pelayan. "Baik nyonya." Angguk pelayan tersebut dengan patuh. "Ama tadi gamenya bagus banget ya, a-" "STEVEN!!!" Suara pekikan Diora membuat Steven langsung menghentikan ucapannya. "Astaga sayang, kamu dari mana aja? Mama dari tadi nyariin kamu, kamu kemana ha? Kenapa nggak bilang-bilang? Kamu bikin Mama takut, mama pikir kamu diculik." Diora tiba-tiba saja memeluk tubuh Steven seolah lupa dengan apa yang sudah ia perbuat pada putranya tadi lagi. "Ma-" "Pa! Papa! Cepat kesini pa!" Panggil Diora pada Dewa yang langsung keluar dari dalam mansion. "Ada apa Diora? Kenapa kamu teriak-teriak? Steven?" Dewa tampak terkejut melihat keberadaan Steven. "Papa lihat kelakuan istri papa, dia bawa Steven pergi tanpa izin sama aku. Dia pikir dia itu siapa? Aku itu ibunya Steven, harusnya dia bilang dulu sama aku sebelum bawa Steven pergi. Dia pasti mau mencuci otak anakku, dia pasti mau supaya Steven benci sama aku dan nggak mau nurut sama aku." Apa yang Diora katakan barusan, itu semua tentu saja tidak benar, itu fitnah namanya, dan Anna benar-benar tidak terima. "Apa-apaan? Kamu jangan fitnah ya! Aku nggak ngapa-ngapain Steven, dia yang mau ikut sama aku, dia nangis-nangis gara-gara kamu marahin tadi pagi." Seru Anna membela diri. "Kapan aku marahin anakku sendiri? Jangan ngarang kamu, aku nggak pernah sekalipun marah-marah sama anakku ya! Tuh pa lihat sikap istri papa!" "Mas kamu jangan percaya sama dia, dia itu wanita jahat, dia ibu yang jahat." "DIAM KAMU ANNA!" Bentakan Dewa barusan membuat Anna langsung mengatupkan bibirnya. Terkejut luar biasa, bahkan kedua matanya sampai berkaca-kaca. Sedangkan Diora yang mendengar itu tampak tersenyum penuh kemenangan. "Tau apa kamu tentang Diora? Kamu hanya orang asing di rumah ini, baru beberapa hari tinggal disini, jangan sembarangan berspekulasi tentang orang yang baru kamu kenal." "Tapi a-" "Jangan membela diri. Jika memang salah, kamu harus berani mengakui kesalahan kamu. Jangan jadi pengecut. Membawa Steven pergi tanpa izin kepada Diora, apa kamu pikir perbuatan kamu itu adalah perbuatan yang benar? Diora adalah ibu kandung Steven, sedangkan kamu bukanlah siapa-siapa, jadi saya harap kamu jangan bersikap seenaknya seperti ini. Sekarang, minta maaf kepada Diora!" Titah Dewa dengan tegas. "Aku..." Tinggal sedikit lagi, airmata Anna sudah akan jatuh. "Tunggu apa lagi? Cepat kamu minta maaf!" Tekan Dewa dengan suara yang lebih tinggi. "Aku nggak mau." Setelah mengatakan hal itu, Anna pun segera berlari masuk ke dalam mansion dengan airmata yang sudah berderai. Sungguh, hati Anna sakit sekali menerima perlakuan dari Dewa. Seumur-umur, ia bahkan tidak pernah menerima bentakan dari siapapun, apalagi ayahnya. Namun barusan, Dewa yang berstatus sebagai suaminya malah membentak-bentaknya. Dewa bahkan sama sekali tak mau mendengarkan penjelasannya. Oh... Betapa hancurnya hati dan harga diri Anna saat ini. "ANNA!" Teriakan Dewa pun tak ada artinya karena Anna sudah masuk ke dalam mansion. Dewa bisa melihat punggung kecil itu bergetar ketakutan, membuat dewa dirundung sesal, namun ia langsung cepat-cepat mengenyahkan rasa sesal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD