Part 2 : Ditodong Pertanyaan

1260 Words
(Pov Rindang) *** Rindang Hanin Abdillah ialah namaku. Aku putri semata wayang bapak dan ibu. Lebih tepatnya aku ini anak kedua, namun kakakku yang berjenis kelamin laki-laki meninggal tak lama setelah dilahirkan. Setelah 3 tahun berselang dari kejadian tersebut, barulah ibuku kembali hamil dan melahirkan seorang bayi perempuan yakni diriku ini. Aku membuka jendela kamar dan menatap sekeliling. Suara kicau burung melenakan pikiranku sejenak. Aku bersiap berangkat sekolah. Wildan salah satu alasan yang membuat langkahku terasa ringan menuju sekolah. Aku tahu dia sudah ada yang memiliki. Aku sendiri tak pernah terbersit seujung kukupun untuk mengganggu bahkan merebutnya. Terlebih lagi pemilik hatinya adalah sahabat karibku sendiri. Aku justru sering mendamaikan mereka berdua jika sedang sedikit cek-cok. Aku tersenyum dan menyapa teman-teman begitu memasuki kelas. Aku menuju kursiku dan duduk disana, mulai membuka buku di dalam tasku. Tak selang berapa lama Wildan juga sampai di kelas dan langsung menuju ke arahku. Aku tak terkejut karena aku tahu maksud tujuannya. "Tolong kerjain tugas yang kemarin ya..aku tak sempat mengisi semua lembar tugasnya," pinta Wildan dan seketika aku mencebik dan menyuruhnya untuk meminta tolong saja pada Cika, bukankah Cika itu pacarnya. Tetapi menurut dia justru karena Cika itu pacarnya jadi dia merasa lebih nyaman jika meminta tolong padaku saja. Entah aku memang selalu tak bisa menolak jika Wildan meminta tolong padaku. Kadang aku merasa senang mendapati buku-buku tugasnya yang banyak berisi tulisan tanganku. Hampir setiap hari aku menyalin tugas untuknya. Teng......... Bunyi lonceng pertanda jam pelajaran dimulai. Bu Utami, guru bahasa Inggris berjalan memasuki kelas. Selain menjadi guru bahasa Inggris, beliau merupakan wali kelas kami. Sebelum memulai pelajaran, Bu Utami menerangkan jika bulan depan acara study tour akan dilaksanakan jadi beliau berharap para siswa yang hendak mengikuti study tour untuk segera melunasi pembayarannya. Aku tak berharap bisa mengikuti study tour ke kota metropolitan. Aku cukup menyadari kondisi keuangan orangtuaku. ------- Saat jam istirahat dikantin.... "Wahh kita harus menyiapkan dari sekarang nih keperluan untuk study tour nanti," ucap Dewi dengan penuh semangat. "Jangan sampai lupa buat foto-foto disana," sahut Nita "Jangan lupa juga kalau foto posenya jangan gitu-gitu mulu," Swasti menggoda Nita yang memang kurang pandai berhadapan dengan kamera, kami pun tertawa mengingat Nita yang selalu bergaya kaku. "Kamu ikut juga kan Rindang?" Ayu menatapku. "Lho memangnya kamu gak ikut?" Cika ikut menanyaiku. "Gak boleh gak ikut lho ya..kita berenam harus ikut..titik gak pakai koma-koma segala," paksa Dewi padaku. "Belum tahu nih, hehehe" aku tersenyum garing. "Lagi pula meski aku tak ikut kan kalian nanti bisa seru-seruan menceritakannya padaku," aku mencoba membuat mereka mengerti jika aku terpaksa harus tidak ikut serta. "Ogah...capek diri judulnya kalau harus bercerita panjang lebar," Dewi mendengus sambil mencomot tahu bulat yang kemudian langsung aku rebut dan melahapnya, sukses membuat Dewi melotot. "Dihhhhh...Rindang....!!" pekik Dewi "Apa?? jahat sih jadi teman hahahaha," aku tetap menjauhkan tahu bulat milik Dewi dari jangkauannya. "Bagaimanapun kita semua memang berharap kamu bisa ikut Rindang," ujar Cika yang diamini oleh Ayu, Dewi, Swasti dan Nita. "Kalian kira aku tak ingin ikut? Aku sudah pasti ingin ikut tapi tidak bisa memastikan sebab aku tak ingin menambah beban orangtuaku untuk soal biayanya. "Aku bisa kok minta papaku untuk membayarkannya untukmu, pasti papa tidak keberatan," Swasti yang memang orangtuanya paling kaya diantara kami menawarkan diri. "Iya dan kamu juga gak perlu mikirin uang saku, kan masih ada kita," kali ini Cika yang membujukku. "Ehh jangan begitu dong, aku sungguh tak enak hati kalau berangkat secara gratis," aku mencoba menolak tawaran teman-temanku. Memang tak semudah itu buatku menerima bantuan mereka. Aku mengerti mereka tulus baik padaku. Tetapi tetap saja aku merasa itu hal yang tidak perlu. Belum lagi orangtuaku pasti juga kurang setuju jika mengetahui hal ini. Aku memilih duduk-duduk di depan kelas sebab jam istirahat masih beberapa menit lagi. Kelima sahabatku melanjutkan obrolan mereka di dalam kelas. Tama mendekat ke arahku dan.... "Kamu suka ya sama Wildan?" pertanyaan Tama ini sukses membuatku terkejut namun aku berusaha untuk tenang. "Ngaco...kata siapa?" aku balik bertanya padanya. "Jangan mengelak Rindang,,semua sikapmu terlihat kok kalau kamu menyukai Wildan, sudah lama ya naksir sama dia?" Tama semakin gencar menggodaku dengan pertanyaannnya. "Itu asumsimu saja kan? yang jelas faktanya aku tidak memiliki perasaan semacam itu terhadapnya," aku berusaha meyakinkan Tama agar ia percaya. Apa jadinya kalau hal ini menyebar ke yang lain dan aku sangat tidak ingin menyakiti Cika, sahabat baikku. Jadi aku bertekad harus berhasil mematahkan asumsi Tama. "Kayaknya cuma kamu deh yang punya pikiran konyol kayak gitu, aku dan Wildan dari kelas 1 selalu satu kelas jadi wajar saja jika kami akrab dan lagi dia pacar Cika, mana mungkin aku punya perasaan suka sama dia," setelah berkata seperti itu aku langsung melengos memasuki kelas. Tama membuntutiku dan meminta maaf jika pertanyaannya menyinggung hatiku. Aku memintanya agar tak perlumembahasnya Teman-teman yang lain nampak terheran dan memasang ekspresi seolah bertanya ada apa. Aku langsung berkata bahwa tidak ada apa-apa. Tama langsung bergabung ke teman-temannya. Aku melihat Wildan sedang berbincang dengan Cika. Ardian menghampiriku dengan membawa gitarnya. Yap mata pelajaran berikutnya adalah seni musik. Pak Guru memberi tugas untuk kami berkelompok. Ardian satu kelompok denganku, bareng Fatur, Ayu, dan Nita. Masing-masing kelompok beranggotakan 4 hingga 5 orang. Wildan tentu saja sekelompok dengan Cika, juga Dewi, Dimas, serta Tama. Aku terus teringat pertanyaan Tama tadi. Sebenarnya intensitas mengobrol antara aku dan Wildan tidaklah sering. Aku mulai menerka-nerka sendiri apakah sikapku selama ini berkesan terlampau baik padanya. Jika demikian berarti mulai sekarang aku harus mengontrol sikap dan berupaya biasa aja terhadapnya, tapi apakah aku bisa? apakah aku mampu? Mengingat sikapku selama ini mengalir begitu saja tanpa aku buat-buat. Tiba-tiba tercetus ide dalam benakku. Mulai sekarang aku harus sedikit jutek pada Wildan dan mencoba semakin akrab dengan Ardian. Mungkin itu yang terbaik untuk semua, untuk kebahagiaan Wildan dan Cika. Di rumah aku tetap tak berniat membahas perihal rencana study tour sekolah pada Bapak dan Ibu. Sebelum memejamkan mata, aku menatap undangan pesta ulangtahun yang ke 17 dari Wildan yang akan diadakan 3 hari lagi. Apa aku harus datang? Atau aku perlu mencari alasan agar aku tak perlu datang? Pikiran dan juga hatiku menimbang kedua opsi tersebut hingga tak sadar akhirnya aku terlelap dengan sendirinya. Sepertinya aku butuh saran dari Ibu, maka aku pum bertanya ketika Ibu tengah menyiapkan sarapan buat kami, "Bu...misal nih kita dapat undangan sebuah acara gitu, terus kalau kita enggan untuk datang bagaimana?" Sambil mengaduk kopi buat bapak, ibuku menjawab, "Kenapa kok tiba-tiba bertanya seperti itu?" "Ini lho bu...Rindang merasa malas saja fatang ke pesta ulangtahunnya Wildan," aku berharap ibuku mengiyakan jika aku tak perlu datang jika aku malas. "Gak boleh begitu dong,,Wildan teman sekolah kamu itu kan? masa malas sih hadir ke acara teman sendiri." "Harusnya gimana bu?" "Masih aja nanya harusnya bagaimana?" Ibu menjentikkan jari tangannya ke dahiku. "Yang namanya diundang ya wajib datang jika tidak ada halangan yang berarti." Bapak ikutan menyahut sambil mendekat ke meja makan. "Iya..iya..siap komandan..!!" tanganku seketika hormat pada Bapak dan kami semua menjadi tertawa. "Bapak dengar dari ayahnya Ayu katanya sekolah mau ada study tour bulan depan, kok kamu gak kasih tahu bapak dan ibu?" "Ehh soal itu karena Rindang gak minat buat ikut kok pak..bu.." aku mencoba menutupi keinginananku. "Rindang kan masih muda jadi harus banyak mencari pengalaman, cerita, agar punya beragam kenangan untuk masa depanmu nanti, gak usah risaukan soal biaya insya Allah nanti ada rezekinya" aku terharu mendengar bapak berkata demikian. Bagaimanapun aku tahu upaya kerja kerasnya bapak untuk memenuhi penghidupan rumah kami. Aku beranjak dari kursi menghambur memeluk bapak seraya berterimakasih sambil mendo'akan semoga bapak sehat selalu dan kelelahannya menjadi ladang pahala. Kalau sudah seperti itu dapat aku tangkap bola mata bapak yang berkaca-kaca. *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD